“Biarkan anak itu membantu cuci piring,” ucap temannya, membuat karyawan bertubuh agak bongsor tersebut melengos dan pergi ke ruang depan.
Dengan penuh semangat, kucuci bersih semua perabot kotor yang ada. Tapi sebelumnya kucari kantung kresek untuk menadah sisa makanan yang ada di piring-piring bekas makan pengunjung, hingga setelah selesai urusan cuci mencuci, aku berpamitan pulang dengan menenteng satu plastik penuh makanan sisa.
Kali ini langkahku amat ringan menuju rumah. Dan sambil bersenandung riang, tak henti-hentinya kuendus lezat aroma makanan yang menguar dari kresek hitam yang kutenteng tersebut.
Baru saja kakiku hendak melangkah ke dalam gubuk, ketika Mbok Darmi penghuni gubuk sebelah menyapaku. Dari wajahnya aku bisa menebak, bahwa Mbok Darmi juga memiliki masalah yang sama denganku. Menahan lapar.
“Kamu malam sekali baru pulang, Ti,” sapa Mbok Darmi.
“Ya, Mbok. Tadi aku bantu-bantu cuci piring dulu di restoran padang,” sahutku. “Eh, Mbok, aku punya kabar baik, nih, karena malam ini kita akan pesta seperti orang-orang kaya di restoran tikungan itu loh, Mbok,” lanjutku riang.
Mbok Darmi terkekeh geli mendengar ucapanku. Sambil menggeleng beliau berkata, “Tiii… Ti… Kamu ini mbok ya jo ngimpi pesta segala, lha wong makan sehari-hari saja kadang ada kadang tidak.”
“Aku tidak mimpi, Mbok. Nih kalo Mbok Darmi ga percaya. Mmmh… ayang goyeennng… Mmmh… sambel ijo, Mbok…” kuangsurkan kresek hitam tentenganku kepada Mbok Darmi, membuat Mbok Darmi penasaran dan turut mengendus-endus kresek hitam tersebut.
“Ayo kita makan bareng, Mbok. Bangunkan juga Tono dan Tini cucu Mbok itu. Pokoknya malam ini kita makan menu restoran, haha…”
Mbok Darmi kembali terkekeh-kekeh. Kali ini kekehnya amat sumringah hingga gerahamnya yang kini tak lagi memiliki gigi itu terlihat jelas.
Malam ini kami makan bersama. Dan seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan nikmatnya makan ayam goreng lengkap dengan sajian yang lainnya.