Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 83-84

10 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 9 Oktober 2025   18:16 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada reaksi. Tak ada kemarahan. Tak ada instruksi. Hanya pandangan ke tanah yang terus menelisik dalam.

Lere memberanikan diri mendekat. "Musamus... apakah kau masih percaya kita bisa menyelesaikan ini?"

Masih tak ada jawaban. Tapi sebuah hembusan angin menerpa daun-daun di atas kepala mereka, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih tua dari waktu: kesabaran.

Luma memejamkan mata. "Mungkin kita terlalu keras bekerja... mungkin kita lupa bahwa rumah bukan cuma soal tinggi, tapi juga soal hati."

Rangga menoleh ke arah Musamus. "Apa... kau merasa gagal?" Suaranya patah. "Apa semua ini sia-sia?"

Musamus akhirnya bergerak. Ia berdiri pelan, lalu melangkah ke arah tanah gersang di depan pondasi sarang. Ia menunduk, menyentuh lumpur yang retak. Mengusapnya perlahan dengan ujung kaki kecilnya, seolah sedang mencari denyut kehidupan di sana.

Kemudian ia menoleh. Tatapan matanya tak biasa. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi kosong, seperti langit yang baru saja kehilangan bulan.

Ia membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Hanya napas panjang dan dalam yang menyatu dengan napas rawa itu sendiri. Lalu, perlahan, ia menutup mulutnya kembali. Diam, tapi penuh.

Lere menangis dalam diam. Luma menggenggam tanah. Rangga menunduk.

Karena mereka tahu, hari itu, Musamus tak ingin bicara bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ia sedang mendengarkan suara-suara yang hanya bisa terdengar oleh mereka yang telah memberikan seluruh jiwanya untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Di tempat yang tak semua semut bisa capai, di ruang hening antara harapan dan kenyataan, Musamus sedang berbicara dengan luka. Dengan langit. Dengan roh-roh lumpur yang tahu betapa sulitnya menjadi pemimpin ketika tak semua ingin dipimpin, dan tak semua percaya akan akhir dari usaha bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun