Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kabut Asap yang Lain dalam Karhutla

15 September 2019   04:38 Diperbarui: 15 September 2019   09:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Perjuangan Rakyat di Riau (olah dari Detik, 14/9)

Kata "demi kesejahteraan seluruh rakyat" selalu diketengahkan sebagai "jembatan emas" antara segelintir pengelola negara (birokrat) dan selaksa warga negara (publik).

Sementara negara-negara yang tergolong investor sangat menyukai "karpet merah" yang selalu dibentangkan oleh pemerintah Indonesia. 

Pihak swasta yang bernaung sebagai negara investor pun berbondong-bondong, karena, bukan mustahil bahwa regulasi di negara mereka sendiri sudah tidak membentangkan "karpet merah" dengan pertimbangan tertentu.

Selembar "karpet merah" terbentang hingga ke hutan-hutan. Sebagian investor, segelintir pengelola negara, dan selaksa warga negara pun berbondong-bondong di atasnya sambil mengibarkan panji "demi kesejahteraan". Di balik panji, ada permainan mata yang sangat aduhai di antara pihak asing dan segelintir pengelola negara.

Pada 1967 pun menandai kemunculan kabut asap yang berasal dari aksi si jago merah dalam kebakaran hutan. Kompas edisi 2 November 1967 mengangkat berita yang berjudul "Palembang Diselimuti Kabut Tebal". Pertanda apakah?

Tradisi Masyarakat Adat sebagai Kambing Hitam "Bertanduk"
Di hutan sekitarnya masyarakat adat pun membuka ladang. Mereka hanya melakukan tradisi warisan leluhur yang salah satu prosesnya adalah "tebang-bakar". Ladang baru pun dibuka untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri.  

Kepentingan masyarakat adat berbeda dengan  kepentingan korporasi asing. Kepentingan masyarakat adat tertuju pada kebutuhan hidup sehari-hari dengan produksi yang tidak seberapa. Kepentingan korporasi asing tertuju pada kebutuhan yang jauh lebih kompleks, massif, dan massal dengan produksi yang berlebihan untuk jangka waktu lama.

Kepentingan korporasi asing semata-mata bertujuan profit. Kalau hanya "kerja bakti", apalah gunanya  datang dari jauh dengan bekal ongkos yang tidak sedikit, 'kan?

Tradisi masyarakat adat dalam membuka ladang pun dilirik oleh korporasi asing, terlebih adanya gagasan-gagasan yang "dibisikkan" oleh oknum penguasa lokal. 

Tidak lupa pula oknum-oknum itu memberi alasan klasik (tradisi) sebagai "jaminan" untuk "melindungi" kolaborasi yang harmonis antara birokrasi dan korporasi.  

Pembukaan lahan dengan cara pembakaran, memang, sangat efektif, dan efisien (mampu menekan ongkos operasional) setelah dikalkulasi dan dikongkalikongi dengan "kompensasi" bagi pihak-pihak terkait. Pokoknya, semua urusan beserta anggaran administrasi bisa segera beres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun