Koyok wong ilang mlaku dewe! Â (Jalan kaki sendirian tuh kayak orang kesasar)
Mangkane ajar numpak motor ben ora mung mlaku. (Makanya belajar naik sepeda motor supaya enggak cuma bisa jalan kaki)
Mlaku kih kesuwen. (Jalan kaki itu kelamaan)
Mosok kowe ra sanggup njupuk kreditan motor? (Masak sih kamu tak mampu ambil kreditan sepeda motor?)
Koyok turis wae seneng mloka-mlaku. (Kayak turis saja suka jalan kaki)
Terusterang saja saya kerap menerima komentar-komentar seperti itu dari teman, tetangga, atau kenalan yang kebetulan berpapasan bilamana saya sedang jalan kaki sendirian.
Oke. Santai saja. Tak perlu diambil pusing. Tak perlu juga dijelas-jelaskan sebab toh sama saja. Mereka susah dikasih pengertian mengapa saya hobi jalan kaki.
Ketika mereka menawarkan jasa untuk memboncengkan, entah serius entah sekadar basa-basi, ini pun bisa direspons dengan santai saja.
Karena sudah berniat jalan kaki dan memang jalan kaki telah menjadi salah satu to do list pada hari itu, serta-merta saya tolak tawaran tersebut. Pastilah dengan santun plus senyuman manis.
Akan tetapi, ternyata tak mudah juga untuk melakukan penolakan. Perlu berkali-kali diulang sehingga yang bersangkutan percaya bahwa saya memang memilih tetap jalan kaki karena ingin.
Nah, ini poin utamanya: KARENA INGIN. Bukan sebab merasa sungkan. Bukan sebab malu diboncengkan. Bukan pula sebab khawatir nanti istri atau pacarnya cemburu.
Ketika melihat kesungguhan penolakan saya dan akhirnya yang bersangkutan bersedia memaklumi, berarti aman. Agenda jalan kaki pada hari itu tidak mendadak batal. Menyenangkan.
Namun, sayang sekali niat dan rencana jalan kaki saya juga kerap gagal total gara-gara kejadian serupa. Hal itu terjadi jika berpapasan dengan orang yang sangat "memaksa" agar saya mau diboncengkannya.
Sudah gigih ditolak, masih saja terlalu agresif menyuruh saya naik ke boncengan sepeda motornya. Kata-kata ajakannya terasa intimidatif. Cenderung bernada tinggi dan terasa sedikit menghardik.
Contohnya begini, "Ayolah! Kelamaan kalau jalan kaki. Keburu panas ini! Apa susahnya sih, tinggal membonceng!? 'Kan lebih enak mbonceng toh, daripada jalan kaki?!"
Makin ditolak, makin memaksa. Malah seperti bertengkar. Kalau ada orang yang melihat bisa dianggap macam-macam. Entah dengan laki-laki, entah dengan perempuan, yang namanya ribut-ribut pastilah sama-sama tidak asyik.
Ya sudah. Terpaksa saya mengalah. Dengan mendongkol, naiklah saya ke boncengannya. Tentu dengan menggerutu dalam hati, "Mau jalan kaki sebentar saja kok tak diizinkan? Apa susahnya membiarkan saya jalan kaki?"
Yup! Yang semacam itulah yang bikin kacau rencana hidup. Sementara kalau dipikir-pikir, apa susahnya bagi mereka untuk membiarkan saya berjalan kaki? Toh saya tak bermaksud untuk jalan kaki Yogyakarta-Jakarta? Jadi, tak ada yang perlu dicemaskan.
Baiklah. Diambil sisi baiknya saja. Berpikir positif saja bahwa mereka melakukan itu sebab sayang dan perhatian. Iba kepada saya yang terlihat sendirian berjalan di antara desau angin persawahan dan tarian pepohonan.
Apa boleh buat? Mereka tidak tahu, justru karena ingin menikmati sensasi angin sawah itulah saya sengaja jalan kaki dari rumah menuju mulut gang.
Setelah sampai mulut gang, baru saya akan order ojek daring. Kalau titik jemputnya rumah, automatis saya hanya akan melintasi area persawahan tanpa penghayatan sama sekali.
O, ya. Pengalaman yang saya kisahkan tersebut terjadi tatkala saya masih berdomisili di pinggiran Kota Yogyakarta. Di perbatasan antara Kota dan Kabupaten Bantul.
Bukan wilayah yang biasa disambangi wisatawan. Jadi, memang bisa dimaklumi kalau orang yang jalan kaki dengan pakaian rapi terlihat "menonjol". Apa penyebabnya? Karena pejalan kaki yang sering wara-wiri di situ pada umumnya petani dan para penggabur dara.
Perlu diketahui, gang tempat saya tinggal itu bisa dilewati mobil. Walaupun agak sulit kalau ada dua mobil berpapasan, jalanannya tergolong lebar. Masih pula dikonblok rapi sehingga tidak becek meskipun hujan lebat tiada tara.
Sejumlah pohon berjajar di sana sini. Masih ada areal persawahan di kiri kanan jalan. Bikin segar udara sekitar. Kalau beruntung, kita bahkan bisa melihat burung-burung belibis singgah di situ.
Nah, lho. Sampai di sini, Anda tentu paham mengapa saya mendongkol sekali hanya gara-gara "dilarang" jalan kaki.
Demikianlah segumpal pengalaman saya terkait aktivitas jalan kaki di Yogyakarta. Terkhusus di permukiman yang awam wisatawan. Kurang asyik memang.
Maklumlah, ya. Yogyakarta 'kan punya julukan Kota Sepeda. Bukan Kota Jalan Kaki.
Ngomong-ngomong, orang Yogyakarta yang jalan kaki itu konon hanya dua kemungkinannya. Pertama, wisatawan. Kedua, miskin (sehingga tidak mampu membeli kendaraan pribadi).
Itulah sebabnya saya berani memastikan. Karena takut menerima stempel miskin, kebanyakan orang pilih membeli sepeda motor walaupun dengan sistem cicilan yang lumayan berat. Tentu saja verbalitas alasannya bukan takut miskin, melainkan demi efisiensi dan kecepatan.
O, ya. Saya hobi ke mana-mana jalan kaki karena hemat, bisa sekalian untuk membugarkan badan, bisa sembari memotret dan memvideokan hal-hal menarik yang dijumpai di sepanjang perjalanan, serta tidak perlu berkonsentrasi penuh seperti halnya kalau mengendarai sepeda/sepeda motor.
Hmm. Saya sadar, kok. Saya ini bukan wisatawan. Jadi, automatis terindikasi sebagai miskin (meskipun tak miskin-miskin banget). Hahaha!
Jadi, kalau Anda bermaksud menjelajahi seantero Yogyakarta dengan jalan kaki, bersiap-siaplah menghadapi tatapan penuh selidik dari orang setempat. Ini turis atau kaum dhuafa? Hehehe ....
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI