Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kabut Asap yang Lain dalam Karhutla

15 September 2019   04:38 Diperbarui: 15 September 2019   09:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Perjuangan Rakyat di Riau (olah dari Detik, 14/9)

Penggunaan imbuhan (konfiks) "ke-an" dan "pe-an" untuk kata dasar "bakar" sudah berbeda makna. Sebagian makna "ke-an" pada "kebakaran" adalah suatu keadaan (kondisi), dan suatu perbuatan yang tidak disengaja.

Sementara makna "pe-an" yang mengalami alomorf pada "pembakaran" adalah sebuah proses. Tradisi berladang atau adat dalam proses membuka selalu dipakai oleh segelintir elite untuk menutupi kebiasaan oknum koorporat yang berafiliasi dengan oknum birokrat, baik daerah maupun pusat.   

Demikian bahasa sebagai alat komunikasi yang "diperalat" untuk suatu pembohongan, bahkan pembohongan pada masyarakat (publik). Ketidakjujuran berbahasa memang sering "diperalat" atas nama sopan-santun yang dikenal dengan istilah "eufemisme" dan "bohong putih".

Sehebat apa pun sebuah eufemisme dan bohong putih dengan diksi "kebakaran", pembohongan pada publik dilakukan berulang-ulang. Dengan pembohongan yang berulang, pembakaran pun akan selalu berulang.

Akan tetapi, realitas selalu menampilkan kejujuran, dan tidak repot bersopan-santun dengan sebuah eufemisme beristilah "bohong putih". Bohong tetaplah bohong (dusta, tipu muslihat), meskipun dibungkus dengan kabut beristilah "bohong putih".   

Pihak-pihak yang Terlibat dan Pilih-Tebang-Bakar
Setiap munculnya kasus karhutla, satu-satunya pihak yang selalu mendapat sanksi, baik administrasi maupun denda adalah swasta (perusahaan, korporasi). Puluhan atau ratusan perusahaan. Sebagian pemiliknya berasal dari negara lain. Dan berputar di situ.

Yang tidak terlalu sering disinggung adalah birokrat setempat, dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dan dari tingkat desa sampai provinsi. Padahal, terkait dengan regulasi dan administrasi (perizinan), pihak swasta tidak bisa bergerak seenaknya sendiri di suatu daerah, 'kan?

Dengan hanya menghakimi satu pihak yakni pihak swasta, sepakat atau tidak, penegakan hukum belumlah diberlakukan secara tegas. Itu pun sama saja dengan "Pilih-Tebang-Bakar". Dan, dengan hanya begitu, berarti bahwa keadilan justru timpang (berat sebelah).

Penegakan hukum yang hanya "Pilih-Tebang-Bakar" bukanlah tindakan yang patut dibanggakan, apalagi digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya, upaya melindungi oknum birokrasi lokal terkait juga merupakan bagian dari pembohongan pada publik dalam kabut asap karhutla.

Nah, sampai kapan persoalan karhutla yang sebenarnya "pembakaran hutan dan lahan" akan benar-benar selesai?

Entahlah, karena terlalu banyak "kepentingan" yang bersembunyi dan disembunyikan dalam kabut asap karhutla.  

*******
Kupang, 14-15 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun