Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kabut Asap yang Lain dalam Karhutla

15 September 2019   04:38 Diperbarui: 15 September 2019   09:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Perjuangan Rakyat di Riau (olah dari Detik, 14/9)

Menjelang pertengahan September 2019 kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali "mengasapi" sebagian wilayah di Indonesia dan negara terdekat. Sumatera dan Kalimantan masih menyandang predikat sebagai "daerah penyumbang asap yang royal".

 Media-media daring (online) menjadikannya topik khusus. Termasuk Kompasiana yang menjadikannya "Topik Pilihan" dengan judul "Dikepung Polusi Udara" (12/9). 

Barangkali perlu untuk mundur sebentar, yaitu awal 2019, dimana karhutla sebenarnya sudah "menyatakan diri" secara jelas-tegas, khususnya di Sumatera, dan utamanya di Provinsi Riau. Berita-berita mengenai karhutla awal 2019 masih bisa dilacak di media-media daring.

2019 di Antara Debat Kedua Pilpres dan Realitas
Pada acara Debat Kedua Pilpres 2019 dengan moderator Tommy Tjokro dan Anisha Dasuki di Hotel Sultan, Jakarta (17/2/2019), salah satu temanya adalah "Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup". Pada saat itu Jokowi merupakan capres nomor urut 01 sekaligus petahana.

"Mengapa dalam tiga tahun ini kita bisa mengatasi kebakaran hutan, kebakaran lahan gambut, salah satunya adalah penegakan hukum yang tegas terhadap siapa pun. 

Sudah ada sebelas (ini supaya dicatat), sebelas perusahaan yang diberikan sanksi denda sebesar delapan belas koma tiga triliun. Kenapa sekarang semua takut urusan yang namanya kebakaran hutan, ilegal logging, karena kita tegas, penegakan hukum kita tegas terhadap pelanggar-pelanggar, perusak lingkungan," kata Jokowi.

Realitanya apa?

Sebelum debat malam itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang mengerahkan pasukan pemadam kebakaran Mangga Agni untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan yang kini terus berkobar di pesisir Provinsi Riau. 

Ada lima regu Manggala Agni yang terdiri atas 75 personel untuk diperbantukan, dan mereka berasal dari Daops Pekanbaru, Daops Siak dan Daops Rengat.

"Pasukan akan kita tempatkan di titik-titik penting untuk mencegah pejalaran api agar tidak terus meluas," kata Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim, Kebakaran Hutan dan Lahan (BPPIKHL) Wilayah Sumatera, Israr Albar.

BPPIK adalah unit kerja di bawah KLHK yang menaungi daerah operasional (Daops) di lima provinsi di Sumatera, yakni Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jambi dan Sumatera Selatan.

Lalu dua hari setelah acara debat itu (19/2) Gubernur Riau Wan Wan Thamrin Hasyim menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) berlaku di Provinsi Riau selama delapan bulan mulai 19 Februari hingga 31 Oktober 2019. 

Penetapan ini disampaikan pada rapat di kantor Gubernur Riau yang turut dihadiri instansi terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Restorasi Gambut (BRG), Manggala Agni, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), TNI, Polri dan Kejaksaan Tinggi Riau.

Berdasarkan data BPBD Riau, sejak awal Januari hingga pertengahan Februari luas kebakaran hutan dan lahan di Riau mencapai 841,71 hektare (ha). Lahan yang terbakar paling luas terjadi di Kabupaten Bengkalis, yaitu 625 ha, kemudian di Kabupaten Rokan Hilir seluas 117 ha, Dumai 43,5 ha, Meranti 20,2 ha, Pekanbaru 16 ha, serta Kampar 14 ha.

Dari 841,71 ha (9/2) ternyata sudah menjadi 6.425,39 ha pada 8/9, karena setiap hari terjadi kebakaran lahan di sejumlah daerah. Angka 6.425,39 disampaikan oleh Kepala BPBD Riau Edwar Sanger pada sebuah media daring.  

2015 yang Parah dan Terburuk Sejak 1997
Kebakaran hutan pada 2015 merupakan kebakaran terburuk sejak 1997. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, luas area karhutla tahun 2015 setara 32 kali luas wilayah DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali.

Dari situs Sipongi Menlhk, pada 2015 karhutla terluas berada di Sumatera Selatan (646.298,80 ha) dan Kalimantan Tengah (583.833,44 ha). Kedua provinsi ini mewakili pulau dengan karhutla terluas di Indonesia.

Untuk wilayah Sumatera, total karhutla seluas 1.028.864,31 ha. Setelah Sumsel, berikutnya ialah Riau (183.808,59 ha), Jambi (115.634,34 ha), Lampung (71.326,49 ha), Sumut (6.010,92 ha), Sumatera Barat (3.940,14 ha), Bengkulu (931,76 ha), dan Aceh (913,27 ha).

Tiga provinsi di Sumatera, yaitu Sumsel, Riau, Jambi, paling merasakan dampaknya. Di Provinsi Riau saja karhutla berdampak pada perekonomian (lumpuh), trasportasi (bandara tutup), pendidikan (sekolah diliburkan), dan kesehatan (ribuan orang terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA). Sementara, 9 orang anak meninggal dunia di Riau dan Sumsel.

Untuk wilayah Kalimantan, total karhutla seluas 957.725,17 ha. Setelah Kalteng, berikutnya ialah Kalimantan Selatan (196.516,77 ha), Kalimantan Barat (93.515,80 ha), Kalimantan Timur (69.352,96 ha), dan Kalimantan Utara (14.506,20 ha)

Meski luas area belum setara dengan sebaran kebakaran hutan dan lahan tahun 1997, menurut Katadata edisi 12/8/2019, dampak bencana karhutla tahun 2015 dinilai lebih parah dibandingkan bencana 18 tahun sebelumnya.

"Jumlah lahan yang terbakar memang lebih luas tahun 1997, tapi dampak ekonomi dan jumlah korban jiwa lebih besar tahun ini," BNPB menjelaskan kepada media pada 30 Oktober 2015. BNPB pun menaksir, total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun itu kurang lebih Rp 221 triliun.

1997, El Nino dan Tradisi Masyarakat Adat
Pada pertengahan 1997 istilah "El Nino" mulai dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia. Nama El Nino sendiri adalah istilah dalam bahasa Spanyol yang berarti "Anak Laki-laki" atau "Anak yang Diberkati" (jika mengacu pada cuaca ekstrem mencapai klimaks pada Desember). Fenomena alam ini terjadi setiap 2-7 tahun dan berdurasi 6-24 bulan.

Pada waktu itu kebakaran hutan di sebagian wilayah Indonesia. 1,5 juta hektare lahan di Sumatera dan 3 juta hektare di Kalimantan hangus.

Selain itu, juga berdampak kabut asap hingga Singapura dan Malaysia. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengutus Tim Jabatan Bomba dan Penyelamat Malaysia (Dinas Pemadam Kebakaran dan Basarnas Malaysia) ke Indonesia dalam misi "Operasi Haze".

Karena kabut asap asal Indonesia telah mengakibatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Malaysia mengalami penurunan sebesar 0,3%. Kebakaran 1997 mereda pada awal Desember karena musim hujan.

Kemudian kebakaran hutan terjadi lagi pada 1998. Kali ini kabut asap meluas sampai ke Brunei Darussalam, sebagian wilayah Thailand, Vietnam, Filipina, dan Australia utara.

Kebakaran hutan yang membawa istilah "El Nino" pada 1997-1998 itu mengakibatkan lebih dari 8 juta hektar lahan terbakar, dan jutaan orang terpapar polusi udara. 

Di samping itu, ada semacam tudingan terhadap para petani dari masyarakat adat Indonesia dengan mengangkat sistem beristilah "Peladangan Tebang Bakar".

Tudingan terhadap tradisi itu berlebihan, mengingat masyarakat adat justru sangat menguasai teknik berladang sejak ratusan tahun. Mereka bisa memberi batas tersendiri supaya pembakaran tidak menjalar ke wilayah sekitarnya.

Maka, sejak 1997 sebagian pengelola daerah-negara menjadikan "El Nino" dan masyarakat adat sebagai kambing hitam. Paling tidak, tradisi berladang masyarakat adat masih saja disebutkan pada sekitar Agustus 2019 lalu.

1967 Karpet Merah Terbentang dan si Jago Merah Ambil Bagian
Pada 1967 pengelola negara yang dipimpin oleh Soeharto membentangkan "karpet merah" bagi pihak asing untuk membuka usaha. "Karpet merah" itu terjamin "mulus" karena berlandaskan konstitusi yang bernama Undang-undang RI No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA).

Penanaman modal adalah investasi. Penanamnya adalah investor dari luar negeri. Sejak 1967 hingga entah tahun kapan, investasi dan investor masih menjadi andalan para pengelola Indonesia. 

Kata "demi kesejahteraan seluruh rakyat" selalu diketengahkan sebagai "jembatan emas" antara segelintir pengelola negara (birokrat) dan selaksa warga negara (publik).

Sementara negara-negara yang tergolong investor sangat menyukai "karpet merah" yang selalu dibentangkan oleh pemerintah Indonesia. 

Pihak swasta yang bernaung sebagai negara investor pun berbondong-bondong, karena, bukan mustahil bahwa regulasi di negara mereka sendiri sudah tidak membentangkan "karpet merah" dengan pertimbangan tertentu.

Selembar "karpet merah" terbentang hingga ke hutan-hutan. Sebagian investor, segelintir pengelola negara, dan selaksa warga negara pun berbondong-bondong di atasnya sambil mengibarkan panji "demi kesejahteraan". Di balik panji, ada permainan mata yang sangat aduhai di antara pihak asing dan segelintir pengelola negara.

Pada 1967 pun menandai kemunculan kabut asap yang berasal dari aksi si jago merah dalam kebakaran hutan. Kompas edisi 2 November 1967 mengangkat berita yang berjudul "Palembang Diselimuti Kabut Tebal". Pertanda apakah?

Tradisi Masyarakat Adat sebagai Kambing Hitam "Bertanduk"
Di hutan sekitarnya masyarakat adat pun membuka ladang. Mereka hanya melakukan tradisi warisan leluhur yang salah satu prosesnya adalah "tebang-bakar". Ladang baru pun dibuka untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri.  

Kepentingan masyarakat adat berbeda dengan  kepentingan korporasi asing. Kepentingan masyarakat adat tertuju pada kebutuhan hidup sehari-hari dengan produksi yang tidak seberapa. Kepentingan korporasi asing tertuju pada kebutuhan yang jauh lebih kompleks, massif, dan massal dengan produksi yang berlebihan untuk jangka waktu lama.

Kepentingan korporasi asing semata-mata bertujuan profit. Kalau hanya "kerja bakti", apalah gunanya  datang dari jauh dengan bekal ongkos yang tidak sedikit, 'kan?

Tradisi masyarakat adat dalam membuka ladang pun dilirik oleh korporasi asing, terlebih adanya gagasan-gagasan yang "dibisikkan" oleh oknum penguasa lokal. 

Tidak lupa pula oknum-oknum itu memberi alasan klasik (tradisi) sebagai "jaminan" untuk "melindungi" kolaborasi yang harmonis antara birokrasi dan korporasi.  

Pembukaan lahan dengan cara pembakaran, memang, sangat efektif, dan efisien (mampu menekan ongkos operasional) setelah dikalkulasi dan dikongkalikongi dengan "kompensasi" bagi pihak-pihak terkait. Pokoknya, semua urusan beserta anggaran administrasi bisa segera beres.

Pihak-pihak terkait itu, sudah pasti, birokrat. Oknum-oknum berstandar ganda ini sudah pasti mendapat "kompensasi" dari "ongkos" kolaborasi setelah membentang "karpet merah" sekaligus memberi peluang untuk "si jago merah" (pembakaran). 

Sehubungan dengan pihak-pihak yang terkait dalam pembukaan suatu lahan, pada 2015 di Kalteng berlaku sebuah regulasi yang membolehkan pembakaran dengan luasan tertentu.

Regulasi tersebut berupa aturan yang tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang membolehkan pembakaran hutan.

Di dalam Pasal 1 poin (3), diatur soal urusan pemberian izin untuk membuka lahan di bawah 5 hektare dengan cara membakar. Untuk luas lahan sampai dengan 1 ha, izin dari Ketua RT. Untuk lahan seluas 1-2 ha, izinnya dari Lurah atau Kepala Desa. Untuk lahan yang luasnya antara 2-5 ha, izinnya dari Camat.

Tidak perlu heran jika pada 2015 Kalteng menempati posisi kedua (setelah Sumsel) dalam daftar "penyumbang" asap terbanyak di Indonesia dengan luas kebakaran sampai 583.833,44 ha, 'kan?

Perisai Hukum untuk Masyarakat Adat
Tudingan terhadap masyarakat adat dan tradisinya merupakan tindakan yang semena-mena untuk menutupi sisi gelap sebuah kolaborasi alias kongkalikong. Masyarakat adat membuka lahan dengan cara membakarnya tidaklah bertentangan dengan aturan formal, regulasi, legalisasi, atau konstitusi.

Dalam UU 32 Tahun 2009 pasal 62 ayat (2) tertulis, "Yang berisi kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman varetas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api di wilayah sekelilingnya."

Sekitar Agustus 2019 Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rubi mengatakan bahwa masyarakat adat secara turun-temurun sudah membuka ladang dengan ketentuan hukum adat setempat. Setiap tahun ketika berladang masyarakat adat selalu melakukan pembekaran ladang. Dan pembakaran juga ada ritualnya.

"Membakar lahan tidak sembarangan. Yang biasa dilakukan oleh masyarakat ketika membekar ladang bergotong royong, dibersihkan sekitar ladang supaya tidak ada merambat ke lain. Yang terakhir menyiapkan sesajikan yang di serahkan kepada Dewa Api," ujarnya.

Kabut Dialektika di Antara Kebakaran dan Pembakaran
Pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat adat berbeda dengan pembakaran yang dilakukan oleh kolaborasi korporasi-oknum birokrasi. Selain berbeda esensi, juga substansi. Hanya saja, pembakaran korporatif seringkali dikamuflase oleh pihak tertentu dengan diksi "kebakaran".

Dialektika sosial Indonesia terlalu santun mengalihkan "pembakaran" sebagai "kebakaran". Diksi "kebakaran" selalu disebarluaskan sehingga "pembakaran" sebagai sebuah proses utamanya menjadi "berkabut asap" alias tertutupi.

Penggunaan imbuhan (konfiks) "ke-an" dan "pe-an" untuk kata dasar "bakar" sudah berbeda makna. Sebagian makna "ke-an" pada "kebakaran" adalah suatu keadaan (kondisi), dan suatu perbuatan yang tidak disengaja.

Sementara makna "pe-an" yang mengalami alomorf pada "pembakaran" adalah sebuah proses. Tradisi berladang atau adat dalam proses membuka selalu dipakai oleh segelintir elite untuk menutupi kebiasaan oknum koorporat yang berafiliasi dengan oknum birokrat, baik daerah maupun pusat.   

Demikian bahasa sebagai alat komunikasi yang "diperalat" untuk suatu pembohongan, bahkan pembohongan pada masyarakat (publik). Ketidakjujuran berbahasa memang sering "diperalat" atas nama sopan-santun yang dikenal dengan istilah "eufemisme" dan "bohong putih".

Sehebat apa pun sebuah eufemisme dan bohong putih dengan diksi "kebakaran", pembohongan pada publik dilakukan berulang-ulang. Dengan pembohongan yang berulang, pembakaran pun akan selalu berulang.

Akan tetapi, realitas selalu menampilkan kejujuran, dan tidak repot bersopan-santun dengan sebuah eufemisme beristilah "bohong putih". Bohong tetaplah bohong (dusta, tipu muslihat), meskipun dibungkus dengan kabut beristilah "bohong putih".   

Pihak-pihak yang Terlibat dan Pilih-Tebang-Bakar
Setiap munculnya kasus karhutla, satu-satunya pihak yang selalu mendapat sanksi, baik administrasi maupun denda adalah swasta (perusahaan, korporasi). Puluhan atau ratusan perusahaan. Sebagian pemiliknya berasal dari negara lain. Dan berputar di situ.

Yang tidak terlalu sering disinggung adalah birokrat setempat, dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dan dari tingkat desa sampai provinsi. Padahal, terkait dengan regulasi dan administrasi (perizinan), pihak swasta tidak bisa bergerak seenaknya sendiri di suatu daerah, 'kan?

Dengan hanya menghakimi satu pihak yakni pihak swasta, sepakat atau tidak, penegakan hukum belumlah diberlakukan secara tegas. Itu pun sama saja dengan "Pilih-Tebang-Bakar". Dan, dengan hanya begitu, berarti bahwa keadilan justru timpang (berat sebelah).

Penegakan hukum yang hanya "Pilih-Tebang-Bakar" bukanlah tindakan yang patut dibanggakan, apalagi digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya, upaya melindungi oknum birokrasi lokal terkait juga merupakan bagian dari pembohongan pada publik dalam kabut asap karhutla.

Nah, sampai kapan persoalan karhutla yang sebenarnya "pembakaran hutan dan lahan" akan benar-benar selesai?

Entahlah, karena terlalu banyak "kepentingan" yang bersembunyi dan disembunyikan dalam kabut asap karhutla.  

*******
Kupang, 14-15 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun