Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gang Trengguli

20 November 2019   14:23 Diperbarui: 22 November 2019   08:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Foto: KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Suatu pagi di Gang Trengguli. Genangan air masih merebak di sudut jalan. Tikus-tikus got merambat dari selokan. Bau apek merebak tajam. Suara bercericit saling bersahutan.

Tikus-tikus got berlomba mencari ampas makanan. Tikus-tikus got memangsa ceceran sampah dengan lahapnya. Sesaat, kegaduhan menyeruak di plafon rumah-rumah penduduk. Bocah-bocah terkaget-kaget. Menjerit.

Warga dan juga penduduk lain yang biasa lewat Gang Trengguli, pasti mengeluh. Jalanan menganga. Berlubang di sana-sini. Sebagian sudah membentuk kubangan. Yang mencolok arah rumah susun, sekitar seratus meter dari Gang Trengguli.

Bertahun-tahun, jalanan di sana tak pernah tersentuh pembangunan. Alih-alih mengaspal, untuk menambalnya saja tak pernah terwujud. Kalau pun ada perbaikan, itu mencuat dari kegelisahan warga. Merekalah yang beritikad baik memperbaiki jalan. Tapi cuma tambal sulam dengan sirtu (pasir dan batu).

Siang hari pun bertabur berjuta-juta debu. Mengendap dan makin menebal. Sirtu yang sudah mengelupas membuat jalan kembali hancur. Burung-burung manyar pun tak pernah kerasan menancapkan kakinya seperti dulu.

Belakangan, Gang Trengguli menebar ancaman. Bila hujan mendera, banyak kendaraan teperosok lantaran tak bisa menghindar dari jalan berlubang. Malam hari, duh.. sangat mengkhawatirkan.

Korban terakhir: Mas Topo. Pensiunan PNS. Usai ikut pengajian bulanan di rumah temannya, motornya nyungsep di got. Malam itu, Mas Topo tak mengira upayanya menghindar dari jebakan lubang di tengah jalan berbuah petaka. Motor yang ditumpanginya diserongkan ke kiri. Bibir saluran tepi menanti lubang yang menganga. Tingginya hampir separo lulut.

Saat itu, Mas Topo mencoba menjaga keseimbangan tubuhnya, namun gagal. Dia terjatuh ke selokan bersama motornya. Jumpalitan. Buntutnya fatal. Kepala Mas Topo bocor. Kaki kanannya tergencet.

Mas Topo tergeletak bersimbah darah. Tak seorang pun tahu dia pingsan beberapa lama. Beruntung sejumlah warga memergokinya.

"Ya, Allah. Sakit, ya Allah, sakit," Mas Topo mengerang saat dibawa warga ke rumah sakit.

Kepala Mas Topo harus menerima 24 jahitan. Hampir sepekan dia opname. Di ujung hidupnya dia dipaksa memakai kursi roda. Para tetangga yang peduli membuka memberi santunan untuk membantu biaya pengobatan dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun