"Kau pikir dia akan setuju dengan ini?"
"Dia akan bangga. Tapi lebih dari itu, dia akan merasa tenang."
Langit gelap perlahan merangkak turun. Suara kodok rawa mulai berkoak, dan belut-belut berlomba muncul dari lumpur, menari bersama ikan-ikan kecil di antara akar bakau. Udang-udang muda terlihat di permukaan air, berkelip diterpa cahaya bulan yang mulai muncul dari celah-celah awan.
Di tengah kampung, Musamus yang terbaring mulai membuka mata. Napasnya berat, tetapi ia mendengar sesuatu, suara kaki-kaki kecil, suara kerja yang hidup, suara rawa yang tak pernah benar-benar tidur. Ia tersenyum, perlahan.
"Rawa... masih bernapas," bisiknya lemah.
Waru masuk perlahan ke dalam gubuk. "Musamus... Rawari mengambil alih. Dia memimpin, tapi bukan untuk memerintah. Dia melanjutkan apa yang kau tanam."
Musamus menoleh pelan. "Rawari...?"
"Ia bukan hanya melanjutkan. Ia membuat kita percaya, bahwa kita bisa. Bahkan tanpamu."
Musamus tak menjawab. Tapi dari sudut matanya, mengalir air bening yang perlahan membasahi tanah, air yang tak kalah bermakna dari hujan. Air penerimaan, air restu.
Dan di luar gubuk, di bawah langit Marind yang tenang, Rawari berdiri di tepi rawa, menatap semua makhluk hidup yang kini bekerja bersama. Ia tahu, ini bukan tentang dirinya. Ini tentang satu hal yang telah diajarkan Musamus sejak awal:
"Jika kau mencintai tanahmu, maka jangan tunggu untuk menjadi besar. Mulailah dari akar."