Mentari tergelincir pelan di ujung langit barat, meninggalkan jejak jingga yang membasuh lembut tubuh rawa. Di antara desah angin dan suara jangkrik yang mulai bernyanyi, semut-semut pekerja masih bergerak di atas daun palem dan kayu bus, menyelesaikan satu bagian penting dari rumah baru mereka, jubah hijau yang menyelimuti tubuh Menara Harapan.
Jubah itu bukan dari kain atau benang, tapi dari rumput rawa: ilalang muda, daun kayu bus, dan tumbuhan air yang mengalir mengikuti napas bumi.
"Kalau hanya kayu dan lumpur, rumah ini dingin dan sunyi," kata Rawari sambil memegang rumpun ilalang basah. "Tapi jika kita selimuti dengan rumput, rumah ini akan hangat, seperti dada ibu."
Tera si semut muda berlari kecil menghampiri, matanya menyala penuh tanya. "Rumput? Tapi bukankah itu makanan rusa dan tikus rawa?"
Patu tertawa kecil. "Justru karena itu, rumput tahu cara menenangkan perut yang kosong. Ia tumbuh bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk yang lapar, untuk yang mencari teduh, bahkan untuk angin yang rindu nyanyiannya."
Tera mengangguk pelan, lalu mulai menganyam ilalang bersama yang lain. Udara sore itu penuh harum tanah basah, rumput segar, dan kayu bus yang baru dipotong. Di ujung rawa, seekor burung belibis mengibaskan sayapnya dan menghampiri.
"Aku bawa beberapa batang serunai rawa," ujarnya. "Batangnya tipis, tapi lentur dan kuat. Bisa dijadikan bingkai luar untuk jubah rumput kalian."
Rawari menyambut batang-batang itu dengan senyuman. "Terima kasih, Belibis. Kau datang tepat saat angin mulai dingin."
Burung belibis menunduk. "Musamus pernah memberi tempat berteduh ketika sarangku diterpa badai. Aku hanya membalas kebaikannya."