Dalam hitungan menit, rintik hujan pertama turun, menari di atas pucuk rumput, lalu berubah jadi tumpahan air deras dari langit. Rumah itu gemetar pelan, tapi tidak roboh. Dinding lumpur bertahan. Anyaman daun palem tidak bocor. Dan jubah rumput? Ia menyerap hujan seperti kulit rawa menyambut air, lembut, penuh syukur.
Di dalam rumah, semua makhluk berkumpul. Belut menggeliat di sudut lembap, burung rawa mengepakkan bulunya, kepiting-kepiting kecil saling memeluk.
"Dulu saat hujan, aku selalu cari celah untuk sembunyi," kata seekor udang rawa. "Tapi sekarang, aku tak ingin bersembunyi. Aku ingin berada di sini. Di rumah ini."
Suara hujan jadi nyanyian. Dan rumah yang berpakaian jubah rumput menjadi seperti tubuh yang hangat, melindungi jiwa-jiwa kecil yang pernah tercerai. Cahaya kunang-kunang menerangi langit-langit. Air mengalir di luar, namun di dalam, ada kedamaian yang tidak bisa dijelaskan.
Patu menatap ke langit, pada suara petir yang mulai menjauh.
"Rumput memang tumbuh dari tanah yang sering dilupakan. Tapi lihatlah, ia mampu menyelamatkan."
Rawari memandang anyaman jubah yang mereka buat bersama. "Dan kita, makhluk kecil, kini punya rumah yang bukan hanya menahan hujan, tapi juga menyatukan luka."
Tera tersenyum, matanya berbinar. "Jubah rumput ini bukan penutup. Ia adalah pelukan."
Dan malam pun turun dengan diam. Hujan mereda, digantikan oleh suara air menetes dari ujung daun. Rumah itu berdiri kukuh, jubahnya lembap namun harum. Ia tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi simbol keberanian: bahwa dari tanah lembek dan akar kecil, tumbuh kekuatan. Dan dari rumput yang sering diinjak, lahir pelindung yang agung.
Rumput telah menjadi jubah. Dan jubah telah menjadi hati yang memeluk dunia.
Tanduk Cendrawasih