Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebijakan 3 Anak di China, Apakah Indonesia Perlu Juga?

21 Oktober 2021   18:01 Diperbarui: 23 Oktober 2021   15:40 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memiliki 3 anak. (sumber: shutterstock via kompas.com)

"In my opinion, China is already five years too late with such a plan. It shouldn't wait any longer to encourage childbirth," jelas Ren kepada media milik pemerintah Global Times.

Bahkan profesor Liang Jianzhang, di Universitas Peking, School of  Economics, menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan bantuan keuangan kepada setiap pasangan yang melahirkan sampai dengan 1 juta Yuan ($165.000) atau sekitar 2,3 milyar rupiah.

Walaupun demikian para ahli kependudukan di China masih tetap tanda tanya dengan dampak dari kebijakan 3 anak itu dalam meningkatkan angka kelahiran. 

Hal itu karena fakta di masyarakat yaitu semakin beratnya biaya yang ditanggung oleh keluarga di China dalam  melahirkan, membesarkan dan menyekolahkan anak. Kalaupun akan ada penambahan jumlah kelahiran kedepan ini dengan kebijakan itu, maka diperkirakan penambahan kelahiran tidak akan meningkat signifikan.

Sebuah laporan dari Universitas Renmin di China mengemukakan prediksi tambahan kelahiran per tahun untuk waktu kedepan ini, diperkirakan sekitar 200 sampai 300 ribu kelahiran, tambahan dari angka kelahiran sebesar 12 juta per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia?

Bagaimanapun juga Indonesia harus tetap awas dan hati-hati dengan perkembangan angka kelahirannya, yaitu kalau melihat perkembangan di beberapa negara Asia yang sudah masuk pada kondisi low fertility trap itu. 

Indonesia harus melihat perkembangan di Jepang, Korea Selatan, Sigapura, China dan Thailand yang memiliki angka TFR terendah di dunia, yaitu yang sangat sulit membalikkan kondisinya menuju ke TFR 2,1. 

Seperti Korea Selatan sudah sekitar $120 milyar atau 1.680 triliun rupiah dikeluarkan dari 2005 sampai 2018 untuk mendorong agar warganya menambah jumlah kelahiran, akan tetapi tetap tidak bisa, bahkan angka kelahiran justru mengalami penurunan.

Memang benar kalau mengacu pada indikator angka TFR, Indonesia termasuk relatip masih aman, dimana angka TFR-nya berada pada posisi diatas 2,1 yaitu; 2,4 per wanita usia subur. 

Angka ini adalah hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 yang dilaksanakan oleh BPS. Pelaksanaan SDKI dijadwalkan 5 tahun sekali, sehingga pada tahun 2022 baru diketahui perkembangan angka resmi TFR yang baru. Walaupun demikian BPS sudah memprediksi angka TFR tahun 2022 sebesar 2,212.

Dan berbeda dengan negara-negara dengan TFR rendah yang disebutkan diatas yang sulit menggerakkan angka TFR-nya menuju ke angka 2,1. Indonesia justru faktanya sangat sulit menurunkan angka TFR-nya menuju ke angka 2,1. Pada SDKI tahun 2002, Indonesia memiliki angka TFR sebesar 2,6, dan baru pada SDKI tahun 2017 (sekitar 15 tahun) baru turun ke angka 2,4 dengan rincian TFR perdesaan masih 2,6 dan perkotaan 2,3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun