Nyuwa Menangis
Mentari pagi belum sepenuhnya terbit, namun kabut tipis sudah mulai bergulung di atas permukaan rawa Marind. Suara riak air lembut terdengar saat seekor belut tua melintas perlahan di antara akar kayu bus. Daun-daun palem bergeming, seakan ikut merasakan beban yang menggantung di udara. Hari itu tak seperti biasanya---ada kesunyian yang tak wajar, seperti rawa sendiri sedang menahan napas.
Di balik rimbunnya semak bakau, di sebuah gubuk kecil dari anyaman bambu dan daun palem yang dibangun oleh tangan-tangan kecil penuh cinta, tubuh Musamus terbaring lemah. Semut kecil yang selama ini menjadi pelita bagi semua penghuni rawa kini tak lagi mampu mengangkat kepalanya. Tubuhnya menggigil, napasnya pendek-pendek.
Nyuwa, burung rawa yang selalu ceria dengan bulu-bulu berkilau seperti cahaya pagi, kini duduk terpaku di sisi tempat tidur. Sayapnya terkulai, matanya basah. Ia menunduk, dan setetes air mata jatuh tepat di samping Musamus.
"Musamus... bangunlah... rawa ini masih butuh cahaya darimu," bisiknya lirih.
Musamus membuka mata sedikit, lemah namun masih menyimpan api yang belum padam. "Nyuwa... jangan menangis... rawa ini... punya kalian semua sekarang..."
"Tapi tidak tanpamu," suara Nyuwa pecah. "Kau yang menyatukan kami. Tanpa kau, kami hanyalah makhluk yang takut pada gelap dan terpecah karena perbedaan."
Di luar gubuk, suara-suara mulai berkumpul. Waru si semut pekerja, Kepi si kepiting, Luga si ikan rawa, Tawa si udang tua, dan bahkan Sakai si belut, mereka berdiri dalam lingkaran diam. Wajah mereka tak biasa. Tak ada sorakan pagi, tak ada canda ringan. Yang tersisa hanya keheningan yang menyakitkan.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" tanya Luga pelan.
"Sakit," sahut Waru lirih, "mungkin karena terlalu memaksakan diri. Musamus tidak pernah berhenti bekerja, bahkan saat kita semua terlelap, dia masih merancang jembatan dari kayu-kayu ringan dan memikirkan bendungan kecil untuk musim kemarau nanti."