Bab 3: Makan Malam yang Membuka Luka
Malam turun perlahan di kota yang tak pernah benar-benar tidur. Lampu jalan menyala satu per satu, menerangi trotoar yang mulai sepi. Di sebuah restoran bergaya klasik di pinggiran distrik pusat kota, aku duduk di dekat jendela besar, menunggu Ye Tian. Restoran ini bukan tempat mewah yang sering dikunjungi kalangan elit. Justru, tempat ini sederhana, tenang, dan penuh nostalgia. Mungkin itu alasannya dia memilih tempat ini agar kami bisa berbicara tanpa topeng, tanpa formalitas kantor. Pintu terbuka. Aku menoleh. Ye Tian masuk, mengenakan kemeja hitam sederhana. Rambutnya sedikit berantakan karena angin malam, tapi matanya langsung menemukanku. Senyumnya hangat. "Maaf menunggu lama," katanya sambil duduk. "Baru saja datang," jawabku, walau sebenarnya aku sudah menunggu hampir dua puluh menit. Entah kenapa, aku tidak ingin dia merasa bersalah.
Kami memesan makanan ringan dan teh hangat. Setelah pelayan pergi, keheningan menggantung di antara kami. Tapi kali ini bukan keheningan canggung. Ini seperti jeda yang menunggu kata yang tepat untuk membuka pintu kenangan. "Kenapa kamu mau datang?" tanyanya pelan. Aku menghela napas. "Aku juga tak yakin. Mungkin... karena aku penasaran. Atau mungkin karena aku ingin tahu apakah perasaan lima tahun lalu benar-benar sudah mati."
Dia menatapku dalam. "Aku belum pernah benar-benar bisa menyukai orang lain setelah itu," katanya lirih. "Ada banyak yang datang dan pergi. Tapi... tak satu pun bisa menggantikanmu." Kata-katanya membuat hatiku bergetar. Tapi aku tak mau larut begitu saja. "Dan kamu pikir lima tahun kemudian, kita bisa melanjutkan seperti tak ada yang terjadi?" tanyaku, menatap matanya.
"Tidak," jawabnya jujur. "Aku tahu aku terlambat. Tapi aku percaya, selama kita masih saling menyimpan, mungkin belum benar-benar selesai."
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan mulai turun, pelan tapi konsisten. Seperti suasana hatiku. "Kamu tahu," kataku, "setelah kelulusan itu, aku pergi ke Inggris. Satu tahun penuh aku mencoba melupakan semuanya. Aku pacaran sekali. Tapi aku putus hanya dalam dua bulan."
Ye Tian terdiam.
"Aku bilang ke diriku sendiri, kamu hanya masa lalu," lanjutku. "Tapi setiap kali aku lihat langit senja, aku selalu ingat kamu." Dia tersenyum samar. "Aku juga sama. Setiap lihat gerimis turun, aku teringat sore terakhir kita sebelum kelulusan. Kamu di balkon sekolah, rambutmu ditiup angin. Aku ingin menyapamu... tapi aku takut."
Aku tertawa pelan. "Kenapa kamu selalu takut waktu itu?" "Karena kamu terlalu sempurna," jawabnya jujur. "Aku cuma anak biasa. Anak dari keluarga sederhana yang bahkan harus kerja sambilan buat bayar uang les. Sedangkan kamu... kamu Ning Yi. Anak pemilik perusahaan Ning Corporation. Pintar. Cantik. Diperebutkan semua siswa."
Aku menunduk. "Tapi aku hanya ingin disukai seseorang yang melihat aku... bukan statusku." "Dan aku gagal melihat itu," katanya lirih. "Tapi sekarang, aku ingin menebus semuanya."