Berpikir Kritis atau Branding Akademik: Mana yang Lebih Menentukan Masa Depan?
Oleh: A. Rusdiana
Tanggal 1 September 2025 menandai dimulainya semester ganjil tahun akademik 2025/2026. Hari itu saya menjalani perkuliahan maraton: empat kelas S1 dengan total 12 SKS, disusul kelas S2 tiga SKS, berlangsung sejak pukul 06.50 pagi hingga menjelang magrib. Pengalaman mengajar perdana ini didampingi Empat tutor, alumni S2 yang baru lulus. Satu orang berstatus mahasiswa S3, dua di antaranya sudah terbiasa mendampingi sejak tahun lalu, sementara satu lainnya baru saja lulus pada 23 Juli 2025.
Fenomena ini memberi ruang refleksi: di tengah beban kerja akademik, apa yang sebetulnya harus diperkuat mahasiswa? Apakah soft skills berpikir kritis yang membentuk logika ilmiah, ataukah branding akademik yang menegaskan identitas intelektual di ruang publik digital? Teori publikasi digital sebagai arena uji publik menunjukkan bahwa kualitas akademik kini tidak cukup teruji di ruang kelas, melainkan juga di ruang publik daring. Wenger dengan konsep community of practice menekankan pentingnya belajar dalam komunitas, sementara Vygotsky melalui social learning menggarisbawahi peran interaksi sosial dalam membentuk pemahaman. Dari perspektif Job Demand--Resources Theory, mahasiswa menghadapi tuntutan akademik yang tinggi; agar tetap engaged, mereka membutuhkan sumber daya, baik berupa dukungan berpikir kritis maupun peluang branding akademik.
Masalahnya, sering kali ada mind match gap: kualifikasi akademik mahasiswa belum sejalan dengan tuntutan kompetensi nyata di dunia digital dan global. Maka, tulisan ini bertujuan menimbang: apakah berpikir kritis atau branding akademik yang lebih menentukan masa depan? Â Ijilah Jawabannya:
Pertama: Membedakan Opini dan Argumen Ilmiah; Mahasiswa kerap terjebak menyamakan opini dengan argumen ilmiah. Padahal, opini hanyalah pernyataan subjektif, sedangkan argumen akademik menuntut data, teori, dan logika. Di sinilah berpikir kritis menjadi pilar utama. Tanpa kemampuan memilah keduanya, diskusi kelas berpotensi berubah menjadi perdebatan emosional. Namun, sekadar menguasai argumen di ruang kelas tidak cukup. Di era digital, argumen perlu diuji di ruang publik. Branding akademik muncul ketika mahasiswa berani menampilkan gagasan bernasnya melalui publikasi daring, sehingga mereka dikenal bukan hanya sebagai pengikut, tetapi sebagai penghasil gagasan.
Kedua: Metode Penelitian sebagai Fondasi Logika Akademik; Metode penelitian adalah jalan untuk menata logika akademik. Dari rumusan masalah, kerangka teori, hingga analisis data, mahasiswa dilatih untuk berpikir sistematis dan kritis. Inilah yang membedakan akademisi dari sekadar pengamat. Namun, logika akademik yang kokoh perlu ditopang dengan ruang eksposur. Platform digital menjadi laboratorium publikasi yang meneguhkan branding akademik mahasiswa. Mereka yang terbiasa menulis hasil penelitian di blog akademik, jurnal mahasiswa, atau media populer seperti Kompasiana, akan memiliki rekam jejak intelektual yang lebih jelas.
Ketiga: Konsistensi Menulis sebagai Branding Akademik; Branding akademik bukan sekadar slogan, tetapi praktik konsistensi. Menulis setiap minggu, menyusun catatan reflektif, atau mengunggah artikel ilmiah populer akan membentuk identitas intelektual yang diakui publik. Dalam hal ini, berpikir kritis menjadi bahan bakar, sementara tulisan adalah kendaraan. Mahasiswa yang konsisten menulis tidak hanya membangun portofolio, tetapi juga melatih kedisiplinan intelektual. Branding akademik pun terbentuk secara alami, bukan instan.
Keempat: Kolaborasi dan Diskusi sebagai Penjernih Kolektif; Diskusi kelas bukan hanya ajang berbagi pendapat, melainkan proses penjernihan gagasan secara kolektif. Wenger menyebutnya community of practice: kelompok belajar yang mengasah pemahaman melalui interaksi. Diskusi mendorong mahasiswa menguji logika masing-masing, memperbaiki argumen, dan menghargai keragaman sudut pandang. Dari sinilah branding akademik mahasiswa terbangun, karena mereka tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari komunitas intelektual yang hidup.