Langit sore menggantung tanpa warna. Kabut tipis menjalar pelan dari arah timur, mengusap pucuk-pucuk rumput rawa yang lembab, seperti tangan seorang ibu yang mencoba menenangkan anaknya yang demam. Di tengah bentangan lumpur yang mulai mengering, berdirilah kerangka sarang yang belum selesai. Tingginya menjulang, tapi tak ada sorak. Keheningan merambat seperti nyanyian luka yang tak selesai dinyanyikan.
Musamus duduk sendiri di bawah akar besar pohon sagu tua, tempat ia biasa memberi arahan. Tapi hari itu, lidahnya tak bergerak. Antenanya tak menari. Ia hanya menatap tanah. Diam. Seolah sedang menunggu suara dari dalam lumpur atau jawaban dari sisa embun yang menempel di ujung rumput.
Beberapa semut muda berjalan pelan mendekat. Di antara mereka ada Lere, Luma, dan Rangga. Mereka saling bertukar pandang, heran melihat pemimpin mereka tenggelam dalam sunyi.
"Dia belum berkata apa pun sejak tadi pagi," bisik Lere dengan ragu. "Padahal tiang ketiga sudah retak, dan tim pengangkut lumpur kehilangan arah."
Luma mengangguk, wajahnya murung. "Aku sudah membawa laporan. Tapi... ia bahkan tak mengangguk."
Rangga, yang biasanya keras kepala, hari itu pun menjadi lembut. "Mungkin... ini luka yang tak bisa dibicarakan."
Akhirnya, mereka bertiga duduk tak jauh dari Musamus. Mereka tak ingin memaksa. Mereka tahu, diam bisa lebih dalam dari sekadar kehilangan kata. Diam bisa menjadi tempat berpulang bagi pemimpin yang letih bukan oleh beban di punggung, melainkan oleh beban di dada.
Beberapa jam berlalu. Matahari merangkak turun dan langit mulai berwarna tembaga. Seekor semut pengintai dari barat tiba, tergesa, membawa kabar.
"Musamus... maafkan aku. Aku tahu kau sedang tidak ingin bicara, tapi aku harus melapor," katanya terbata.
Musamus tetap diam. Tapi ia mengangkat satu antena, perlahan. Tanda bahwa ia mendengar.
"Kelompok yang membawa rumput dari tepi danau diserang burung raja-udang. Dua semut hilang. Satu terluka. Kami... kehilangan sebagian bahan bangunan."