Di samping rumah, Kapi si kepiting muncul dari kolam berlumpur, capitnya menggenggam akar bakau muda.
"Aku bawa pengikat lumpur," katanya bangga. "Akar ini bisa menahan rumput agar tak lepas saat hujan besar datang."
"Bahu-bahu kecil saling menopang," ujar Patu. "Seperti jari-jari yang merajut waktu."
Hari itu, ilalang dan tumbuhan rawa berubah menjadi helai demi helai jubah. Mereka tidak menutup rumah dengan cara manusia menutupi tubuh, tapi dengan cara tanah memeluk hujan, penuh cinta dan keikhlasan.
Tera duduk sejenak di tepi rumah, menatap rumput yang terikat rapi sepanjang dinding.
"Apa rumah ini bisa merasa seperti kita?" bisiknya.
Patu duduk di sampingnya. "Rumah ini bukan benda mati, Tera. Ia hidup dari tanah yang kita injak, air yang kita minum, dan napas yang kita hirup. Saat kita menumbuhkannya dengan hati, ia bisa merasakan. Ia bisa berdoa."
"Berdoa?" Tera menoleh.
"Ya," lanjut Patu. "Doanya adalah keheningan. Doa yang berbicara dalam dedaunan yang bergoyang, dalam akar yang merambat, dan dalam rumput yang menjadi jubah."
Tiba-tiba langit menggelap. Awan berat menggantung. Angin menderu dari utara, membawa bau hujan dan suara petir dari kejauhan.
"Kita harus menguji jubah ini," ujar Rawari cepat. "Badai datang."