Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Kalut (#13)

1 Agustus 2021   10:01 Diperbarui: 1 Agustus 2021   10:24 222 1
Bukan hal yang mudah menyampaikan apa yang tengah menimpa Erika kepada Papa. Mama tak tahu harus bagaimana mengatakannya. Sedih, malu, dan takut bercampur baur. Terlintas pikiran-pikiran buruk yang menggeliat dalam benaknya. Tak mau terintimidasi oleh keadaan karena keadaannya memang sudah berantakan, Mama tak punya pilihan lain selain bangkit dan berjuang dengan sekuat tenaga untuk mengubah kondisi itu.

"Cukup! Cukup sudah! Akan ku hadapi semua! Sekotor dan sekacau apapun kondisi rumah, sudah jadi tugas seorang ibu untuk membereskannya," ujarnya dalam hati. Ditempa keadaan berat dan silih berganti, Mama seakan merasa all out dan siap tempur.

Itu adalah hari terakhir Papa di rumah sakit. Meski sempat ragu apakah perihal Erika akan langsung disampaikan ke Papa atau ditunda dulu, Mama sudah tidak bimbang lagi. Segera setelah sampai di rumah sakit, akan ia beritakan.

Papa terlihat sedang sibuk memberi pengarahan kepada rekan-rekannya secara virtual saat Mama datang. Meski sedang menghadap ke layar laptop, Papa tahu kedatangan Mama. Sembari membereskan barang dan peralatan Papa yang akan dibawa pulang, Mama menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya. Mama berpikir bagaimana agar efek kejut yang ditimbulkan dari kabar itu tidak terlalu mengagetkan Papa.

Saat Papa selesai dengan pekerjaannya, Mama minta izin bicara. Ada hal penting yang ingin ia sampaikan ke Papa tentang Erika. Merasa agak heran dengan gerak-gerik Mama, Papa menanggapi serius seraya bertanya, "Erika teh kenapa?"

Tak langsung menjawab, Mama berkata dengan memelas, "Pa, maafin Mama ya."  

"Emang ada apa, Ma?" tanya Papa tambah heran.  

"Mama sebenarnya malu sekali menceritakannya sama Papa," ujarnya.

"Lho kok malu? Sok aja, Ma. Pasti Papa dengerin," katanya penasaran.

"Erika ... dia ... ," ucapnya ragu-ragu. Lalu melanjutkan, "Bagaimana jika Erika telah melakukan hal buruk? Apakah Papa mau memaafkannya?"

Tampak berpikir, Papa lalu berujar, "Apapun yang terjadi, Erika tetap jadi tanggung jawab kita. Tak mungkin disia-siakan."  

Mendengar hal itu, Mama merasa agak tenang. Dan lebih berani untuk mengatakan apa yang tadi sempat ditahan-tahan.

"Pa, Erika ... sudah lima bulan ini berbadan dua," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Apa? Maksud Mama hamil?" seru Papa terperanjat.  

Mama hanya diam sambil mengangguk tertunduk malu.

"Kenapa Erika teh seperti itu? Teu habis pikir Papa," katanya sambil geleng-geleng kepala.

"Erika sudah mengaku ke Mama ia telah khilaf. Ia begitu menyesal dan benar-benar merasa bersalah. Hampir lima bulan ini ia rahasiakan karena takut menyatakannya. Mama kasihan sekali melihatnya," ungkap Mama.

"Jadi selama ini Erika sudah mengandung tapi di depan kita perilakunya biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Benar-benar gak nyangka," ucap Papa yang masih belum percaya.

Papa masih sulit menerima kenyataan yang menimpa Erika tersebut. Memahami kekecewaan Papa, Mama berusaha menghiburnya. Tidak mudah memang mengobati kekecewaan seperti yang pernah Mama sendiri rasakan sebelumnya. Namun tidak ada gunanya berkeluh kesah dan meratapi apa yang sudah terjadi. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah hanya memperburuk keadaan. Berkat Mama, kini Papa menyadari sepenuhnya situasi itu dan segera mengambil langkah cepat ke depannya.

"Kita harus segera sampaikan ke orangtua Tomi, Ma. Secepatnya! Mengingat ini sudah lima bulan lebih. Walaupun Tomi saat ini kena musibah, kita tetap harus bilang ke keluarganya. Mereka harus tahu masalah ini. Juga minta mereka melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut," ujar Papa.  

Memahami kondisi Papa yang baru pulih, Mama langsung merespons, "Biar nanti Mama yang bicara ke ibunya Tomi, Pa. Mudah-mudahan ia dapat memahami situasi pelik yang kita hadapi sekarang."

"Sampaikan saja, Ma. Apa yang sebenarnya terjadi supaya semua jelas. Kita pengin masalah ini cepat selesai. Kita juga tahu kondisi Tomi begitu. Gak bisa maksa juga. Ya, kan?" jelas Papa.

Ia melanjutkan, "Kita dan keluarga Tomi harus carikan solusinya demi kebaikan Erika dan Tomi juga nama baik kedua keluarga serta si calon bayi nantinya. Apapun itu, intinya bisa memperkecil segala kemungkinan dan dampak buruk yang muncul di kemudian hari. Semoga kita bisa terhindar dari segala hal yang tak diinginkan di masa datang."


.....  
Evi memutuskan untuk menemui Martha di kantornya yang dianggap netral daripada di rumah. Sebelumnya ia sudah mengontak Martha untuk bertemu. Martha sendiri tidak kenal Evi. Namun secara meyakinkan Evi dapat membujuk Martha hingga akhirnya ia menyanggupi untuk bertemu. Evi bilang ada hal penting yang ingin ia sampaikan langsung tidak melalui telepon. Martha yang kebetulan masih cuti karena musibah kecelakaan yang dialami Tomi, baru masuk kerja kembali besok lusa. Ia meminta Evi datang menemuinya waktu tersebut.

Hari yang ditentukan tiba. Sebelum istirahat siang, Evi sudah datang dan menunggu di lobi kantor Martha seperti yang telah disepakati. Tak ingin menggagalkan rencananya, ia mempersiapkan segalanya dengan baik.  

Dari jauh, Martha memperhatikan seorang wanita yang tengah duduk sendiri di lobi. Tampak sedang menantikan seseorang, Martha lalu menghampirinya seraya menyapa,  "Ibu Evi, ya?"

"Betul," jawabnya sambil memberi salam dengan merapatkan kedua telapak tangannya ke dada.

"Saya Martha. Apa yang bisa saya bantu?"  katanya sambil duduk berhadap-hadapan dengan Evi ditengahi sebuah meja bundar.

"Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk menemui saya," ucap Evi.

Martha hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

"Ibu, saya mau sesingkat dan secepat mungkin. Saya tahu dan paham kondisi Ibu saat ini. Saya ikut prihatin dan bersimpati sedalamnya atas peristiwa yang dialami Tomi. Semoga Ibu dan keluarga sabar dan tabah menjalani cobaan ini," ungkap Evi.  

"Terima kasih, Bu," jawabnya lalu lekas bertanya, "Ibu tahu beritanya dari mana?"

"Begini, Bu. Anak saya, Erika, adalah temannya Tomi. Keduanya pernah satu sekolah saat SMA. Waktu Tomi masuk SMA, Erika kelas 12. Sekarang ia sudah kuliah. Apa Ibu pernah dengar atau tahu nama Erika dari Tomi langsung atau tak langsung?" tanyanya seakan menginterogasi.  

"Tidak, saya tidak tahu. Tidak kenal," jawabnya lugas.

"Ibu, ini saya kasih lihat foto-fotonya. Semuanya diperoleh dari hp anak saya," katanya sambil menyodorkan hp-nya. Mama memang sudah mempersiapkan sebelumnya untuk memperkuat argumen yang akan ia sampaikan.

Martha mulai menatap curiga. Ia bertanya-tanya apa maksud Evi dengan semua Itu. Terpancing keingintahuannya, ia lantas berkata, "Apa yang sebenarnya ingin Ibu sampaikan?"

"Sebelumnya, saya minta maaf jika membuat Ibu terkejut. Apa yang akan saya sampaikan ini berat namun kenyataan harus tetap saya sampaikan. Bu Martha, Tomi dan Erika telah menjalin hubungan satu sama lain sejak mereka bertemu dan berkenalan di SMA. Seiring waktu, hubungan keduanya makin dekat dan erat. Tanpa maksud membela, Erika bagi saya adalah anak yang baik, cerdas, dan kalem. Diluar ekskul sekolah, ia lebih suka di rumah, baca buku dan tidak ada hal yang aneh-aneh pada dirinya," paparnya.

"Begitu juga Tomi. Saya cukup kenal Tomi. Saya pernah beberapa kali ketemu dia saat main ke rumah kami. Bahkan Tomi pernah sangat berjasa pada keluarga kami. Saya masih ingat saat saya keluar kota menemani suami kunjungan kerja, Tomi inisiatif membawa ke dokter adiknya Erika yang tidak sengaja tertusuk duri ikan saat makan. Kami sangat berterima kasih. Dari situ, kami jadi kenal lebih baik dan dekat dengan Tomi. Bahkan Ricko sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Tomi," sambungnya.

"Hubungan keduanya terus berlanjut hingga tiga bulan yang lalu hubungan mereka merenggang dan mati suri. Beberapa hari yang lalu, persis pada hari Tomi mengalami kecelakaan, secara tak sengaja Erika membaca berita tentang insiden itu. Ia segera mengecek ke rumah sakit tempat Tomi dirawat keesokan harinya. Bu Martha, saya tidak punya firasat apa-apa hari itu. Semua terungkap setelah Erika pulang dari rumah sakit lalu ia menceritakan semuanya pada saya apa yang ia tutupi selama ini. Itu sebabnya saya segera datang menemui Ibu," lanjutnya.

Martha menyimak dan tampak mulai resah. Kian penasaran, ia lalu berkata, "Apa yang sesungguhnya terjadi? Katakan saja! Saya siap mendengarkan."

"Bu Martha, dengan sangat berat hati saya sampaikan pengakuan Erika kepada saya.  Terus terang saat pertama mendengar pengakuan itu, saya sendiri shock. Tak bisa menerima kenyataan. Tapi segera tersadar agar tidak berlarut-larut dalam suasana duka dan mengambil langkah cepat karena harus berpacu dengan waktu," ungkapnya dengan lirih.

"Sekitar enam bulan lalu, terjadi accident yang tidak diinginkan yang melibatkan Erika dan Tomi. Bak bom waktu, accident itu yang mengakibatkan kondisi Erika yang sekarang. Dengan perasaan hancur luluh, Erika mengaku telah berbadan dua. Tak ada sedikit pun niatnya melakukan hal itu. Namun semua terjadi begitu saja. Sempat Erika sampaikan ke Tomi apa yang ia alami. Tapi keduanya berbeda pendapat. Tomi menghendaki Erika menggugurkan kandungannya sementara ia tidak mau. Erika tetap mempertahankan janinnya dan memilih merahasiakannya selama lima bulan ini. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Erika selama itu," paparnya penuh haru.

Sambil menyentuh tangan Martha di atas meja, Evi mengatakan, "Bu Martha, bagi saya ini musibah yang suka tidak suka telah terjadi pada kita. Tak ada yang perlu dipersalahkan. Saya pun memahami apa yang sedang terjadi pada Tomi. Saya tidak akan menuntut banyak. Saya hanya memohon sebagai sesama ibu. Tolong Erika! Tolong bayinya! Tolong keluarga kita!"

Martha terdiam membisu. Dengan mata yang mulai basah, ia perlahan berkata, "Mohon maafkan Tomi. Saya yakin ia tak ada maksud menyakiti Erika. Saya benar-benar tak habis pikir dengan semua ini. Setelah musibah yang menimpa Tomi, kini datang lagi hal lain yang tidak diinginkan. Itu benar-benar mengguncang saya."

Sambil mengusap matanya dan sesekali menyeka hidungnya, ia lanjut berkata, "Sebagai seorang ibu, saya bisa merasakan perasaan Bu Evi yang sekarang. Ibu mana yang tak sedih jika anak perempuannya mengalami hal seperti itu. Saya pun demikian jika saya dalam posisi seperti Ibu. Ketahuilah, saya tidak akan berdiam diri setelah ini. Saya akan melakukan apapun yang saya bisa untuk membantu Ibu dalam menyelesaikan masalah ini. Beri saya waktu. Akan saya hubungi kembali Ibu secepatnya."  

"Terima kasih banyak atas perhatian Ibu. Saya sangat menghargainya. Saya sangat mengharapkan kabar berita dari Ibu selanjutnya," ucap Evi sambil pamit di siang itu dengan perasaan lega karena sudah menyampaikan perihal tersebut meski ia masih harus bersabar menunggu kabar dari Martha.



.....  
Dua malam itu Herdi menginap di rumah sakit menunggu Tomi pasca operasi. Sebelumnya Herdi dan Martha sudah membuat pembagian jadwal antara keduanya. Herdi kebagian jadwal malam sementara Martha siang. Karena harus bekerja kembali, keduanya merasa perlu mencari orang untuk menggatikan mereka dalam mengurus Tomi selama masa pemulihan.
 
Herdi lalu mengontak Bi Imah, pengasuh Tomi dulu. Ia minta tolong kepadanya untuk mencarikan orang yang dapat menjaga dan merawat Tomi selama di rumah sakit dan setelahnya. Bi Imah lalu menyarankan adiknya, Bi Umi, yang kemudian menyanggupi hal tersebut. Herdi dan Martha setuju dengan usulan itu.

Bi Imah yang dihubungi Herdi, begitu terkejut mendengar apa yang terjadi pada Tomi. Kepada Herdi, ia menyatakan kesedihannya yang mendalam atas kejadian yang menimpa Tomi. Ia mendoakan agar Tomi diberi kesehatan kembali dan dapat beraktivitas kembali seperti semula. Ia juga tak lupa mendoakan Herdi dan Martha agar diberi kesabaran dalam menerima dan menjalani cobaan tersebut. Ia mengungkapkan keinginannya untuk menjenguk Tomi suatu saat nanti kalau saja masalah kesehatan tidak menghambatnya.

Hari itu, Bi Umi datang dari kampung diantar oleh anaknya Bi Imah yang dulu biasa mengantar Bi Imah sewaktu masih kerja di keluarga Herdi. Herdi sangat berterima kasih kepada Bi Umi karena sudah mau datang dan membantu keluarganya. Setelah beristirahat semalam di rumah Herdi, Bi Umi diantar ke rumah sakit keesokan harinya.

Herdi sendiri belum pernah bertemu Bi Umi sebelumnya. Namun ia tahu keluarga besar Bi Umi. Usianya tiga tahun lebih tua dari Herdi. Sosoknya mengingatkannya pada Bi Imah karena ada kemiripan wajah dan fisik antara keduanya. Bi Umi adalah adik bungsu Bi Imah. Diantara mereka berdua ada seorang saudara laki-laki.

Saat Bi Umi tiba, kondisi Tomi mulai berangsur normal pasca operasi. Perkembangan Tomi cukup progresif menurut tim dokter ahli. Responsnya terhadap orang di sekitarnya mulai bagus. Motoriknya sudah mulai berangsur membaik. Walau masih mengenakan selempang, bahu kanannya mulai terasa luwes. Ia mulai belajar berdiri dan berjalan meskipun masih memakai tongkat. Meski awal agak gemetaran, lama-kelamaan ia mulai terbiasa. Perawat sesekali membawanya keluar kamar untuk berjemur dengan menggunakan kursi roda.

Sejak kedatangan Bi Umi, Herdi dan Martha bisa fokus kembali bekerja. Meski bekerja, keduanya selalu memantau perkembangan Tomi melalui Bi Umi. Sehabis kerja keduanya secara bergantian menyempatkan diri menengok sambil membawakan makanan atau buah untuk Tomi dan juga Bi Umi. Bagi keduanya, peran Bi Umi penting sekali dan sangat membantu di saat bersamaan energi dan emosi mereka begitu terkuras. Keduanya merasa beruntung dan berutang budi pada Bi Umi di masa krusial itu.



.......  
Merasa malam itu akan tenang setelah dua malam sebelumnya begadang di rumah sakit, Herdi dihadapkan pada kenyataan lain yang sangat memukul dirinya. Bak gelombang tsunami menghantam pesisir pantai, Martha pulang kerja dengan mengharu-biru. Tak kuat menahan tangis, ia mengabarkan perihal Evi yang datang menemuinya di kantor siang itu.  

Berusaha mengendalikan keadaan, Herdi menyodorkan segelas air minum ke Martha seraya berkata, "Coba Mama tenangkan diri dulu. Kalau sudah merasa tenang, coba ceritakan dengan baik ada apa sebenarnya."

Mendengar penjelasan Martha, Herdi seperti kehilangan kata-kata. Mengingat baru saja peristiwa naas yang menimpa Tomi, kini muncul lagi masalah baru yang tak kalah hebat dan berat. Antara percaya dan tidak namun ia tetap berpikir serasional mungkin. Ada keraguan meliputi dirinya dan mempertanyakan hal itu.

"Bagaimana bisa yakin itu perbuatan Tomi, Ma?" tanyanya skeptis.

"Dari pengakuan Erika ke ibunya. Ditambah lagi foto-foto Erika dan Tomi di hp ibunya yang diperlihatkan ke Mama," jawabnya.

Herdi terlihat seperti masih ragu. Martha coba menebak arah pikiran Herdi. "Kalau menurut Ayah bagaimana? Perlukah bukti lain? Seperti tes DNA," ujarnya.

"Entahlah. Kalau saja Tomi hadir ditengah kita saat ini, kita tak perlu menduga-duga lagi," kata Herdi.

Tampak berpikir, tiba-tiba Herdi berkata, "Sebentar, Ma." Ia lalu buru-buru menuju kamar Tomi yang ada di lantai bawah. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa sebuah hp. Sambil mengecek info apapun yang ada didalam hp itu, ia berkata, "Tak ada satupun petunjuk yang menunjukkan tanda-tanda keberadaan Erika. Nomor telepon, WA, medsos, e-mail," ujarnya sambil menyodorkan hp Tomi ke Martha.

"Mungkin saja sudah dihapus Tomi. Tapi coba cek medsos Erika," tutur Martha memberi saran.

"Ide bagus, Ma," sahut Herdi.

Sekejap kemudian, "Coba lihat ini, Ma," seraya memperlihatkan Facebook dan Instagram milik Erika.

"Semuanya berstatus sebagai teman dan mem-follow Tomi. Bahkan beberapa foto Erika dan Tomi di-upload di kedua medsos tersebut. Kebalikan dari akun milik Tomi. Sudah tidak ada satupun konten yang terkait Erika," lanjutnya.

Merasa penasaran, Herdi bertanya ke Martha, "Siapakah Erika?"  

"Dia teman SMA Tomi tapi beda angkatan. Tomi baru masuk, Erika sudah kelas 12," jelas Martha.

"Berarti sekarang kuliah?" tanya Herdi lagi.

Sambil mengangguk, Martha menjawab, "Iya, sudah kuliah tapi ibunya gak bilang dimana."

"Dan orangtuanya?" tanya Herdi kembali.

"Ibunya bernama Evi. Mama baru tahu ia owner sebuah toko roti. Sementara ayahnya bernama Roy. Kata Evi baru-baru ini suaminya terjangkit virus C19 tapi sudah pulih sekarang. Tadi Mama googling, suaminya ternyata seorang pejabat di sebuah kementerian," papar Martha.

"Bukan orang sembarangan, Ma. Coba bayangin seandainya kondisi Tomi baik-baik saja. Bisa-bisa Perang Dunia pecah lagi. Tapi dalam kondisi Tomi seperti ini, mereka pun tidak bisa menuntut banyak. Kalau dipikir-pikir, kita malah terbantu dengan kondisi saat ini. Ya gak, Ma?" ungkap Herdi.

"Iya juga," tukas Martha.

Lalu Martha melanjutkan, "Masih teringat jelas tatapan sendu dan wajah murung ibunya Erika saat bertemu Mama siang tadi. Muncul iba, kasihan, dan sedih melihatnya. Apa yang harus kita lakukan?"

Herdi tampak mulai berkurang skeptisnya bisa terlihat dari ungkapannya. "Tidak mungkin kita lepas tanggung jawab. Tapi dengan kondisi Tomi yang sekarang, kita pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara mereka pun gak bisa menunggu setelah Tomi pulih total. Kehamilan semakin lama, semakin tidak bisa ditutupi."

"Betul karena kandungannya sekarang sudah lima bulan atau separuh jalan. Bagi si ibu bayi tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Harus segera ada penyelesaian. Lebih cepat, lebih baik," ujar Martha.

"Solusinya gak lain gak bukan pernikahan. Sesegera mungkin mesti dilaksanakan. Untuk menyelamatkan si bayi dan ibunya serta nama baik keluarga," ungkap Herdi.

Martha buru-buru menyanggah, "Tapi pernikahan hanya bisa terlaksana jika ada kedua mempelai. Dan Tomi bukanlah orangnya. Fisik dan mental Tomi tidak memungkinkan untuk itu."

Sempat hening sesaat, Martha seperti berseloroh, "Andai saja ada orang yang mau menggantikan Tomi, akan beres persoalannya. Tapi jelas itu hal yang mustahil. Terus gimana, Yah?"

Seperti menangkap suatu ide, Herdi berkata, "Nanti Ayah pikirkan lagi. Untuk sementara waktu, kita endapkan dulu saja masalah ini."




(bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun