Rawari mengangkat kepalanya. "Kita tidak bisa terus berharap Musamus akan bangun dalam waktu dekat. Tapi kita juga tidak bisa duduk dan membiarkan rawa ini tenggelam dalam kekacauan. Kita sudah diajari. Kita sudah dibekali. Kini, waktunya kita berdiri."
Kepi mengernyit. "Apa maksudmu, Rawari?"
"Aku tak mengklaim kepemimpinan," jawab Rawari. "Tapi aku akan mulai bertindak, dan aku mengajak kalian semua melakukan hal yang sama. Kita tidak bisa menunggu."
Waru menatap Rawari dalam-dalam. "Kau masih sangat muda."
Rawari mengangguk. "Benar. Tapi rawa ini tak menunggu usia. Ia hanya merespons kepedulian."
Satu per satu mata tertuju padanya. Ada keraguan, tetapi juga harapan. Dan ketika Rawari mulai membagi tugas, suara-suara kecil mulai menyahut. Ia mengatur tim pemantau arus air di sisi timur. Ia memerintahkan perbaikan jalan dari kayu ringan yang menghubungkan lumbung ketapang dengan pemukiman. Ia mengirim kelompok kecil untuk mengamati predator dari hutan sekitar yang mulai mendekat, seperti ular rawa dan burung pemangsa.
"Ini bukan tentang siapa yang memimpin," ucap Rawari sambil memanjat ke atas batang bambu, "ini tentang bagaimana kita menjaga rumah kita bersama."
Di sore hari, langit Tanah Marind berwarna tembaga, dan angin selatan bertiup membawa aroma garam dan lumpur. Rawari duduk sendirian di tepi rawa, menatap riak air yang memantulkan bayang-bayang. Lalu langkah kecil menghampirinya, langkah Nyuwa.
"Kau mengambil langkah besar hari ini," ucap Nyuwa, hinggap di kayu bus di sampingnya.
Rawari menunduk. "Aku takut, sebenarnya. Tapi aku lebih takut kalau rawa ini kehilangan arah."
Nyuwa tersenyum samar. "Kau tahu... Musamus tidak pernah memilihmu sebagai pengganti. Tapi aku pikir, di hatinya, ia tahu siapa yang bisa meneruskan napasnya."