Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kabut Asap yang Lain dalam Karhutla

15 September 2019   04:38 Diperbarui: 15 September 2019   09:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Perjuangan Rakyat di Riau (olah dari Detik, 14/9)

1997, El Nino dan Tradisi Masyarakat Adat
Pada pertengahan 1997 istilah "El Nino" mulai dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia. Nama El Nino sendiri adalah istilah dalam bahasa Spanyol yang berarti "Anak Laki-laki" atau "Anak yang Diberkati" (jika mengacu pada cuaca ekstrem mencapai klimaks pada Desember). Fenomena alam ini terjadi setiap 2-7 tahun dan berdurasi 6-24 bulan.

Pada waktu itu kebakaran hutan di sebagian wilayah Indonesia. 1,5 juta hektare lahan di Sumatera dan 3 juta hektare di Kalimantan hangus.

Selain itu, juga berdampak kabut asap hingga Singapura dan Malaysia. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengutus Tim Jabatan Bomba dan Penyelamat Malaysia (Dinas Pemadam Kebakaran dan Basarnas Malaysia) ke Indonesia dalam misi "Operasi Haze".

Karena kabut asap asal Indonesia telah mengakibatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Malaysia mengalami penurunan sebesar 0,3%. Kebakaran 1997 mereda pada awal Desember karena musim hujan.

Kemudian kebakaran hutan terjadi lagi pada 1998. Kali ini kabut asap meluas sampai ke Brunei Darussalam, sebagian wilayah Thailand, Vietnam, Filipina, dan Australia utara.

Kebakaran hutan yang membawa istilah "El Nino" pada 1997-1998 itu mengakibatkan lebih dari 8 juta hektar lahan terbakar, dan jutaan orang terpapar polusi udara. 

Di samping itu, ada semacam tudingan terhadap para petani dari masyarakat adat Indonesia dengan mengangkat sistem beristilah "Peladangan Tebang Bakar".

Tudingan terhadap tradisi itu berlebihan, mengingat masyarakat adat justru sangat menguasai teknik berladang sejak ratusan tahun. Mereka bisa memberi batas tersendiri supaya pembakaran tidak menjalar ke wilayah sekitarnya.

Maka, sejak 1997 sebagian pengelola daerah-negara menjadikan "El Nino" dan masyarakat adat sebagai kambing hitam. Paling tidak, tradisi berladang masyarakat adat masih saja disebutkan pada sekitar Agustus 2019 lalu.

1967 Karpet Merah Terbentang dan si Jago Merah Ambil Bagian
Pada 1967 pengelola negara yang dipimpin oleh Soeharto membentangkan "karpet merah" bagi pihak asing untuk membuka usaha. "Karpet merah" itu terjamin "mulus" karena berlandaskan konstitusi yang bernama Undang-undang RI No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA).

Penanaman modal adalah investasi. Penanamnya adalah investor dari luar negeri. Sejak 1967 hingga entah tahun kapan, investasi dan investor masih menjadi andalan para pengelola Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun