Mohon tunggu...
Ahmad fauzan
Ahmad fauzan Mohon Tunggu... Universitas Hasanuddin

Selamat datang di blog saya! Halo, pembaca setia! Terima kasih telah mampir ke blog ini, tempat di mana saya berbagi informasi, cerita, dan inspirasi dari berbagai topik menarik. Apakah Anda pencinta hiburan, pengamat tren terkini, atau sekadar mencari bacaan santai di waktu luang? Di sini, saya memiliki sesuatu untuk semua orang! Blog ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan konten yang informatif, relevan, dan pastinya menyenangkan untuk dibaca. Saya berusaha menghadirkan tulisan yang segar, baik itu tentang teknologi, gaya hidup, hiburan, hingga tren budaya populer yang sedang hangat dibicarakan. Selain itu, saya juga ingin menjadikan blog ini sebagai ruang diskusi bagi pembaca. Jadi, jangan ragu untuk meninggalkan komentar, berbagi pendapat, atau bahkan memberikan ide untuk topik yang ingin Anda baca di sini. Mari jadikan blog ini sebagai tempat di mana kita bisa belajar, berbagi, dan tentunya menikmati konten-konten yang saya sajikan. Tetaplah bersama saya untuk mendapatkan tulisan-tulisan yang menarik setiap minggunya! Selamat membaca dan semoga hari Anda menyenangkan!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sore Itu, Tuhan Duduk di Meja Makan Pakai Gelas Gagang Retak

30 April 2025   18:48 Diperbarui: 30 April 2025   18:53 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gelas pecah (Sumber: pxhere)

Tuhan mungkin tak selalu hadir dalam doa yang panjang. Kadang, Ia diam-diam duduk di meja makan---pakai gelas tua yang retaknya nyaris putus, tapi tetap setia menampung hangat.

Gelasnya hampir patah. Tapi di meja makan itu, justru kami merasa utuh.

Retak di gelas itu tak pernah diperbaiki.

 Kami tak bicara banyak sore itu. Namun hangat teh di gelas retak, entah kenapa terasa seperti Tuhan sedang mendengarkan.

Aku lupa kapan terakhir kali kami makan bersama dalam keadaan lengkap. Lengkap bukan soal jumlah orang, tapi tentang kesediaan hati untuk duduk, menyimak, dan tidak terburu-buru membuka ponsel atau mencari alasan keluar rumah. Namun sore itu berbeda. Tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada juga yang benar-benar bicara banyak. Hanya suara sendok bertemu piring dan aroma teh manis dari gelas yang gagangnya retak.

Gelas itu sudah tua. Retaknya ada sejak aku masih sekolah. Ibu selalu bilang, "Kalau belum pecah, masih bisa dipakai." Dan entah mengapa, kami semua menerima logika itu begitu saja. Ia terus bertahan, jadi gelas andalan untuk teh hangat setiap sore. Bahkan saat gelas-gelas baru dibeli, gelas retak itu tetap dipakai. Katanya, sudah pas di tangan.

Mungkin karena alasan itu juga, gelas itu hari itu dipakai saat kami duduk bersama di meja makan. Ayah, ibu, adik, dan aku. Makan sederhana, lauk seadanya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada keheningan yang tidak canggung. Ada kedekatan yang tidak dipaksakan. Dan entah mengapa, rasanya seperti... Tuhan sedang ada di sana. Duduk diam-diam, menyamar dalam momen kecil yang sering kami anggap biasa.

Sore itu tidak ada keajaiban besar. Tidak ada pernyataan hidup yang mengguncang. Hanya kebersamaan yang utuh, walau dalam sunyi. Hanya satu waktu di mana semua orang hadir sepenuhnya---tanpa distraksi, tanpa basa-basi, tanpa pura-pura.

Dan gelas itu---yang gagangnya nyaris putus tapi masih dipakai---seperti pengingat hal-hal yang tidak pernah benar-benar kita pikirkan. Bahwa yang sudah lama yang retak yang tampak tidak layak, bisa jadi justru yang paling tahan. Sama seperti hubungan ini. Sama seperti keluarga ini. Tidak sempurna, tidak bersih dari luka, tapi masih utuh. Masih bisa dipakai untuk menampung kehangatan. Dan masih sanggup menyajikan teh manis di sore hari.

Sering kali kita menunggu momen besar untuk merasa dekat dengan Tuhan. Kita mencari-Nya di masjid, di ayat-ayat panjang, atau di tengah kesulitan yang menyesakkan. Namun siapa sangka, Tuhan bisa hadir di meja makan, dalam diam yang hangat, dalam tawa kecil yang tak terlalu keras, atau bahkan di gelas tua yang masih mampu menampung teh meski retaknya tak lagi bisa disembunyikan.

Tuhan, ternyata, suka duduk di meja makan yang tidak sempurna. Di rumah yang tidak selalu damai. Di hati yang kadang penuh retak tapi tetap mencoba mencintai. Dan sore itu, aku belajar satu hal:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun