Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pentingnya Paham Literasi Keuangan untuk Menjaga Stabilitas Keuangan

10 Juni 2019   14:11 Diperbarui: 10 Juni 2019   14:13 1921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Kajian Stabilitas Keuangan, Seharusnya dimasukkan dalam pelajaran Sehingga bisa masuk ke Kurikulum dan Pembelajaran bagi siswa kita. sumber:www.bisnis.com

"Tingkat literasi keuangan di Indonesia termasuk yang tertinggal dibanding negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura 90 persen, Malaysia 80 persen, Thailand 70 persen sedangkan Indonesia masih sekitar 20 persen saja," Pernyataan pak Jokowi di acara Indonesia Fintech Festival & Conference (IFF) 2016, di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten Selasa (30/8/2016).

Pendidikan literasi keuangan sangat dibutuhkan untuk mendidik generasi millenial sejak dini agar sadar akan pentingnya bagaimana cara mengelola keuangan secara bijak dan sesuai kebutuhan. Literasi keuangan telah menjadi program pemerintah yang telah didukung oleh semua pihak, baik itu oleh perbankan nasional, OJK, Kadin, hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Literasi keuangan, salah satu dari enam literasi dasar yang sudah harus diajarkan dan dikenalkan sejak dini kepada seluruh anak Indonesia. Menurut OJK, literasi keuangan adalah rangkaian proses atau aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keyakinan dan keterampilan konsumen dan masyarakat luas sehingga mereka mampu mengelola keuangan dengan baik.

Literasi keuangan memiliki tujuan jangka panjang bagi seluruh golongan masyarakat, yaitu meningkatkan literasi seseorang yang sebelumnya less literate, yaitu hanya memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan, produk dan jasa keuangan atau bahkan not literate, menjadi well literate, yakni memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan resiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan.

Literasi keuangan juga bertujuan meningkatkan jumlah pengguna produk dan layanan jasa keuangan di era kekinian sehingga bisa berperan menjaga stabilitas keuangan nasional kita. Sejarah kelam krisis keuangan pernah menghantui Republik ini, dimana di tahun 1998 kita mengalami keterpurukan krisis moneter akibat pemerintah pada saat itu tidak dapat membendung perubahan perekonomian. Krisis keuangan masa itu ditenggarai terjadi karena belum diterapkannya kebijakan makroprudensial yang efektif  di negara maju, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan    dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi  antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi.

Di Indonesia sendiri, pendekatan makroprudensial sudah dijalankan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Pengalaman krisis   tersebut sesungguhnya telah memberikan pelajaran yang berharga, sehingga pada saat krisis keuangan global tahun 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan produk subprime mortgage di Amerika Serikat, Bank Indonesia dengan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dimilikinya sudah lebih siap dengan berbagai langkah yang dapat menahan pemburukan kondisi ekonomi dan sistem keuangan di dalam negeri.

Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,    fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013, sementara Bank Indonesia diamanatkan untuk tetap menjalankan fungsi makroprudensial.

Lantas apa itu kebijakan makroprudential sebagai salah satu pengenalan literasi keuangan yang harus diketahui semua pihak, tanpa terkecuali oleh generasi millenial?

Kebijakan makroprudensial baru populer pascakrisis keuangan global (global financial crisis, GFC) yang terjadi pada tahun 2008. Krisis yang dipicu permasalahan subprime mortgage di sektor keuangan ini tak hanya mengakibatkan penurunan kinerja sektor keuangan, namun juga berdampak negatif pada memburuknya perekonomian dunia. Keterkaitan hubungan, atau hubungan sebab akibat (feedback loop), antara sektor keuangan dengan sektor riil mengakibatkan biaya krisis menjadi tinggi dengan waktu pemulihan yang tidak singkat. Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007).

Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memperhatikan aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam UndangUndang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sejak tahun 2003, Bank Indonesia telah aktif mengomunikasikan hasil pemantauan (surveillance) atas stabilitas sistem keuangan secara semesteran. Hasil tersebut dituangkan dalam laporan yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). Dalam perjalanannya, kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan telah diakui secara internasional seperti terlihat dari keberhasilan Bank Indonesia dalam memperoleh penghargaan sebagai "The Best Systemic and Prudential Regulator" pada acara The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang diselenggarakan pada 25 April 2012, di Bangkok.

Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas kemampuan Bank Indonesia dalam mengarahkan industri perbankan Indonesia untuk menerapkan aturan berstandar internasional, serta kemampuan merespons gejolak perekonomian global pada saat krisis hingga mampu menghindari terjadinya risiko sistemik.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial memberikan arahan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. Sementara, sistem keuangan didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan atau penyediaan pembiayaan perekonomian.

Alasan Kebijakan Makropudensial Diperlukan Di Indonesia

Dalam implementasinya, kebijakan makroprudensial secara efektif bisa menjadi komplemen atau pelengkap dari kebijakan-kebijakan lain yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik kebijakan makroprudensial yang berorientasi kepada sistem, mencakup dimensi runtun waktu (time series) dan antarsubjek (cross section), serta diimplementasikan dengan perangkat prudensial, diharapkan dapat menutup kekurangan atau kebijakan mikroprudensial, moneter, maupun fiskal dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan.

Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang berorientasi pada sistem, bertujuan melihat sistem keuangan secara keseluruhan melalui pendekatan yang bersifat top-down. Dengan pendekatan top-down (dari atas ke bawah), kebijakan yang akan diambil didasarkan pada hasil analisis secara komprehensif terhadap kondisi makroekonomi dan dampaknya pada seluruh risiko dalam sistem keuangan, termasuk korelasi antara risiko sistemik, dinamika pasar, dan pilihan kebijakan yang akan dilakukan.

Karakteristik kebijakan ini menjawab kebutuhan akan adanya suatu pendekatan yang bersifat agregat dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, kebijakan makroprudensial dengan pendekatan top-down akan melengkapi kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) melalui analisis yang lebih mendalam atas risiko institusi keuangan secara individual (idiosyncratic risk).

Jadi kesimpuila dari tuntutan agar kita paham dalam literasi keuangan di era kekinian, adalah bahwa baik kebijakan makroprudensial maupun kebijakan mikroprudensial sama-sama bertujuan mencegah instabilitas sistem keuangan, namun dengan pendekatan yang berbeda.

Kebijakan mikroprudensial dengan fokus pada target kesehatan individual insitusi keuangan, pada akhirnya akan berupaya mencegah instabilitas dengan cara menekan kerugian yang ditanggung oleh institusi keuangan, serta bermuara pada perlindungan konsumen.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial yang fokus pada interaksi antara lembaga keuangan, pasar, infrastruktur dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran potensi risiko ke depan; akan berupaya mencegah instabilitas untuk menghindari biaya perekonomian yang timbul dari kegagalan sektor keuangan (biaya penanggulangan krisis). Dengan kata lain, kebijakan makroprudensial bertujuan untuk membatasi kemungkinan kegagalan finansial yang berdampak signifikan terhadap sistem keuangan atau mencegah terjadinya risiko sistemik (Crockett, 2000).

Pada tahun 2018, Bank Indonesia menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Meskipun spillover global berpengaruh terhadap kapasitas intermediasi, namun masih terdapat ruang untuk ekspansi.

Siklus keuangan Indonesia mengindikasikan masih adanya ruang akselerasi bagi pertumbuhan kredit. Untuk itu, rasio LTV/FTV untuk  KPR kembali dilonggarkan. Melalui Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), fungsi intermediasi perbankan diperluas dengan komponen wholesale. Fleksibilitas pengelolaan likuiditas ditingkatkan dengan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).

Sejalan dengan kebijakan akomodatif, Bank Indonesia kembali menetapkan besaran Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0%. Sementara itu, upaya mengembangkan sektor UMKM juga kembali dilakukan. Melalui rasio kredit UMKM, akses keuangan diperluas.

Maka hasil implementasi dari kebijakan makroprudensial dapat kita rasakan, dimana BI telah melakukan pelonggaran kembali Loan to Value/Financiang to Value (LTV/FTV) untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) untuk fasilitas kredit pertama, pelonggaran fasilitas inden, dan pelonggaran termin pembayaran, itu yang pertama.

Kedua, penyempurnaan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) Loan to Funding Ratio (LFR) menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) untuk mendorong intermediasi perbankan. Ketiga, implementasi instrumen Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan. Keempat, BI mempertahankan besaran Countercyclical Capital Buffer (CCB) pada level 0 persen. Kelima, BI secara konsisten senantiasa berupaya mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Alhasil, siklus keuangan yang telah menunjukkan arah ekspansi diperkirakan akan terus menguat. Kinerja korporasi non keuangan juga terjaga dan terus melanjutkan ekspansi. Sementara itu, kinerja korporasi go public membaik tercermin dari peningkatan keuntungan dan kemampuan membayar kewajiban yang sejalan dengan peningkatan aktivitas.

sumber:

1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun