Kepi mengangkat cangkangnya perlahan. "Aku... merasa bersalah. Kami terlalu banyak mengandalkan dia. Kami lupa bahwa tubuhnya kecil, dan tak semua beban bisa ia pikul sendiri."
Di dalam gubuk, Musamus kembali berbisik, "Nyuwa... kau harus terbang. Sampaikan padaku kabar rawa... ceritakan padaku jika ketapang tumbuh kembali... jika air bening mengalir dari hilir ke hulu... itu yang ingin kudengar, sebelum aku..."
"Jangan lanjutkan," potong Nyuwa dengan air mata yang kini mengalir tanpa malu. "Kau akan baik-baik saja. Aku akan terbang. Tapi bukan untuk meninggalkanmu. Aku akan bawa harapan. Dan aku akan kembali."
Ia mengepakkan sayapnya dan keluar, menyongsong langit yang masih kelabu. Dari atas, ia melihat rawa yang perlahan mulai bergerak. Waru dan kawan-kawan mulai membersihkan jalur air. Kepi menyiapkan lumpur untuk memperkuat dinding pemukiman. Sakai melatih anak-anak muda menyelam untuk mencari akar ketapang yang tumbang. Semua bergerak, bukan karena Musamus memerintah, tapi karena mereka terinspirasi.
Nyuwa kembali setelah satu putaran besar, membawa sehelai daun palem muda yang mengandung embun segar dari pohon tertinggi. Ia meletakkannya di sisi tubuh Musamus.
"Ini... dari anak-anak ketapang yang baru tumbuh. Mereka tumbuh, Musamus. Seperti impianmu," bisiknya lembut.
Musamus tersenyum pelan. "Maka aku bisa tenang... Rawa Marind sudah tumbuh dari akar."
Di belakang Nyuwa, seluruh warga kampung mulai berdatangan satu per satu ke dalam gubuk. Mereka datang tak membawa apa-apa selain kesetiaan dan doa-doa kecil.
Waru maju pertama. Ia menunduk rendah. "Aku akan teruskan pembangunan jembatan kayu itu, Musamus."
Luga melompat ke sisi tempat tidur. "Aku akan awasi aliran air di utara. Tidak akan kubiarkan banjir datang tanpa pemberitahuan."
Kepi dengan suara pelan menambahkan, "Aku akan ajarkan anak-anak menjaga diri dan menjaga rawa. Kita harus punya pelindung."