Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebijakan 3 Anak di China, Apakah Indonesia Perlu Juga?

21 Oktober 2021   18:01 Diperbarui: 23 Oktober 2021   15:40 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memiliki 3 anak. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Pada akhir bulan Mei 2021 yang lalu pemerintah China mengeluarkan kebijakan penting terkait ketentuan dalam Keluarga Berencana disana yaitu memberikan setiap pasangan untuk memiliki anak sebanyak 3 orang, setelah sebelumnya selama 5 tahun dengan kebijakan 2 anak. 

Dan pada bulan Agustus 2021, DPR China menindaklanjutinya yaitu dengan mengamandemen peraturan sebelumnya tentang Kependudukan dan Keluarga Berencana (Population and Family Planning Law) menjadi Undang-undang yang baru sebagai dasar dilaksanakannya kebijakan itu.

Kebijakan 3 anak diberlakukan yaitu dengan merubah ketentuan sebelumnya 2 anak per pasangan. Kebijakan 2 anak sudah dilaksanakan sekitar 5 tahun yang lalu sejak Januari 2016. 

Sedangkan sebelumnya sejak 1980 sampai dengan 2015, China dikenal luas dengan kebijakan ekstrimnya di bidang keluarga berencana yaitu 1 anak per pasangan.

Berbeda dengan kebijakan 2 anak, yang apabila dilakukan pelanggaran misalnya dengan memiliki 3 anak maka akan dikenakan denda untuk anak ketiga yaitu denda uang yang mencapai 130,000 yuan ($20.440), atau sekitar 290 juta rupiah waktu itu. Tetapi untuk kebijakan yang baru yaitu 3 anak, maka tidak ada lagi denda dan larangan bagi yang melanggar ketentuan lebih dari 3 anak itu.

Berubahnya kebijakan KB di China, adalah setelah pemerintah China melihat dan mencermati hasil Sensus Penduduk tahun 2020 yang memperlihatkan indikator kependudukannya, dimana hasilnya ternyata masih belum sesuai dengan apa yang sudah direncanakan, walaupun kebijakan 2 anak sudah diberlakukan.

Yang pertama adalah untuk indikator angka kelahiran yaitu yang terus menurun dalam 4 tahun terakhir. Menurut data dari Biro Statistik China (NBS) berdasarkan hasil dari Sensus 2020, memperlihatkan data kelahiran pada tahun 2020 menurun sampai dengan 12 juta kelahiran. 

Sumber; China Statistical Yearbook - bbc.com
Sumber; China Statistical Yearbook - bbc.com

Angka itu menurun 18% dibanding tahun 2019 yang mencapai 14,65 juta orang, dan 18 juta orang tahun 2016. Penurunan ini merupakan yang terendah sejak sensus penduduk pertama kali dilakukan tahun 1953. Penurunan terjadi selama 4 tahun terakhir, walaupun kebijakan 2 anak sudah diberlakukan.

Menurut ahli demographi di China, diperkirakan tingkat kelahiran untuk beberapa tahun berikutnya, akan bisa turun dibawah 10 juta per tahun, kalau tidak ada intervensi kebijakan yang tegas. 

Dan diperkirakan juga dengan perkembangan itu, India akan menyalip China sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia pada tahun 2023 atau paling lambat 2024.

Dan sejalan dengan penurunan tingkat kelahiran itu, tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata di China mengalami penurunan, yaitu dari 0,57 persen rata-rata tahun 2000 -- 2010, menjadi 0,53 persen tahun 2010 -- 2020.

Dan dengan tingkat pertumbuhan itu, penduduk China secara keseluruhan menurut SP tahun 2020 itu adalah sebanyak 1,419 milyar jiwa. Dengan 3 provinsi terbanyak penduduknya adalah; Guangdong; 126.012.510 jiwa, Shandong; 101.527.453 jiwa, dan Henan; 99.365.519 jiwa (en.wikipedia.org).

Walaupun tingkat kelahiran menurun, akan tetapi sebenarnya China tidak mengalami nasib seburuk Jepang dan Korea Selatan dalam indikator kependudukannya, yaitu yang sudah mengalami pertumbuhan penduduk negatip beberapa tahun terakhir. 

Jepang misalnya sudah mengalami penurunan jumlah penduduk sejak tahun 2013, sementara Korea Selatan, mulai tahun 2020 sudah lebih banyak yang meninggal dari yang lahir. Sedangkan China sendiri masih terjadi pertumbuhan dimana jumlah yang lahir 12 juta sementara yang meninggal 10,6 juta tahun 2020.

Walaupun demikian, tingkat kepemilikan rata-rata anak per wanita usia subur atau TFR di China juga sudah jauh dibawah tingkat penggantian (replacement level) yaitu 2,1,  dimana TFR China sudah berada pada angka 1,3, turun dari 1,6 per wanita tahun 2017. Dan China masuk pada kelompok negara dengan TFR paling rendah di dunia. 

Dikhawatirkan oleh pemerintah, China akan bisa masuk kedalam jebakan tingkat kelahiran rendah (low fertility trap) yaitu TFR dibawah 1,5, dimana apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak akan mempan meningkatkan jumlah kelahiran.

Yang kedua adalah tren penduduk China yang menua.

Menurut hasil SP 2020 di China, terjadi peningkatan lansia yang cukup signifikan. Penduduk usia 60 tahun keatas sudah mencapai 264 juta jiwa yang merupakan 18,7% dari seluruh penduduk 1.419 jiwa tahun 2020. 

Kalau menurut kriteria PBB dan WHO, perkembangan di China yang sudah lebih dari 14% itu, sudah dikatagorikan penduduk menua (aged society). Bahkan tidak lama lagi akan menjadi "super aged society" kalau sudah diatas 20%.

Jumlah lansia itu meningkat dibanding SP 2010, dimana jumlah penduduk usia 60 tahun keatas masih sebanyak 178 juta jiwa atau 13,3% dari total penduduk 1,34 miliar jiwa. Diperkirakan jumlah lansia di China akan menjadi 28% dari total penduduk atau sebesar 402 juta pada tahun 2040.

Untuk perlindungan dan penanganan lansia sebagaimana banyak negara lainnya, kemampuan pemerintah China masih terbatas dimana baru sekitar 3% dari jumlah lansia yang bisa dirumahkan di panti jompo (nursing home). Bahkan menurut harian Chinadaily, di Beijing ada sekitar 10 ribuan daftar tunggu yang masih ngantri, untuk bisa mendapatkan fasilitas di panti Jompo yang hanya memiliki 1.100 tempat tidur.

Besarnya proporsi jumlah lansia dari tahun ke tahun, selain karena semakin menurunnya angka kelahiran, juga disebabkan oleh umur harapan hidup di China yang terus mengalami peningkatan dimana tahun 2020 sudah mencapai 77,47 tahun, dibanding tahun 1960 yang masih 43,7 tahun.

Yang ketiga adalah semakin berkurangnya penduduk usia kerja

Jumlah penduduk usia kerja (15-59 tahun) di China menurut NBS China menurun di tahun 2020 yaitu menjadi 894 juta orang, dari 925 juta orang tahun 2011. Penurunan sekitar 5%.

Dalam jangka panjang penurunan ini menghawatirkan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di China, karena ancaman berkurangnya pasokan tenaga kerja.

Demikian pula semakin menurunnya jumlah tenaga kerja akan mengurangi daya dukung untuk membiayai kehidupan mereka yang sudah lansia, karena berkurangnya pembayar pajak.

Dan yang keempat, komposisi penduduk laki-laki dan perempuan yang masih timpang.

Pada tahun 2020 yang lalu data dari Biro Statistik China (NBS) jumlah penduduk laki-laki di China mencapai 723,34 juta jiwa. Sedangkan penduduk perempuan sebanyak 688,44 juta jiwa. Disini ada selisih sebesar 34,9 juta, yang merupakan kelebihan jumlah laki-laki dibanding perempuan di China. Sehingga secara alamiah jumlah itulah yang potensial tidak memiliki pasangan perempuan.

Karena itulah harga mahar atau pesuka yang ditawarkan dalam proses menuju perkawinan oleh keluarga perempuan di China sekarang ini sangat mahal. Ini juga yang membuat sulitnya para pemuda untuk bisa mendapatkan pasangan, sehingga terpaksa jomblo.

Ketimpangan dalam hal seks rasio itu, adalah akibat dari kebijakan ekstrim 1 anak per pasangan yang diberlakukan pemerintah China dengan ketat antara 1980 sampai dengan 2015, yaitu yang sudah dilaksanakan sekitar dua setengah dekade. Ketika itu secara tradisional, banyak pasangan yang menginginkan anak laki-laki, sehingga kalau ketahuan perempuan, maka dilakukan aborsi.

Reaksi keluarga di China

Bagaimana reaksi keluarga di China dengan kebijakan baru itu?

Sebuah online survey dilaksanakan tidak lama setelah dikeluarkannya kebijakan '3 anak cukup' itu yaitu oleh media milik pemerintah; Xinhua. Pada survey itu diajukan pertanyaan; Are You Ready for the three-child policy?. Jawaban yang didapatkan ternyata menunjukkan hasil yang mengejutkan. 

Sebanyak 29.000 dari 31 responden mengatakan tidak pernah  mempertimbangkan untuk memiliki 3 anak. Kemudian hanya 1.443 yang siap dengan 3 anak, 213 responden memang sudah mengagendakannya, dan 828 orang yang masih ragu-ragu. Dan hasil poling itu, ternyata segera menghilang dari tayangan Xinhua, tidak lama setelah diposting.

Jadi dari hasil survey itu, bisa diketahui reaksi dari keluarga di China terhadap kebijakan KB yang diambil pemerintahnya.

Suara tidak menerima dari keluarga di China terhadap aturan baru itu, juga bisa terlihat dari postingan di sosial media seperti WeChat Channels. 

Menurut liputan media di China kebanyakan masyarakat tidak mampu menerimanya, bahkan banyak yang menertawakannya. Hal itu tidak terlepas dari fakta tingginya biaya utuk melahirkan dan membesarkan anak di kota-kota besar di China, sebagaimana di kota-kota lainnya di Asia. 

Untuk biaya melahirkan saja di fasilitas kesehatan seperti dilansir di situs www.marketplace.org, membutuhkan biaya antara  8 hingga 12 ribu dolar. Belum lagi biaya asupan gizi berupa susu, biaya sekolah TK, mainan anak, untuk yang masih anak balita.

Sehingga ada komen seorang warga di Weibo (sejenis twitter di China) yang diberitakan di situs edition.cnn.com, yang mengatakan; "I don't even want to have one child, let alone three,", katanya yang kemudian mendapatkan lebih dari 51 ribu 'likes'.

Sebenarnya pemerintah China menyadari bahwa kebijakan '2 anak cukup' yang sudah diberlakukan sekitar 5 tahun sebelumnya, ternyata tidak seperti yang diharapkan, dimana kebijakan itu tidak menghasilkan terjadinya baby boom (ledakan kelahiran). 

Bahkan sebaliknya justru kelahiran yang malah semakin menurun, dengan adanya pemberlakuan kebijakan 2 anak dari 1 anak per pasangan sebelumnya.

Akan tetapi kemungkinan langkah atau kebijaka 3 anak itu merupakan salah satu upaya dari pemerintah China untuk terus berjuang membalikkan trend menurunnya jumlah kelahiran dan tidak ingin menjadi 'Jepang' kedua, serta mengembalikan struktur atau komposisi penduduk menjadi seimbang. 

Karena itu pemerintah akan menindaklanjuti kebijakan itu yaitu dengan berbagai kebijakan pendukung yang akan menguntungkan bagi pasangan yang akan melahirkan.

Diantaranya adalah pemerintah sedang memformulasikan sekema bantuan dalam bentuk bantuan keuangan, potongan pajak, asuransi, jaminan keberlanjutan pendidikan anak, subsidi perumahan, biaya persalinan, cuti melahirkan yang lebih luwes bagi ibu-ibu, dan lainnya.

Dalam hal ini ekonom dari Evergrande Research Institute;  Ren Zeping, mengusulkan kepada pemerintah agar memberikan bantuan keuangan per bulannya kepada keluarga yang melahirkan anak ketiga yaitu  antara 3.000 -- 5.000 yuan (6,5 - 11 juta rupiah). 

"In my opinion, China is already five years too late with such a plan. It shouldn't wait any longer to encourage childbirth," jelas Ren kepada media milik pemerintah Global Times.

Bahkan profesor Liang Jianzhang, di Universitas Peking, School of  Economics, menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan bantuan keuangan kepada setiap pasangan yang melahirkan sampai dengan 1 juta Yuan ($165.000) atau sekitar 2,3 milyar rupiah.

Walaupun demikian para ahli kependudukan di China masih tetap tanda tanya dengan dampak dari kebijakan 3 anak itu dalam meningkatkan angka kelahiran. 

Hal itu karena fakta di masyarakat yaitu semakin beratnya biaya yang ditanggung oleh keluarga di China dalam  melahirkan, membesarkan dan menyekolahkan anak. Kalaupun akan ada penambahan jumlah kelahiran kedepan ini dengan kebijakan itu, maka diperkirakan penambahan kelahiran tidak akan meningkat signifikan.

Sebuah laporan dari Universitas Renmin di China mengemukakan prediksi tambahan kelahiran per tahun untuk waktu kedepan ini, diperkirakan sekitar 200 sampai 300 ribu kelahiran, tambahan dari angka kelahiran sebesar 12 juta per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bagaimanapun juga Indonesia harus tetap awas dan hati-hati dengan perkembangan angka kelahirannya, yaitu kalau melihat perkembangan di beberapa negara Asia yang sudah masuk pada kondisi low fertility trap itu. 

Indonesia harus melihat perkembangan di Jepang, Korea Selatan, Sigapura, China dan Thailand yang memiliki angka TFR terendah di dunia, yaitu yang sangat sulit membalikkan kondisinya menuju ke TFR 2,1. 

Seperti Korea Selatan sudah sekitar $120 milyar atau 1.680 triliun rupiah dikeluarkan dari 2005 sampai 2018 untuk mendorong agar warganya menambah jumlah kelahiran, akan tetapi tetap tidak bisa, bahkan angka kelahiran justru mengalami penurunan.

Memang benar kalau mengacu pada indikator angka TFR, Indonesia termasuk relatip masih aman, dimana angka TFR-nya berada pada posisi diatas 2,1 yaitu; 2,4 per wanita usia subur. 

Angka ini adalah hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 yang dilaksanakan oleh BPS. Pelaksanaan SDKI dijadwalkan 5 tahun sekali, sehingga pada tahun 2022 baru diketahui perkembangan angka resmi TFR yang baru. Walaupun demikian BPS sudah memprediksi angka TFR tahun 2022 sebesar 2,212.

Dan berbeda dengan negara-negara dengan TFR rendah yang disebutkan diatas yang sulit menggerakkan angka TFR-nya menuju ke angka 2,1. Indonesia justru faktanya sangat sulit menurunkan angka TFR-nya menuju ke angka 2,1. Pada SDKI tahun 2002, Indonesia memiliki angka TFR sebesar 2,6, dan baru pada SDKI tahun 2017 (sekitar 15 tahun) baru turun ke angka 2,4 dengan rincian TFR perdesaan masih 2,6 dan perkotaan 2,3.

Walaupun demikian Indonesia perlu tetap harus waspada yaitu kalau melihat trend pertumbuhan angka kelahiran yang terus mengalami penurunan sebagaimana terlihat pada hasil Sensus Penduduk tahun 2020 (SP 2020) BPS.

Mengacu pada hasil SP 2020, jumlah penduduk Indonesia, pada September 2020 adalah 270,20 juta jiwa. Jumlah ini bertambah 32,56 juta dibanding SP 2010 yang masih 237,63 juta jiwa. Pertambahan sekitar 3,26 juta rata-rata per tahun. 

Sumber; Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber; Badan Pusat Statistik (BPS)

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2010--2020), terjadi laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk itu menurun dibanding kurun waktu 2000-2010 yang masih 1,49 persen atau penurunan sebesar 0,24 persen poin. Jelas perlambatan ini akan terus berlanjut untuk tahun-tahun yang akan datang.

Kemudian proporsi penduduk umur 0-14 tahun menurun cukup signifikan yaitu dari 44,12% hasil SP 1971, menjadi 23,33% pada SP 2020. Ini menunjukkan terjadinya perlambatan dalam pertumbuhan penduduk. Sehingga jangan heran kalau banyak sekolah SD yang tidak dapat murid yang akhirnya harus ditutup.

Termasuk juga proporsi lansia umur 60 tahun keatas yang juga mengalami peningkatan yaitu dari 7,59 persen pada tahun 2010 menjadi 9,78% tahun 2020, tinggal 0,22 point lagi menuju ke 10% untuk bisa dikatakan Indonesia memasuki penduduk menua (ageing population).

Berbeda dengan di China yang penduduk usia produktifnya mengalami penurunan, di Indonesia untuk kelompok umur 15-64 tahun itu sedang terjadi peningkatan. 

Pada tahun 1971 kelompok usia produktif masih 53,39% dari total penduduk, dan menjadi 70,72% pada hasil SP 2020. Besarnya proporsi kelompok usia produktif ini menandai apa yang disebut dengan bonus demografi dalam ilmu kependudukan.

Akan tetapi di sisi penanggulangan pengangguran dan kemiskinan, mungkin lebih tepat disebut saja dengan tambahan beban, karena faktanya sulit mengatasi ataupun menurunkan jumlah angka pengangguran dan kemiskinan itu.

Dengan fakta perkembangan laju penurunan kelahiran, serta meningkatnya proporsi lansia itu, maka menjadi pertanda bagi pemerintah untuk mengelola ulang target-target dalam indikator kependudukannya.

Dan mengacu pada target Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)  tahun 2000 -- 2025, ditargetkan pada tahun 2025 yang akan datang Indonesia akan diupayakan untuk memiliki TFR 2,1. Hal itu ditindaklanjuti dengan Rencana Strategis (Renstra) BKKBN 2020-2024 sebagai penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.

Adapun Target Indikator Sasaran Strategis per-Provinsi dari Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) per WUS usia 15-49 Tahun sebagaimana dipaparkan pada Renstra BKKBN 2020-2024 adalah;

Sumber; Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Sumber; Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

Dari paparan angka TFR itu untuk hasil SDKI 2017 diatas terlihat tidak ada satu provinsipun yang sudah berada dibawah TFR 2,1. Provinsi yang memiliki TFR sebesar 2,1 adalah Jawa Timur, Bali dan DI Yogjakarta. 

Kemudian dari data diatas juga terlihat provinsi yang TFR-nya sama dan dibawah rata-rata nasional yaitu TFR 2,4 adalah sebanyak 15 provinsi. Sehingga sisanya 19 provinsi berada pada posisi TFR diatas 2,4.

Seluruh provinsi yang memiliki penduduk besar di pulau Jawa, memiliki TFR sama serta dibawah rata-rata nasional 2,4. Hanya satu provinsi yaitu Sumatra Utara yang memiliki penduduk besar (14 juta) masih berada pada TFR 2,9.

Kemudian terkait dengan adanya phenomena low fertility trap di sejumlah negara di Asia, maka seperti yang dikemukakan diatas, sebaiknya target-target pencapaian TFR itu perlu dikaji ulang. Dalam hal ini provinsi yang sudah mencapai TFR 2,1, sepertinya tidak usah lagi diturunkan, tetapi diarahkan ke provinsi yang memang masih memiliki TFR tinggi.

Dalam hal ini untuk bisa mengetahui gambaran TFR provinsi secara lebih detail, maka sebaiknya penghitungan TFR diarahkan sampai kepada tingkat kabupaten kota. Karena salah satu kelemahan dari penghitungan TFR di Indonesia selama ini adalah tidak sampai penghitungannya ke level kabupaten kota. Padahal dalam satu provinsi, akan ada perbedaan dan variasi dalam angka TFR maupun karakteristik kependudukannya.

Untuk itu kedepan perlu ada tersedia data TFR per kabupaten, sehingga akan diketahui variasi masing-masing kabupaten kota dalam angka TFR-nya.@

Referensi;

1. Alexander Chipman Koty; June 8, 2021, Why China Has Amended its Population Policy and What it Means for the Economy www.china-briefing.com

2. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 8 Mei 2020, Rencana Strategis (Renstra) BKKBN 2020-2024

3. Badan Pusat Statistik (BPS), Januari 2021, Hasil Sensus Penduduk 2020, Berita Resmi Statistik No. 7/01/Th. XXIV, 21 Januari 2021

4. Jennifer Pak, Jun 21, 2021, Chinese citizens greet new 3-child policy with humor www.marketplace.org

5. Jessie Yeung and Steve George August 26, 2021, China wants families to have three children. But many women aren't convinced. edition.cnn.com

6. Joe McDonald and Huizhong Wu, May 11, 2021, China Adds Few Babies, Loses Workers As Its 1.4b People Age. apnews.com

7. Michael Standaert, 9 Jun 2021, Despite three-child policy, many in China can't afford more kids www.aljazeera.com

8. VOA News on China, May 23, 2021, In Fast-Aging China, Elder Care Costs Loom Large www.voanews.com

9. Wang Feng and Yong Cai; June 7, 2021, The Real Reason Behind China's Three-Child Policy www.nytimes.com

10. Xie Hongzhou 21-Jul-2021, China details supporting measures for 3-child policy. news.cgtn.com

11. Zhang Hui; Aug 20, 2021, 3rd-child policy written into Chinese law; expert projects 10% of GDP needed to raise birth rate. www.globaltimes.cn

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun