Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Surat Amar

7 Februari 2020   01:49 Diperbarui: 7 Februari 2020   18:43 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: wpcnhf.org

Keiza makin tak mengerti arah pembicaraan Amar. Namun, seperti permintaan Amar, ia relakan untuk mendengar lanjutan ceritanya. Hampir sebulan berjalan, pimpinan Amar mengumpulkan seluruh anak buahnya lagi. Ia duduk membaur. Seolah tak ada jarak.

"Hari ini, saya akan sampaikan kenapa saya membuat keputusan cepat waktu lalu."

"Saya tak ingin perusahaan ini seperti air yang tergenang. Tidak ada gerakan. Tak ada saluran."

Ia menyebut perusahaan harus terus bergerak. Ketika kita merasa tak ada kompetitor yang mampu menandingi, itu salah. Mereka tak sadar telah menggali inci demi inci lubang kuburnya. Karena perubahan itu tak kenal waktu dan tempat.

"Perubahan bisa secepat kilat menggerus kita jika kita merasa dalam kemapanan."

"Saya sadar pilihan itu akan pelik, tapi harus saya lakukan," imbuh sang pimpinan.

Ia lantas mengutip watak militer. Yang tegas, lugas, dan selalu waspada. Jangan heran bila pimpinan militer setiap saat menampar pipi anak buahnya. Ini semata-mata agar anak buahnya tidak terlelap, sehingga tak sadar musuh telah membidiknya.

Itu sebabnya perusahaan ini harus waspada. "Saya terima bila kalian di sini, tapi dengan syarat tidak sakit hati oleh tamparan saya. Atau memang kalian sudah capek berkompetisi dan ingin mandiri. Saya bangga kalian bisa membangun imperium baru. Jauh lebih besar dibanding perusahaan ini."

Peristiwa itu amat berbekas di hati Amar. Juga teman-temannya. Mereka pun tak kuasa membendung kesedihan ketika sang pimpinan akhirnya berpulang setelah begulat dengan sakit liver akut yang dideritanya.

"Keiz, ini bukti perasaanku. Aku tak ingin kau terlena. Menganggap semuanya telah sempurna. Maafkan bila aku telah menggodamu. Hubungan kita teramat tenang. Perlu kejutan agar aku selalu mengingat kemarahanmu. Perhatianmu," Amar meredahkan suaranya.

Keiza tersipu. Diraihnya sapu tangan pink dalam tasnya. Lalu menutup matanya.

Keiza beranjak pergi, sambil berucap, "Lain kali, menulislah lebih dahsyat lagi, matahariku..!" (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun