Pendahuluan
Ibn al-'Arab (560H) adalah ahli metafisika dari Spanyol dan penulis paling produktif dan mengabdikan diri disebagian kehidupannya untuk melakukan latihan spritual. Ibn al-'Arab adalah sufi yang membahas tentang doktrin metafisik dan kosmologi kemudian dari doktrin ini akan memunculkan istilah yang sering dikenal wahdat al-wujd dan al-insn al-kmil dan istilah ini ada sejak doktrin Ibn al'Arab muncul walaupun hakikatnya realitasnya sudah ada sejak dulu. Â Istilah wahdat al-wujd tidak pernah diungkapkan oleh Ibn al-'Arab secara langsung justru yang menyatakan istilah tersebut adalah murid dari Ibn al-'Arab yaitu Sadar al-Dn al-Qnawi. Wahdat al-wujd mendapatkan penolakan dari Ibn Taimiyah karna menurutnya doktrin tersebut menyamakan antara Tuhan dan makhluk. Perlu dipahami bahwa wahdat al-wujd yang disandarkan kepada Ibn al'Arab tidak menyamakan antara Tuhan dan alam, justru Ibn al'Arab menyatakan bahwa alam dan seisinya adalah Tajall (manifestasi) dari Tuhan.Â
Â
Riwayat hidup Ibn al-'Arab
Â
      Ibn al-'Arab diketahui menjadi seorang sufi pada umur 20 tahun tetapi ini bukan pertama kalinya Ibn al-'Arab memasuki dunia sufi, Ibn al-'Arab sudah mengenal dunia sufistik sejak dia remaja karena dipengaruhi oleh keluarganya yaitu ayahnya yang seorang pengikut dari Syekh Abdul Qdir Jailn sedangkan dari pihak Ibunya Ibn al-'Arab juga memiliki saudara yang menjadi sufi yakni Abu Muslim al-Khalawaini dan Yahya b. Yughan. Ibn al-'Arab juga pernah belajar dengan Ibn Rusyd dan diabadikan kisahnya dalam karyanya.Â
Â
"Suatu hari aku pernah mendatangi seorang hakim di Cordoba yang bernama Abu al-Walid Ibn Rusyd. Dia sangat ingin bertemu dengan aku setelah dia mendengar tentang apa yang Allah bukakan untukku. Ayahku adalah salah satu sahabatnya, mengajakku untuk menemuinya, agar aku bisa bertemu dengannya, saat itu aku masih remaja, tidak sehelai kumis maupun jenggot di wajah ku. Saat aku memasuki rumahnya beliau beranjak dari tempat duduknya dan menyambutku dengan rasa cinta dan takzim. Ia memelukku dan berkata kepada ku, 'iya' kemudian aku menjawab 'iya'. Bertambahlah kegembiraan di wajahnya karena aku memahami isyaratnya. Tetapi kemudian aku menyadari apa yang membuatnya gembira lalu ku katakan 'tidak'. Tiba-tiba rasa senangnya berubah. Ia mulai ragu dan kemudian melontarkan pertanyaan kepadaku 'Bagaimana engkau memperoleh kasyf dan ilham, apakah sama seperti kami yang memperoleh pengamatan nalar intelektual? aku menjawab iya dan tidak. Tidak ada ruh-ruh berterbangan dari materi-materinya dan leher-leher terpisah meninggalkan jasad-jasadnya'. Seketika itu Ibn Rusyd menjadi pucat dan tubuhnya gemetar dan berbisik "L haula wa l quwwata illah illh b allh."karena dia memahami apa yang aku isyaratkan kepadanya".
Â
Setelah pertemuan itu, ia meminta kepada ayahku untuk bertemu lagi dengan diriku agar bisa membahas apa yang sudah ia ketahui, apakah pendapatnya sama atau tidak dengan pendapatku. Ibn Rusyd adalah seorang pemikir dan intelektual. Dia bersyukur kepada Tuhan  karena bertemu orang yang memasuki khalwatnya dalam keadaan bodoh, dan keluar tanpa melalui proses belajar, menelaah dan membaca. Dia mengatakan "ini adalah sesuatu yang aku sendiri telah membuktikan kemungkinannya tanpa pertemuan dengan orang yang telah mengalaminya. Alhamdulillah, aku hidup pada masa adanya ahli pengalaman ini, seorang yang bisa membuka kunci pintu-pintuNya. Alhamdulillah yang telah menganugerahkan aku pertemuan dengan salah satu dari mereka dengan mata ku sendiri."
Â
Ibn Rusyd wafat Ibn al-'Arab menghadiri acara pemakamannya kemudian Ibn al-'Arab  menulis tentang Mawqi' al-Nujm. Ibn al-'Arab pergi dari spanyol dikarenakan pemerintahan pada saat itu mencurigai bahwa para sufi melakukan gerakan melalui tarekat-tarekat untuk melakukan perlawanan pada pemerintahaan saat itu.[ Kemudian sebelum wafat Ibn al-'Arab menyelesaikan beberapa karyanya yaitu Al-Futht al-Makkiyyah, Fuss al-Hikam, Dwn dan Al-jam'u wa at-Tafshil fi Asrr Ma'ani at-Tanzil yang terdiri dari 60 jilid. Waktu itu, malam Jum'at, tanggal 28 Rabiuts Tsani 638 H/16 November 1240 M. tempatnya di rumah Qadli Muhyiddin bin Az-Zanki, di Damaskus. Jenazah Ibn al-'Arab di makam keluarga Qadli Muhyiddin bin Az-Zanki di Bukit Qasiyun, di Damaskus, Suriah.
Â
      Karya-karya Ibn al-'Arab
Â
Al-Futht al-Makkiyyah adalah ensiklopedia luas ilmu-ilmu Islam dalam konteks tauhid, arguemntasi-argumentasi ketuhanan dalam Islam. Buku ini mencakup 506 bab, beberapa diantaranya membahas secara rinci al-Qur'an, hadis, peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Nabi, hukum-hukum syariat yang terperinci, prinsip-prinsip hukum melalui peradilan, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, hubungan antara Tuhan dan dunia, struktur alam semesta, susunan manusia, berbagai jenis manusia, tahap pendakian menuju Tuhan, malaikat, sifat jin, waktu dan peran politik, dunia, kematian dan kebangkitan.
Â
Fuss al-Hikam ditandai oleh beberapa karakteristik, karya ini memiliki karakteristik eksoterik yang hampir tidak mungkin dipahami kecuali oleh Ibn al-'Arab, kitab ini terdiri dari dua kata: Fuss dan al-Hikam, Fuss adalah bentuk plural dari fas, yang berarti "tatakan pada cincin yang berfungsi sebagai tempat batu permata", atau, singkatnya, "tatakan batu pertama''. al-Hikam adalah bentuk plural dari hikmah, yang berarti "kebijaksanaan''. Fuss al-Hikam berarti "Tatakan Batu Permata Kebijaksanaan''. Fuss al-Hikam terdiri dari 27 bab mengenai ilmu kenabian, yang diilhami oleh Nabi. Setiap bab membahas tentang kodrat kemanusiaan dan rohaniah seorang nabi tertentu; kodrat ini digunakan sebagai wahana segi tertentu dari ilmu pengetahuan ilah yang diwahyukan kepada nabi tertentu. Buku ini sangat sulit untuk diterjemahkan ke bahasa Barat, gayanya begitu ringkas, sedikit kata dengan banyak makna, sehingga indah dibaca dalam bahasa aslinya.
Â
Al-Fana fi al-Musyahadah adalah salah satu dari banyak risalah pendek Ibn al-'Arab yang membahas tema-tema dalam Al-Futht al-Makkiyyah. Topik utama seperti judulnya yakni jalan utama penyingkapan mistik yang mengarah kepada Tuhan, tetapi mungkin tampak seperti jawaban terhadap serangan teolog dan ahli fiqh, dan buku ini memberikan nasihat bagi mereka yang di jalan untuk menjalani perjalana spiritual dan renungan yakni makna batiniyyah.
Ruh al-Quds buku ini berupa surat yang ditunjukkan kepada sahabat lamanya Abu Muhammad 'Abd al'Aziz b. Abu Bakar al-Qusrahi al-Mahdaw yang tinggal di Tunis karya ini disusun di Mekkah pada tahun 600 H/1203-4 M. yang membahas tentang banyaknya penyelewengan yang buruk dalam praktik tasawuf. Kemudian membahas tentang kehidupan dan ajaran sekitar 55 sufi yang telah mengajarinya atau kepada siapa saja bertemu. Tujuan karyanya ini adalah menunjukkan bahwa, meskipun banyak penyelewengan dalam praktik tasawuf tetapi masih ada sufi dengan pencapaian spiritual yang tinggi di dunia Islam. Selanjutnya buku ini membahas kesulitan dan hambatan yang akan dilalui di jalan spiritual, digambarkan dengan deskripsi dari pengalaman penulis sendiri. Karya ini sangat penting yang banyak membahas kehidupan awal dan perkembangan spiritualnya.
Â
Doktrin Wahdat al-Wujd
Â
Wujud diartikan kebedaradaan, namun bisa juga diartikan menemukan atau dalam bahsa Inggris Exist, dalam doktrin ini wujud hanya berlaku pada dzat Tuhan yang memiliki wujud nyata, jika wujud diperuntukkan kepada selain Tuhan maka wujud itu hanya sebatas metaforis dari wujud Tuhan. Wahdat al-wujd adalah pendekatan para sufi untuk mengekspresikan tawhd. Wahdat al-wujd artinya kesatuan wujud. Ibn al-'Arab secara langsung tidak pernah mengatakan istilah tersebut akan tetapi perkataannya dalam karya-karyanya mengarah kepada Wahdat al-wujd seperti "segala puji bagi Allah yang mewujudkan sesuatu yang tiada menjadi ada, dan wujud itu bergantung kepada wujudnya." Wahdatul al-wujd merupakan sangat sulit dimengerti, tetapi Ibn al-'Arab memberikan penjelasan yang sangat jelas tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, "Wajah" di sini merujuk kepada Tuhan, kemudian kata "cermin" merujuk kepada alam. Maka wahdatul al-wujd biasa dijelaskan bahwa segala sesatu selain Tuhan manifestasi (Tajallliyat) Tuhan. Tetapi Tuhan yang dimaksud di dalam ajaran ini bukan Tuhan sebagai Esensi (Dzat) karena esensi Tuhan tetaplah transenden, maka Tuhan yang dimaksud adalah nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang indah. Hubungan Tuhan dengan makhluk seperti hubungan antara ide dengan realisasinya tetapi dalam bentuk nyata, namun bentuk-bentuk itu belum terlihat secara mazhar karena masih pada pada tahapan ilmu Tuhan (a'yn al-tsbitah) lalu kemudian diakultulasikan kepada bentuk-bentuk yang memiliki kesiapan menerima Tajalli dari nama dan sifat Tuhan. Ibn al-'Arab menggunakan istilah al-Haq sebagai wjib-al-wjd sedangkan kata al-Khalq adalah makhluk, alam, yang banyak segala sesuatu yang mumkin al-wjd.
Â
      Tanzi dan Tasybih
Â
      Tanzi berasal dari kata bahasa Arab yaitu nazzaha yang biasa diartikan membersihkan sesuatu dari kotoran atau noda sehingga membuat sesuatu itu bersih tanpa ada unsur lain dalam dirinya. Sedangkan tasybih diartikan pemuliaan berasal dari kata Shabbaha yang mengganggap serupa sesuatu dengan sesuatu yang lain. Pengertian tanzih bagi Ibn al-'Arab adalah kemutlakan pada Tuhan. Dalam pengertian ini Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat didiskusikan. Dia adalah transenden. Islam satu-satunya yang menerangkan kedua konsep tersebut secara seimbang, Ibn al-'Arab menjelaskan.
Â
      "Bila engkau menyatakan transedensi (tanzih), engkau mengikatNya, bila engkau menyatakan imanesi (tasybih) engkau membatasinya Tuhan, Tapi bila engkau mengikuti kedua jalan tersebut maka itu adalah jalan kebenaran, engkau akan jadi pemimpin dan penguasa dalam keyakinan, barang siapa yang dualitas dalam keyakinan dia adalah seorang politheist. Dan barang siapa yang menyatakan ke-Esaan adalah seorang monotheist. Ibn al-'Arab sering menggunakan dalil "tidak ada satupun yang serupa dengan Dia", dari ayat ini Ibn al-'Arab menfasirkan bahwa:
Â
      "Allah berfiman bahwa "laisa kamitslihi syai'un" maka dengan demikian Dia telah menunjukkan tanzihNya "wa huwa al-sam' al-basr" maka dengan demikian ia menyatakan tasybihNya. Dia berfirman laisa kamitslihi syai'un ayat ini menerangkan tasybih dan dualitas. Dan Dia berfirman wa huwa al-sam' al-basr, ayat ini menerangkan tanzih dan individualitasNya."
Â
Perpaduan antara tanzih dan tasybih merupakan perpaduan sempurna untuk mengenali Tuhan karena manusia tidak bisa mehami Tuhan tanpa menggabungkan keduanya.
Â
      "Siapa yang menyatukan dalam pengetahuan tentang Dia antara tanzih dan tasybih secara general karena mustahil bagi manusia memahami Dia secara sempurna karena ketidak mampuan manusia memahami alam secara terperinci, namun manusia dapat memahami alam secara general".
Â
Ibn al-'Arab juga berkata:
Â
      "apabila akal bekerja sendiri secara independen untuk memperoleh pengetahuan, maka pengetahuan yang didaaptkan tentang al-Haq adalah tanzih bukan tasybih. Apabila al-Haq memberikan pengetahuan tajall, sempurnlah pengetahuannya tentang Tuhan, ia akan mencapai tanzih sebagaimana seharusnya mencapai tasybih sebagaimana seharusnya melihat al-Haq meresap dalam bentuk-bentuk natural dan elemental. Tidak ada bentuk yang tetap bagi akal kecuali ia melihat entitas al-Haq adalah bentuk entitas itu sendiri. Ini adalah pengetahuan yang sempurna yang sari'at-sari'at yang diwahyukan Tuhan. Dengan pengetahuan ini, daya-daya estimasi melakukan perimbangan tersendiri. Dengan ini maka daya estimasi memiliki pengetahuan yang lebih besar dalam perkembangan manusiawi dari pada akal, karena orang yang berakal, walaupun sudah mencapai kematangan dalam akal, tidak pernah terlepas dari hukum esmtimasi yang berlaku baginya dan konseptualisasi tentang apa yang dipahaminya. Daya estimasi kekuatan besar dalam bentuk sempurna dari manusia. Melalui sari'at sari'at yang diwahyukan, menyatakan tanzih dan tasybih. Sari'at-sari'at juga mengatakan tanzih dan tasybih dengan daya estimasi tanzih dan tasybih dengan akal.''Â
Â
      Ibn al-'Arab mengkritik para mutakallimun dalam memahami Tuhan yang hanya melalui akal saja dikarenakan pengetahuan yang diperoleh oleh akal tidak sempurna, akal hanya mampu mengenal Tuhan sampai pada tasybih tidak mampu mengetahui sampai pada tingkatan tanzih dan pengetahuan tentang Tuhan melalui akal hanya mampu sampai pada pengetahuan negatif yang menegasikan pengungkapan tentang mendeskripsikan Tuhan. Karena untuk mendapatkan pengetahuan sempurna tentang Tuhan harus menggambungkan antara tanzih dan tasybih.
Â
Konsep Tajall
Â
Tajall dipengaruhi oleh Plotinus, namun antara keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Emanasi bersifat vertikal dan melalui tahapan-tahapan tertentu dari yang Satu kemudian menjadi alam semesta, sedangkan Tajall bersifat vertikal-horizontal, karena seluruh fenomena yang terjadi pada alam raya ini akan muncul dan berubah secara terus menerus dari al-Haq. Segala sesuatu juga menerima Tajall dari Tuhan sesuai kemampuan dari benda-benda tersebut, kita menjumpai bahwa kayu hanya bisa menerima bentuk bangku, meja, lemari dan pintu. Manusia tidak pernah melihat ada kayu yang bisa menerima bentuk celana, selendang atau celana. Yang manusia tahu adalah kain yang menerima bentuk-bentuk tersebut, tetapi kain juga tidak bisa menerima bentuk pisau atau pedang. Kemudian kita melihat bahwa air bisa menerima warna wadah-wadahnya dan warna-warna yang ber-Tajall atau menampakkan diri kepadanya, sehingga ia bisa disifati dengan warna biru, putih atau merah. Menurut Qaysari Ibn al-'Arab membagi tajall menjadi dua tipe emanasi, emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) dan emanasi suci (al-fayd al-muqaddas).
Â
Ibn al-'Arab membedakan tipe emanasi: emanasi paling suci (al-fayd al-aqdas) dan emanasi suci (al-fayd al-muqaddas). Emansi pertama lebih dahulu dari pada tipe kedua, emanasi paling suci adalah sering juga dikenal sebagai penampakkan esensi wujud Tuhan (al-Tajall al-Dzti) dan penampakkan diri gab (al-Tajall al-Ghaybi). Emanasi paling suci ini adalah tahap pertama yang membentuk dalam penampakan diri al-Haq. Ini terjadi pada mqam al-'Ama'. Pada mqam ini al-Haq tidak menampakkan diri-Nya kepada sesuatu yang lain kecuali diri-Nya sendiri yakni Tajall al-Dzt al-Ahadiyyah. Kemudian kedua adalah emanasi suci (al-fayd al-muqaddas), penampakkan diri eksistensi (al-Tajall al-Wujdi). Emanasi suci adalah penampakkan eksistensi al-Haq dalam bentuk-bentuk potensial atau dalam tahapan ini al-Haq menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk yang tidak terbatas dalam wujud alam yang konkrit.
Â
"Al-fayd al-aqdas adalah al-fayd yang memunculkan a'yn tsbitah dan potensi-potensi dalam ilmu Tuhan,sedangkan al-fayd al-muqaddas,a'yn tersebut muncul dari luar secara konkret bersama segala sifat lazimnya".
Â
Tajall Tuhan pada alam disebabkan kerinduan Tuhan untuk dikenal oleh ciptaan-Nya, sebagaimana hadis Nabi.
Â
"Aku bagaikan harta yang tersembunyi (kanz makhfi), aku rindu untuk dikenali karenanya aku ciptakan dunia".
Â
al-Haq ber-tajall pada makhluk sesuai dengan kesiapan penerima tidak kurang dan tidak lebih karena setiap makhluk memiliki kemampuan yang berbeda dalam menerima tajall dari al-Haq. Tajall tidak akan berulang dan mereka mengatakan bahwa semua itu baru. Sebagaimana penjelasan dari Ibn al-'Arab.
Â
"Para ahli Kasyf  memandang bahwa Allah ber-tajall kepada setiap nafs dan tidak ada satupun dari tajalli itu yang berulang. Mereka berpandangan bahwa tajall memunculkan ciptaan baru dan menghilangkan ciptaan yang telah berlalu, menghilangkan sesuatu itu (kelenyapan) sedangkan pada tajall itu adalah sesuatu yang baru"
Â
Penjelasan lain dijelaskan oleh Ibn al-'Arab
Â
"Ketahuilah bahwa tajall itu abadi yang tidak ada hijab atasnya tetapi Dia tidak diketahui bahwa Dia adalah Dia. Ketika Allah menciptakan alam Allah memperdengarkan kalamNya tentang ketiadaan alam (kun). Alam disaksikan oleh Allah tetapi alam tidak menyaksikan al-Haq."
Â
Tajall atau penyingkapan diri Tuhan memunculkan keberagaman Nama dan Sifat yang kemudian Nama dan Sifat itu sendiri menuntut untuk menimbulkan keberagaman dalam Ta'ayunnat. Beragam hal yang kemudian hadir sebagai penampakan yang zahir (empiris) tidak lain akibat dari termanifestasikannya Nama dan Sifat tersebut. Dalam proses Tajall al-Haq memiliki beberapa tahapan.
Â
Al-Kandz Al-Makhf
Â
Biasa disebut dengan Haqqat al-Wujd yang "unconditionally absolute", disitilahkan juga sebagai "al-Kanz al-Makhf", "Al-'Anqa al-Mughrb", Ghayb al-Ghuyb", hakikat dalam esensi-Nya, Ia tidak dapat dikenali dari segala pemahaman dan juga penyaksian (al-mushahadah). Pada tahapan ini Allah tidak ada nama dan tidak juga ada defenisi "la isma lahu wa la rasma lahu". Maka itu adalah bentuk untuk penggambaran Hakikat.
Â
Al-Ta'ayyun al-Awwal: Al-Ahadiyyah
Â
Haqqat al-Ghayb ini ketika Allah memanifestasikan diri-Nya , Tajall ini dinamakan sebagai "Tajall al-Ahadiyyah al-Dzati". Dia juga sebagai partikularisasi. pertama atau "al-ta'ayyun al-Awwal" -- "the Frist Entification" dari , Haqqat al- Wujd. Ta'ayyun ini adalah "martabat al-Ahadiyah". Pada martabat ini, semua Asma' dan Sifat hilang (al-mustahlak) dan tenggelam Asma' dan Sifat belum dapat dikenali dalam martabat atau dengan kata lain asma dan sifat di martabat ini belum menjadi nyata.
Â
Al-Qaysari menjelaskan:
Â
"Haqqat al-wujd ketika dilihat sebagai haqqat yang disyaratkan tidak bersama dengan apapun, maka ia dinamakan oleh kaum sufi sebagai "al-martabat al-Ahadiyyah" bahwa seluruh Asma' dan Sifat hilang di dalamnya. Dan ia juga dinamakan sebagai "jam al-jam" atau "haqqat al-Haqaiq" atau "al-'Ama'".
Â
Maqm al-Ahadiyyah dipanggil al-'Ama'. Martabat al-Amaiyyah ini sebernarnya berasal dari hadis Nabi ketika seorang datang kepada Rasul dan bertanya;
Â
"Dimanakah Rabb kami sebelum Dia mencipta ciptaan? Nabi menjawab: Dia berada di awan (al-'Ama') yang diatasnya tiada udara (al-Hawa') dan dibawahnya juga tiada udara".
Â
Para sufi memiliki pendapat yang berbeda mengenai haqqat al-'Ama'. Abd al-Razzaq Al-Qashani mengatakan bahwa al-'Ama' adalah mqam al-Ahadiyyah atau al-Ta'yyun al-Awwal. Karena mqam al-Ahadiyyah berada dalam hijab keagungan dan tidak ada sama sekali akses untuk mengenalinya. Maqm al-Ahadiyyah dan al-Wahidiyyah bisa dikatakan sebagai al-'Ama'. Qunawi terkadang menyatakan bahwa al-Ahadiyyah yaitu al-'Ama' dan terkadang menyatakan bahwa al-Wahidiyyah yaitu al-'Ama'. Di maqm al-Ahadiyyah, belum ada "katsrah" secara "distinctive", semua Asma' dan Sifat tenggelam secara sintesis, di sini al-Haq menyaksikan hakikat ini dengan shuhud dzti ahadi, yakni "shuhud al-mafaal fi I-mujmal"- witnessing the differentiated in the undifferentiated) yang dita'birkan juga sebagai "ru'yah al-mufaal mujmalan"-witnessing the differentiated as the the undifferentiated) seperti penyikapan "pohon dalam benih". Tajall ini dinamakan sebagai "kmal al-Jal" (Kesempurnaan Penyingkapan) adalah "primordialistik".
Al-Ta'ayyun al-Tsani: Al-Wahidiyyah
Â
Pada aspek ini Allah yang satu memanifestasikan diri-Nya ke dalam banyak bentuk, dan pada aspek inilah,"terjauh" yang dapat manusia ketahui. Dalam maqm al-Wahidiyyah seluruh nama-nama Tuhan dan sifat-sifat-Nya termanifestasi secara distincive. Qaysari mengatakan:
Â
"Ketika haqqat al-wujd dilihat sebagai haqqat yang disyaratkan bersama sesuatu, baik ia disyaratkan dengan segala yang lazim bagi-Nya, universal (kulli) maupun partikular (juz'i), di sini Ia dinamakan sebagai al-Asma' dan al-Sifat yaitu al-martabat al-Ilahiyyah yang diistilahkan disisi mereka sebagai al-Wahidiyyah dan "maqm al-jam". Dan pada maqm yang sama ini ketika dilihat sebagai haqqat yang menyampaikan mazhir al-Asma' yaitu al-'ayn dan al-Haqiq kepada kesempurnaan yang layak untuknya sesuai dengan kesiapan mereka di level konkrit, ia dinamakan sebagai martabat al-Rububiyyah".
Â
Maqm al-Wahidiyyah adalah maqm yang terdapat kemajemukan. Dari sini terwujud a'yn tsbitah, yang merupakan maqm esensi-esensi penciptaan, yang atasnya semua makhluk tercipta. Sehingga turun ke semesta alam-alam, mulai dari alam jabart (ruhani) dan alam malakt (alam perantara) dan alam fisik (syahada).
Â
Hakikat al-Wujud saat memanifestasikan Diri-Nya dalam al-Asma' dan al-Sifat secara jelas (distinctive) dalam maqm al-Wahidiyyah atau bisa juga disebut sebagai maqm al-Ilahiyyah. Kemudian pada maqm ini al-Asma' akan tampak jelas (mazahir al-Asma) tetapi masih pada wujud ilmiyah karena masih pada tahapan a'yn tsabitah kemudian termanifestasi secara konkrit sesuai dengan kesiapan (Isti'dad) mereka dari sini mulai al-a'yn dari ilmu hingga kepada level konkrit, dan ini dipahami dengan martabat Rubbiyyah. Samapai di sini sudah dijelaskan bahwa manifestasi al-Asma' dan al-Sifat secara jelas di maqm al-Wahidiyyah. al-Asma' adalah manifestasi dari zat al-Haq, dan bukanlah nama seperti yang biasa dikenal, seperti al-Rahmn dan al-Ghafr. Karena nama itu hanyalah sebutan yang mengindikasikan bahwa Allah adalah realitas yang al-Rahmn dan al-Ghafr. Maka nama atau al-Ism dalam metaphysic adalah realitas atau manifestasi al-Haq, jadi nama yang disebut hakikatnya adalam nama bagi Nama.
Â
Al-Ism adalah Al-Musamma
Â
Setiap ada Nama (al-Ism) tentu ada pula yang dinamakan (al-Musamma'). Nama tentu identik dengan yang dinamakan. Dengan kata lain, nama hakikatnya sama dengan yang dinamakan. Maksudnya adalah mereka dari Nama dalam pernyataan ini, bukanlah sebutan tetapi Nama sebenarnya yaitu manifestasi. Nama adalah sesuatu yang mengindikasikan atau menggambarkan sebuah objek yang dinamakan. Setiap gambaran yang ada pada cermin, tentu akan menggambarkan sebuah objek yang ada di depan cermin tersebut, jika di depan cermin ada mawar tentu gambaran di cermin juga mawar yang persis dengan objeknya dan jelas sekali bahwa yang ada di dalam cermin tidak memiliki identitas sendiri. Identitasnya hanya hasil dari sebuah objek yang di depan cermin.
Â
Pembagian dan Klasifikasi al-Asma' dan al-Sifat
Â
Sifat Al-Ijabiyah dan Salbiyah
Â
Qaysari membagi pembagian sifat menjadi sifat al-Ijabiyah dan sifat al-Salbiyah. Kemudian Ijabiyah terbagi menjadi Haqqiyyah dan Idafiyyah. Sifat Ijabiyah merupakan sifat menguatkan bagi zat al-Haq, sedangkan Idafiyyah berarti ketika memisahkan sesuatu dari hakikat atau objek lain tanpa mengikut sertakan yang lain dan tanpa memperhatikan yang lain, sifat ini seperti yang hidup al-Hayat, ketika sifat ini dipisahkan dari Haqqat al-Wujd pada maqm al-Wahidiyyah, ia tidak lagi memerlukan perhatian pada selainnya. Cukup hanya memperhatikan Hakikat, maka sifat ini sudah bisa diabstraksikan. Sedangkan Idafiyyah beberarti memisahkan suatu sifat dari Haqqat al-Wujd, harus ada perhatian kepada selainnya. Dan perhatian kepada selain ini bisa terjadi kepada selain sifat itu atau selain zat sendiri.
Â
Sifat Jalaliyah dan Jamaliyyah
Â
Sifat Jalaliyah berkaitan keagungan, dan menjatuhkan dengan sifat .Sedangkan sifat Jamal (Maha Indah) adalah bentuk manifestasi dari al-Haq kepada Adam dan sifat ini berkaitan dengan sifat lainnya seperti kasih sayang dan kelembutan. Sifat Jalaliyah perkasa, memberikan hukum atas yang bersalah, sebagaimana Tuhan memberikan hukuman kepada Iblis yang merasa dirinya lebih baik dari pada Adam.
Â
Sifat yang Meliputi (Al-Muhit) yang Mutlak dan Parsial
Â
Al-Muhit adalah yang meliputi makna terdalam dari dari sifat al-Haq yang berarti Encompassing, nama al-Muhit meliputi segala sesuatu yang dan tidak ada yang keluar dari wilayahnya. Dan sifat ini adalah induk sifat atau disebut Tuan-tuan: al-Hayat (kehidupan), al-'Ilm (ilmu), al-Iradah (kehendak), al-Qudrah (kuasa), al-Qa'il (perbicaraan), al-Jawwad (dermawan) kemudian al-Muqsit. Nama al-Hayat adalah yang paling universal karna nama yang enam tersebut tidak bisa termanifestasi tanpa dirinya.
Â
Ummahat Al-Asma'
Â
Ummahat al-Asma' adalah al-Awwal, al-Akhir, al-Zhir dan al-Btin. Dan semua empat Nama ini berada dalam satu Nama yaitu Allah atau al-Rahmn. Seperti yang diisyaratkan dalam firman Ilahi:
Â
Katakan: serulah Allah atau al-Rahmn. Yang mana saja kamu seru, maka Dia mempunyai al-Asma' al-Husna".
Â
Setiap satu dari nama Allah dan al-Rahmn mempunyai Nama-Nama dibawah naungannya. Dan setiap nama adalah mazharnya (yaitu tempat zhirnya) secara azali dan abadi. Maka keazalian-Nya itu nama dari al-Awwal, al-Akhir, al-Zhir dan al-Btin.
Â
Al-Asma' Al-Dzatiyyah, Sifatiyyah dan Af'aliyyah
Â
Ketika zat Allah termanifestasi dalam Nama-nama, Nama tersebut adalah al-Asma' al-Dzatiyyah. Kemudian ketika sifat yang termanifestasi dalam Asma', Nama tersebut adalah al-Asma' al-Sifatiyyah dan ketika perbuatan yang termanifestasi dalam Asma' itu adalah al-Asma' al-Af'aliyyah. Jika al-Asma' al-Dzatiyyah termanifestasi dalam bentuk mazhar maka disebut dengan Tajall Dzat. Jika al-Asma' al-Sifatiyyah termanifestasi dalam bentuk mahar maka disebut dengan Tajall Sifat. Dan jika al-Asma' al-Af'aliyyah termanifestasi dalam bentuk mazhar maka disebut Tajall Af'al. al-Asma' dan al-Sifat merupakan penyingkapan diri al-Haq. Dari Zat yang tidak teridentifikasi hingga memunculkan maqm Ahadiyat dan Wahidiyat, sehingga dari keberagaman al-Asma' dan al-Sifat inilah muncul keberagaman.
Â
Alam Sebagai Citra Ilahi
Â
Alam sendiri bisa menjadi jalan bagi manusia untuk mengenali Tuhan dengan cara merenungkannya seperti sebuah cermin yang memantulkan realitas yang lebih tinggi. Maksud Tuhan menciptakan alam tidak lain untuk melihat diri-Nya, manusia diberikan pengetahuan tentang nama-nama karena manusia adalah khalifah di alam semesta ini. Nyatanya manusia yang diibaratkan seperti cahaya yang menerangi bumi justru telah membuat alam menjadi tidak seimbang dan tidak harmoni sehingga ini bisa mengharuskan manusia untuk menggali kembali kedalam batin. Dengan demikian manusia dapat mengenali alam bukan hanya sebatas realitas semata tetapi keberadaan Tuhan juga ada di dalamnya. Alam adalah bentuk lahir dari manifestasi dari sifat-sifat dan nama-nama Tuhan, alam adalah sesuatu yang baru sedangkan Tuhan ada dan tidak bergantung kepada keberadaan alam, walaupun Tuhan menampakkan diri-Nya lewat alam bukan berarti Tuhan bergantung kepada alam. Alam sendiri termanifestasi dari nama Tuhan yang Maha Penyayang (al-Rahmn) dengan demikian Tuhan telah menampakkan wujudnya lewat alam semesta bukti kecintaan Tuhan terhadap manusia, agar manusia dapat mengenali-Nya lewat manifestasi-Nya yaitu alam.
Â
Bagi Ibn al-'Arab alam semesta ini tidak lain adalah entitas lain dari wujud Tuhan karena hakikatnya yang memiliki entitas yang sebenarnya hanyalah Allah ('ayan wahida). Walaupun alam semesta memiliki beragam bentuk dan jenis akan tetapi semua akan kembali kepada wujud Tuhan, maka alam semesta ini tidak lain adalah entitas dari eksistensinya Tuhan. Maka keberagaman yang ada pada alam semesta tidak lain hasil dari manifestasi dari sifat dan nama al-Haq yang tidak terbatas. Hakekatnya semua entitas tidak ada tetapi Allah menganugerahkan wujud kepada mereka, Ibn al-'Arab mengungkapkan "satu dalam wujud" (wahida fi al-wujd), kata tersebut yang membuat orang-orang beranggapan wahdat al-wujd adalah ungkapan Ibn al-'Arab.
Â
Ibn al-'Arab mengumpamakan hubungan antara Wujud Tuhan dan entitas adalah sebagaimana Adam dan Hawa, Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, Hawa berasal berasal dari seorang Adam tidak dua Adam. Sehingga Hawa hanya berasal dari tulang rusuk Adam, maka Hawa indentik dengan Adam, alam juga demikian semua identik dengan zat al-Haq karna alam berasal dari Allah, manusia dapat memahami nama-nama dari Tuhan setelah melihat alam semesta yang merupakan bentuk ermpiris dari wujud Tuhan. Alam sebagai tanda (ayt) atau biasa dikatakan "m siw al-Haq" maka segala sesuatu itu adalah dengannya manusia dapat mengetahui Allah, alam hakikatnya adalah bentuk mazhar dari semua nama Tuhan atau bisa juga disebut bahwa alam adalah lokus dari manifestasi zat Ilahi, Tuhan menciptakan alam sesuai dengan citra-Nya sebagaimana Adam juga diciptakan sesuai dengan citra Ilahi "khalaqa adam min suroti." Tuhan ber-Tajall kepada alam dalam bentuk ahir tidak dapat dipahami bahwa hakikat zat-Nya sudah dapat diketahui oleh makhluk akan tetapi hakikat zat Tuhan tetap tidak akan dapat dikenali oleh makhluk. Ibn al-'Arab sendiri menjelaskan tatanan alam atau kehadiran Tuhan pada tingkatan alam al-Hadrah al-Khamsah atau The Five Presences, merujuk kepada penjelasan Qaysari:
Â
"Pertama dari al-Hadrat al-kulliyyat adalah al-hadrat al-Ghaib al-mutlaq dan alamnya adalah alam al-'ayn al-tsbitah di hadrat al-'ilmiyyah. Dan yang bertentangan dengannya adalah hadrat al-shadat al-mutlaqah dan alamnya adalah alam al-mulk dan hadrat al-ghaib al-mudhof yang terbagi kepada yang lebih dekat kepada al-ghaib al-mutlaq dan alamnya adalah alam al-arwah al-jabartiyyah dan malaktiyyah yakni alam al-'uql dan al-nufs al-mujarradah dan kepada yang lebih dekat kepada al-syahadh, dan alamnya adalah alam mitsl. Sesungguhnya al-ghaib al-mudhof terbagi menjadi dua bagian karena al-arwh mempunyai form-form mithaliyyah yang sesuai dengan alam syahadh al-mutlaqah dan (ia juga mempunyai) form-form yang 'aqliyyah mujarradah yang sesuai dengan al-ghaib al-mutlaq. Dan kelima adalah al-Hadrah yang meliputi keempat-empat alam yang disebut. Dan alamnya adalah al-alam al-insni yang meliputi seluruh alam-alam dan seisinya. Maka itu alam mulk adalah mazhar alam malakt dan ia adalah alam al-mitsali al-mutlaq dan ia pula mazhar alam jabart yaitu alam mujarradah, dan ia pula adalah mazhar alam al-'ayn al-tsbitah, dan ia adalah al-Asma al-Ilahiyyah dan Hadrah al-Wahidiyyah dan ia pula adalah mazhar al-Hadrah al-Ahadiyyah".
Â
Jika dicermati secara metafisik atau realitas tidak lain adalah kehadiran (hadrah) atau kesadaran (shuhd). Kehadiran tersebut termasuk Sifat ketuhanan itu sendiri (hahut), Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi (lht), dunia malaikat (jabart), dunia halus dan psikis (malakt) dan dunia fisik (mulk). Alam mulk atau biasa dikenal dengan alam nst adalah alam jasmani, yang di tempati oleh manusia saat ini dan dapat dilihat secara langsung dengan mata, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan dan air. Alam mulk merupakan bentuk mazhar dari alam malakt atau alam mitsal, alam ini merupakan alam para malaikat, alam ini mer+upakan bentuk mazhar dari alam jabarut atau disebut alam mujarrdah, alam ini berada diantara alam aktual atau potensial yakni al-a'yn al-thbitah, alam ini adalah bentuk mazhar dari alam lht atau alam al-a'yn al-thbitah (al-Hadrath al-Wahidiyyah) merupakan alam dimana asma dan sifat telah muncul tapi dalam bentuk ilimiyyah yang kemudian nanti akan dimanifestasikan ke dalam bentuk konkrit, alam lahut merupakan bentuk mazhar dari alam hahut. Alam hahut atau disebut al-Hadrath al-Ilahiyyah merupakan hakikat zat-Nya tidak dapat dikenali oleh Makhluk, pada alam ini Tuhan masih bersifat transenden. Singkatnya, segala sesuatu yang berada dalam alam-alam ini adalah menunjukkan tanda dan bukti Tuhan. Dalam prespektif ini tasybh ditekankan, maka alam-alam yang telah disebutkan di atas merupakan pengungkapan diri Tuhan yang Maha Wujud. Kemanapun manusia melihat, baik cakrawala di dalam alam diri sendiri, manusia akan menemukan keberadaan benda- benda yang berkaitan dengan Tuhan.
Â
Manusia Citra Ilahi
Â
Manusia dikatakan mikrokosmos dikarenakan pada diri manusia terkandung unsur-unsur kosmos, bahkan manusia juga memiliki unsur rohani karena manusia memiliki ruh yang telah ditiupkan oleh al-Haq. Maka manusia yang telah memiliki unsur alam semesta memiliki potensi untuk memantulkan sifat-sifat al-Haq atau biasa dikenal dengan manusia citra Ilahi. Manusia yang bisa memantulkan sifat-sifat al-Haq sebenarnya secara potensial saja, namun ada manusia yang dipilih oleh al-Haq sebagai manusia paripurna yang mampu mencerminkan sifat-sifat Ilahi secara aktual. Insn al-kmil biasa diartikan sebagai "manusia yang layak menerima hakikat wujud Tuhan pada dirinya" atau manusia yang layak menerima asma, sifat dan af'al dari Tuhan".
Â
"Yang Allah ciptakan pertama adalah al-'aql,yang Allah ciptakan pertama adalah Nur Muhammad, yang Allah ciptakan pertama adalah air, yang Allah ciptakan pertama adalah al-qalam".[
Â
Tajall al-Haq kepada manusia tidaklah berbentuk tunggal karena manusia berbeda-beda pada tingkatan tertentu, manusia. Dengan manusia sempurna, telah tercapailah tujuan Tuhan dari penciptaan, yakni al-Haq dikenal dan segenap Kesempurnaan-Nya yang bisa digambarkan.34 Hakikat insan disebut hakikat tunggal (fardiyyah) karena menurut Ibn al-'Arab, Muhammad adalah manusia paling sempurna di kalangan manusia yang merupakan hakikat tunggal maka al-fardiyah al- mutlaq (the absolute singularity) merupakan perpaduan antara zat Tuhan dan martabat Ilahiyyah.
Â
Qaysari menyatakan bahwa tiga yang dimaksud pada kata di atas adalah al-Dzat al-Ilahiyyah (the Divine Essence), maqm al-Ilahiyyah (the degree of Divinity), al-Haqqat al-Ruhaniyyah al-Muhammadiyyah (the Reality of Muhammadan Sprituality) dan biasa disebut sebagai al-Aql al-Awwal (the Frist Intellect) dan apapun yang bertambah darinya adalah hasil dari yang tiga tersebut. Maka al-Fardiyyah al-awwaliyah merupakan penyebab segala manifestasi.
Â
Sabda Nabi:
Â
Maka rasulullah saw, adalah bukti paling jelas terhadap Tuhan. Karena telah didatangkan kepada beliau jawmi' al-kalim (yaitu segala kalimat-kalimat yang mana semuanya adalah objek-objek Nama-nama "Adam". Maka ia adalah dalil yang paling mirip pada diri yang tiga. Sedangkan dalil adalah dalil untuk dirinya sendiri".
Manusia yang telah mencapai maqm manusia sempurna adalah para nabi dan para wali, tugas para nabi adalah membimbing manusia sampai pada tingkat kesempurnaan dan kemudian sebagai lokus yang dapat mewujudkan nama dan sifat al-Haq seperti al-Rahm, al-Rahmn dan al-Hakm. Dengan adanya manusia sempurna pada alam ini terbentuklah wujud Tuhan yang diaktualisasikan dari nama yang seluruhnya, yaitu Allah. Namun Allah tidak terbatas sedangkan manusia terbatas. lalu insn kmil adalah bentuk inti dari hakikat Muhammad dan hakikat Muhammad sebagaimana dipahami bahwa dia Tajall dari akal pertama dari pengetahuan Tuhan yang tidak terbatas, maka insn al-kmil penyebab alam ini diciptakan, karena Tuhan ingin melihat citra-Nya, terkait hakikat Muhammad, Ibn al-'Arab mengatakan bahwa objek pengetahuan ada 3 yakni, Wujud Mutlak, yang dari-Nya segala sesuatu ini ada, kemudian ada wujud mumkin yang bergantung kepada yang Mutlak lalu ada wujud yang tidak abadi dan tidak pula terpengaruh oleh waktu dan zaman (temporal) pada tempat inilah hakikat Muhammad. Hakikat Muhammad dipandang realitas universal (al-Haqqah al-Kulliyah) yang menghimpun seluruh realitas, tidak ada manusia yang tau tentang realitas ini, ia yang menghubungkan Yang Mutlak dan alam yangterbatas ini, hakikat Muhammad merupakan rahasia Tuhan, lalu hakikat Muhammad inilah yang yang terbentuk secara mazhar dalam bentuk Adam sebagai manusia pertama yang telah Tuhan ciptakan dan padaa saat itu Adam adalah bentuk citra Tuhan yang paling sempurna. Maka insn al-kmil adalah yang mencerminkan nama dan sifat Tuhan secara sempurna, maka insn al-kmil tidak diartikan manusia yang sempurna secara fisik dan tidak memiliki kekurangan. Manusia sempurna yang ada dalam pemikiran Ibn al-'Arab adalah sebuah konsep manusia yang telah mencerminkan seluruh nama maupun sifat secara social dan kemudian manusia sempurna juga dapat dilihat dari pengetahuannya mengenai esensinya dengan Tuhan atau biasa disebut dengan mengenal Tuhan (ma'rifah), jika manusia itu dianggap sebagai cita Ilahi itu hanya bentuk potensial sedangkan secara aktual manusia itu adalah yang termanifestasi dari Tajall al-Haq. Manusia akan menjadi manusia sempurna apabila manusia telah mencapai pada maqm ia mengenal hubungannya dengan Tuhan dan pada maqm inilah citra Ilahi telah sempurna secara mazhar. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI