Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 83-84

10 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 9 Oktober 2025   18:16 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, di bawah cahaya bintang yang redup, Musamus berdiri di tengah tanah pembangunan. Ia memanggil semua yang tersisa.

"Kawan-kawan," ucapnya lantang, "kita tidak bisa memaksa semua hati untuk tinggal. Tapi kita yang bertahan, mari bertanya pada diri sendiri: untuk apa kita tetap di sini?"

Lere mengangkat tangan kecilnya. "Karena kita percaya rumah ini bisa berdiri, bahkan jika butuh waktu lama."

"Karena kita tak mau hidup di bawah akar lama, tapi ingin tumbuh ke atas," kata Luma.

"Karena rumah ini bukan sekadar tempat tinggal," sahut seekor semut penjaga, "tapi lambang bahwa kita pernah bekerja sama, pernah saling percaya."

Musamus tersenyum. "Itulah. Rumah ini akan menjadi tanda bagi mereka yang datang kemudian, bahwa di rawa ini, semut-semut kecil pernah bermimpi besar. Mungkin tak semua ingin bertahan, tapi selama masih ada satu yang percaya, rumah ini akan terus tumbuh."

Mereka pun mulai bekerja lagi. Malam menyapa dengan kelembutannya, membasuh hati yang sempat gamang. Tiang baru disusun. Lumpur diaduk. Rumput dikeringkan di atas bebatuan yang hangat oleh sisa siang.

Dari balik akar tua, Witu menoleh sekali lagi. Ia melihat cahaya kecil dari obor jamur menyala di tengah kerja itu. Sebuah nyala yang tak bisa dibeli oleh rasa aman semu. Ada air bening menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, lalu melanjutkan langkah ke sarang lama yang kini terasa lebih jauh dari yang ia duga.

Di kaki rawa, tak semua ingin bertahan. Tapi mereka yang memilih tinggal, justru sedang menanamkan akar harapan paling dalam, bukan pada tanah, tapi pada semangat yang tak bisa diukur oleh tubuh kecil atau jumlah tiang yang runtuh.

Karena pada akhirnya, rumah yang sejati adalah tempat di mana keyakinan tetap hidup, bahkan setelah banyak yang pergi.

Musamus Memilih Diam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun