"Aku butuh air, Sis. Tenggorokanku kering."Â
Sejenak, suara berat itu menggugah kesenyapan malam. Sisca dan tertidur di kursi rumah sakit pun terbangun. Tanpa bicara, sebotol air mineral ukuran kecil dengan sedotan disodorkan Sisca ke mulut Rastati.
"Suhu badan ibu belum turun? Kan semua obat sudah diminum?"
"Panas, Sis. Panas. Aku letih sekali."
"Itu hanya reaksi obatnya, Bu?" Sisca berusaha menghibur.
"Bukan. Penyakitku makin parah, Sis. Aku nggak mungkin tertolong?"
"Siapa bilang? Ibu akan segera sembuh. Percayalah, itu hanya reaksi obatnya saja." Â
"Ah, kamu. Aku nggak bodoh, Sis. Aku dengar semua ucapan dokter Herman, tadi sore. Mas Mariyun dan kamu ada, kan? Disuruh ngumpulin keluarga, tho? Aku dengar, Sis. Tinggal tunggu waktu saja!"
Sisca tercenung. Bibirnya tak bisa berucap satu pun kata. Matanya berair. Membasahi kedua pipinya. Tangan Sisca yang memegang erat tubuh ibunya terus bergetar.
"Sudahlah Sis, aku siap bila pergi malam ini juga. Aku sambut malaikat kalau ia ingin minta nyawaku. Aku siap."
Dada Sisca berasa sesak. Emosinya meledak. Sisca menangis sesunggukan. Melihat itu, Rastanti yang hanya bisa menggerakkan kedua tangannya. Meremas mesra rambut Sisca.