Tuhan mungkin tak selalu hadir dalam doa yang panjang. Kadang, Ia diam-diam duduk di meja makan---pakai gelas tua yang retaknya nyaris putus, tapi tetap setia menampung hangat.
Gelasnya hampir patah. Tapi di meja makan itu, justru kami merasa utuh.
Retak di gelas itu tak pernah diperbaiki.
 Kami tak bicara banyak sore itu. Namun hangat teh di gelas retak, entah kenapa terasa seperti Tuhan sedang mendengarkan.
Aku lupa kapan terakhir kali kami makan bersama dalam keadaan lengkap. Lengkap bukan soal jumlah orang, tapi tentang kesediaan hati untuk duduk, menyimak, dan tidak terburu-buru membuka ponsel atau mencari alasan keluar rumah. Namun sore itu berbeda. Tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada juga yang benar-benar bicara banyak. Hanya suara sendok bertemu piring dan aroma teh manis dari gelas yang gagangnya retak.
Gelas itu sudah tua. Retaknya ada sejak aku masih sekolah. Ibu selalu bilang, "Kalau belum pecah, masih bisa dipakai." Dan entah mengapa, kami semua menerima logika itu begitu saja. Ia terus bertahan, jadi gelas andalan untuk teh hangat setiap sore. Bahkan saat gelas-gelas baru dibeli, gelas retak itu tetap dipakai. Katanya, sudah pas di tangan.
Mungkin karena alasan itu juga, gelas itu hari itu dipakai saat kami duduk bersama di meja makan. Ayah, ibu, adik, dan aku. Makan sederhana, lauk seadanya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada keheningan yang tidak canggung. Ada kedekatan yang tidak dipaksakan. Dan entah mengapa, rasanya seperti... Tuhan sedang ada di sana. Duduk diam-diam, menyamar dalam momen kecil yang sering kami anggap biasa.
Sore itu tidak ada keajaiban besar. Tidak ada pernyataan hidup yang mengguncang. Hanya kebersamaan yang utuh, walau dalam sunyi. Hanya satu waktu di mana semua orang hadir sepenuhnya---tanpa distraksi, tanpa basa-basi, tanpa pura-pura.
Dan gelas itu---yang gagangnya nyaris putus tapi masih dipakai---seperti pengingat hal-hal yang tidak pernah benar-benar kita pikirkan. Bahwa yang sudah lama yang retak yang tampak tidak layak, bisa jadi justru yang paling tahan. Sama seperti hubungan ini. Sama seperti keluarga ini. Tidak sempurna, tidak bersih dari luka, tapi masih utuh. Masih bisa dipakai untuk menampung kehangatan. Dan masih sanggup menyajikan teh manis di sore hari.
Sering kali kita menunggu momen besar untuk merasa dekat dengan Tuhan. Kita mencari-Nya di masjid, di ayat-ayat panjang, atau di tengah kesulitan yang menyesakkan. Namun siapa sangka, Tuhan bisa hadir di meja makan, dalam diam yang hangat, dalam tawa kecil yang tak terlalu keras, atau bahkan di gelas tua yang masih mampu menampung teh meski retaknya tak lagi bisa disembunyikan.
Tuhan, ternyata, suka duduk di meja makan yang tidak sempurna. Di rumah yang tidak selalu damai. Di hati yang kadang penuh retak tapi tetap mencoba mencintai. Dan sore itu, aku belajar satu hal:
Kehadiran-Nya tak selalu terasa megah. Kadang, Ia datang hanya sebagai rasa hangat dari teh yang diseduh dengan ikhlas, disajikan tanpa banyak kata, dan diminum pelan-pelan ... dari gelas yang hampir patah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI