Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 59-60

12 September 2025   04:25 Diperbarui: 11 September 2025   19:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Dalam hitungan menit, rintik hujan pertama turun, menari di atas pucuk rumput, lalu berubah jadi tumpahan air deras dari langit. Rumah itu gemetar pelan, tapi tidak roboh. Dinding lumpur bertahan. Anyaman daun palem tidak bocor. Dan jubah rumput? Ia menyerap hujan seperti kulit rawa menyambut air, lembut, penuh syukur.

Di dalam rumah, semua makhluk berkumpul. Belut menggeliat di sudut lembap, burung rawa mengepakkan bulunya, kepiting-kepiting kecil saling memeluk.

"Dulu saat hujan, aku selalu cari celah untuk sembunyi," kata seekor udang rawa. "Tapi sekarang, aku tak ingin bersembunyi. Aku ingin berada di sini. Di rumah ini."

Suara hujan jadi nyanyian. Dan rumah yang berpakaian jubah rumput menjadi seperti tubuh yang hangat, melindungi jiwa-jiwa kecil yang pernah tercerai. Cahaya kunang-kunang menerangi langit-langit. Air mengalir di luar, namun di dalam, ada kedamaian yang tidak bisa dijelaskan.

Patu menatap ke langit, pada suara petir yang mulai menjauh.

"Rumput memang tumbuh dari tanah yang sering dilupakan. Tapi lihatlah, ia mampu menyelamatkan."

Rawari memandang anyaman jubah yang mereka buat bersama. "Dan kita, makhluk kecil, kini punya rumah yang bukan hanya menahan hujan, tapi juga menyatukan luka."

Tera tersenyum, matanya berbinar. "Jubah rumput ini bukan penutup. Ia adalah pelukan."

Dan malam pun turun dengan diam. Hujan mereda, digantikan oleh suara air menetes dari ujung daun. Rumah itu berdiri kukuh, jubahnya lembap namun harum. Ia tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi simbol keberanian: bahwa dari tanah lembek dan akar kecil, tumbuh kekuatan. Dan dari rumput yang sering diinjak, lahir pelindung yang agung.

Rumput telah menjadi jubah. Dan jubah telah menjadi hati yang memeluk dunia.

Tanduk Cendrawasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun