Tawa mengangguk, "Kami semua akan terus bekerja. Tapi kami minta satu hal... tolong bertahan."
Musamus memandang mereka, satu per satu, dengan mata yang lemah namun penuh kasih. "Kalian tak lagi butuh pemimpin yang bicara dari atas panggung. Kalian sudah menjadi akar. Dan jika akar itu kuat, rawa akan hidup."
Hening.
Lalu terdengar suara dari luar, gerimis kecil menetes di atap daun palem, pelan seperti bisikan bumi. Namun tak ada yang takut. Tak ada yang lari. Hari itu, di tengah derai hujan dan tangis Nyuwa yang perlahan berubah menjadi nyanyian lembut, rawa Marind tidak kehilangan harapan.
Musamus memang terbaring. Tapi jiwa yang ditanamnya, telah tumbuh menjadi hutan.
Rawari Mengambil Alih
Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat tirainya dari wajah Rawa Marind. Genangan embun masih menetes dari ujung daun ketapang dan palem, jatuh pelan ke atas tanah basah yang menyimpan kenangan semalam. Suara gemerisik dari semak bakau menggema lembut, menandai datangnya hari baru yang penuh tanya.
Di tengah kampung kecil yang dikelilingi oleh kayu bus dan rumpun bambu yang meliuk seperti penjaga setia, Musamus masih terbaring lemah. Jiwanya menyala, tetapi tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Ia kini lebih banyak diam, hanya senyumnya yang masih menyapa, seperti cahaya senja yang tetap hangat meski tak menyilaukan.
Namun kehidupan di Rawa Marind tak berhenti. Justru kini, saat pemimpin mereka melemah, kehidupan diuji. Dan di tengah kekosongan itulah, seekor semut muda bernama Rawari melangkah maju.
Rawari bukan sembarang semut. Ia tumbuh dari barisan pekerja yang keras dan cerdas. Tubuhnya kecil seperti semut lainnya, tetapi matanya memancarkan nyala keberanian yang jarang terlihat pada usia semuda itu. Ia pernah menjadi murid langsung Musamus, diam-diam memperhatikan, mencatat, dan menyerap setiap detak kepemimpinan dari sang kepala kampung.
Pagi itu, Rawari berdiri di depan lingkaran warga. Di sana ada Waru yang setia, Kepi si penjaga lumpur, Luga si ikan yang menyelami kedalaman, Tawa si udang tua bijaksana, bahkan Nyuwa yang belum berhenti menangis semalam kini duduk tenang di atas dahan ketapang, matanya masih sembab.