Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 49-50

31 Agustus 2025   06:25 Diperbarui: 30 Agustus 2025   18:18 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Nyuwa Menangis

Mentari pagi belum sepenuhnya terbit, namun kabut tipis sudah mulai bergulung di atas permukaan rawa Marind. Suara riak air lembut terdengar saat seekor belut tua melintas perlahan di antara akar kayu bus. Daun-daun palem bergeming, seakan ikut merasakan beban yang menggantung di udara. Hari itu tak seperti biasanya---ada kesunyian yang tak wajar, seperti rawa sendiri sedang menahan napas.

Di balik rimbunnya semak bakau, di sebuah gubuk kecil dari anyaman bambu dan daun palem yang dibangun oleh tangan-tangan kecil penuh cinta, tubuh Musamus terbaring lemah. Semut kecil yang selama ini menjadi pelita bagi semua penghuni rawa kini tak lagi mampu mengangkat kepalanya. Tubuhnya menggigil, napasnya pendek-pendek.

Nyuwa, burung rawa yang selalu ceria dengan bulu-bulu berkilau seperti cahaya pagi, kini duduk terpaku di sisi tempat tidur. Sayapnya terkulai, matanya basah. Ia menunduk, dan setetes air mata jatuh tepat di samping Musamus.

"Musamus... bangunlah... rawa ini masih butuh cahaya darimu," bisiknya lirih.

Musamus membuka mata sedikit, lemah namun masih menyimpan api yang belum padam. "Nyuwa... jangan menangis... rawa ini... punya kalian semua sekarang..."

"Tapi tidak tanpamu," suara Nyuwa pecah. "Kau yang menyatukan kami. Tanpa kau, kami hanyalah makhluk yang takut pada gelap dan terpecah karena perbedaan."

Di luar gubuk, suara-suara mulai berkumpul. Waru si semut pekerja, Kepi si kepiting, Luga si ikan rawa, Tawa si udang tua, dan bahkan Sakai si belut, mereka berdiri dalam lingkaran diam. Wajah mereka tak biasa. Tak ada sorakan pagi, tak ada canda ringan. Yang tersisa hanya keheningan yang menyakitkan.

"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" tanya Luga pelan.

"Sakit," sahut Waru lirih, "mungkin karena terlalu memaksakan diri. Musamus tidak pernah berhenti bekerja, bahkan saat kita semua terlelap, dia masih merancang jembatan dari kayu-kayu ringan dan memikirkan bendungan kecil untuk musim kemarau nanti."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun