"Dia teman SMA Tomi tapi beda angkatan. Tomi baru masuk, Erika sudah kelas 12," jelas Martha.
"Berarti sekarang kuliah?" tanya Herdi lagi.
Sambil mengangguk, Martha menjawab, "Iya, sudah kuliah tapi ibunya gak bilang dimana."
"Dan orangtuanya?" tanya Herdi kembali.
"Ibunya bernama Evi. Mama baru tahu ia owner sebuah toko roti. Sementara ayahnya bernama Roy. Kata Evi baru-baru ini suaminya terjangkit virus C19 tapi sudah pulih sekarang. Tadi Mama googling, suaminya ternyata seorang pejabat di sebuah kementerian," papar Martha.
"Bukan orang sembarangan, Ma. Coba bayangin seandainya kondisi Tomi baik-baik saja. Bisa-bisa Perang Dunia pecah lagi. Tapi dalam kondisi Tomi seperti ini, mereka pun tidak bisa menuntut banyak. Kalau dipikir-pikir, kita malah terbantu dengan kondisi saat ini. Ya gak, Ma?" ungkap Herdi.
"Iya juga," tukas Martha.
Lalu Martha melanjutkan, "Masih teringat jelas tatapan sendu dan wajah murung ibunya Erika saat bertemu Mama siang tadi. Muncul iba, kasihan, dan sedih melihatnya. Apa yang harus kita lakukan?"
Herdi tampak mulai berkurang skeptisnya bisa terlihat dari ungkapannya. "Tidak mungkin kita lepas tanggung jawab. Tapi dengan kondisi Tomi yang sekarang, kita pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara mereka pun gak bisa menunggu setelah Tomi pulih total. Kehamilan semakin lama, semakin tidak bisa ditutupi."
"Betul karena kandungannya sekarang sudah lima bulan atau separuh jalan. Bagi si ibu bayi tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Harus segera ada penyelesaian. Lebih cepat, lebih baik," ujar Martha.
"Solusinya gak lain gak bukan pernikahan. Sesegera mungkin mesti dilaksanakan. Untuk menyelamatkan si bayi dan ibunya serta nama baik keluarga," ungkap Herdi.