Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Gang Trengguli

20 November 2019   14:23 Diperbarui: 22 November 2019   08:31 243 15
Suatu pagi di Gang Trengguli. Genangan air masih merebak di sudut jalan. Tikus-tikus got merambat dari selokan. Bau apek merebak tajam. Suara bercericit saling bersahutan.

Tikus-tikus got berlomba mencari ampas makanan. Tikus-tikus got memangsa ceceran sampah dengan lahapnya. Sesaat, kegaduhan menyeruak di plafon rumah-rumah penduduk. Bocah-bocah terkaget-kaget. Menjerit.

Warga dan juga penduduk lain yang biasa lewat Gang Trengguli, pasti mengeluh. Jalanan menganga. Berlubang di sana-sini. Sebagian sudah membentuk kubangan. Yang mencolok arah rumah susun, sekitar seratus meter dari Gang Trengguli.

Bertahun-tahun, jalanan di sana tak pernah tersentuh pembangunan. Alih-alih mengaspal, untuk menambalnya saja tak pernah terwujud. Kalau pun ada perbaikan, itu mencuat dari kegelisahan warga. Merekalah yang beritikad baik memperbaiki jalan. Tapi cuma tambal sulam dengan sirtu (pasir dan batu).

Siang hari pun bertabur berjuta-juta debu. Mengendap dan makin menebal. Sirtu yang sudah mengelupas membuat jalan kembali hancur. Burung-burung manyar pun tak pernah kerasan menancapkan kakinya seperti dulu.

Belakangan, Gang Trengguli menebar ancaman. Bila hujan mendera, banyak kendaraan teperosok lantaran tak bisa menghindar dari jalan berlubang. Malam hari, duh.. sangat mengkhawatirkan.

Korban terakhir: Mas Topo. Pensiunan PNS. Usai ikut pengajian bulanan di rumah temannya, motornya nyungsep di got. Malam itu, Mas Topo tak mengira upayanya menghindar dari jebakan lubang di tengah jalan berbuah petaka. Motor yang ditumpanginya diserongkan ke kiri. Bibir saluran tepi menanti lubang yang menganga. Tingginya hampir separo lulut.

Saat itu, Mas Topo mencoba menjaga keseimbangan tubuhnya, namun gagal. Dia terjatuh ke selokan bersama motornya. Jumpalitan. Buntutnya fatal. Kepala Mas Topo bocor. Kaki kanannya tergencet.

Mas Topo tergeletak bersimbah darah. Tak seorang pun tahu dia pingsan beberapa lama. Beruntung sejumlah warga memergokinya.

"Ya, Allah. Sakit, ya Allah, sakit," Mas Topo mengerang saat dibawa warga ke rumah sakit.

Kepala Mas Topo harus menerima 24 jahitan. Hampir sepekan dia opname. Di ujung hidupnya dia dipaksa memakai kursi roda. Para tetangga yang peduli membuka memberi santunan untuk membantu biaya pengobatan dia.

Mas Topo tak sendiri. Jauh hari sebelumnya, keluarga Khalim didera kejadian mengenaskan. Pagi buta usai subuh, Khalim bersama istrinya, Inayah, berangkat ke Stasiun Semut untuk jualan jajan pasar. Pagi itu, motor yang ditumpangi terguling. Khalim bersama Inayah terpental dari motornya.

Khalim terluka. Kulit kedua sikunya mengelupas. Istrinya yang hamil tujuh bulan, mengalami pendarahan serius. Bayi dalam kandungannya harus dikeluarkan lewat operasi caesar. Beruntung bayinya berhasil diselamatkan. Sementara motornya ringsek. Khalim harus menjual motornya itu untuk biaya operasi dan persalinan istrinya.

***

Suatu pagi di Kampung Trengguli. Azan Subuh terdengar dari suara yang agak berat dari musala. Lafadznya tak jelas. Intonasinya tak beraturan. Sesekali nadanya terdengar sedak. Kadang juga suaranya terhenti, lalu menyambung lagi.

Beberapa orang terlihat berjalan hampir bersamaan. Rata-rata mereka memakai baju gamis, sarung, kopiah. Ada yang menentang dan tasbih yang di tangan. Raut muka dibasahi bulir-bulir air. Segar dan bersih. Bau minyak zafaron merebak menusuk hidung.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun