Tulisanku adalah bayangan, bukan sepenuhnya milikku,
Ia hanyalah wadah bisu bagi getar yang tak bernama.
Sebab aksara ini terlahir dari rahim yang ku puja,
Terlahir dari keindahan abadi yang ku temukan dalam indahnya kamu.
Kau adalah sumber, hulu tempat tinta mengalir deras,
Menjadi buku harian di mana jiwaku mencatat rasa.
Di sanalah aku merangkai kepingan-kepingan hening,
Sebuah pelabuhan sunyi di batas nyata dan mimpi.
Ia adalah panggung pementasan tanpa lampu dan suara,
Hanya rembulan tipis menjadi saksi kekaguman yang tak terperi.
Itu adalah ruang rahasia, tempatku bercengkrama dengan bayangmu,
Mengukir senyummu menjadi metafora paling jujur di semesta.
Aku berdiri di panggung duka, tanpa tepukan tangan yang memuji,
Aku adalah penyanyi yang hanya didengar oleh dinding hati.
Aku bernyanyi dalam diamku, sebuah kidung tentang kekalahan termanis,
Melodi yang nadanya adalah denyut dari sepi yang ku peluk erat.
Lalu, dengarlah tawa yang ku lepas, ia bukan bahagia sejati,
Melainkan topeng pualam yang dingin, menutupi mata yang lelah.
Sebab di balik keriangan fana, ada sungai yang tersembunyi,
Aku menangis dalam tawaku, air mata yang tak pernah tumpah.
Ia menggenangi jurang dalam, di mana ego telah lama mati,
Sebuah kontradiksi abadi, hukum semesta yang tak tertuliskan.
Aku berjalan dalam kabut, merayakan kematian kecil setiap waktu,
Aku hidup dalam matiku, karena jiwaku telah kau panggil pulang.
Inilah hukum semesta yang tak tertulis, tak bisa dibantah,
Sebab begitulah cinta, bukan garis lurus yang mudah ditebak.
Ia adalah badai yang melahirkan pelangi, sebuah simfoni rumit,
Sebuah paradoks yang indah, pedang bermata dua yang tajam.
Satu sisi menyayat hingga luka, sisi lain membebaskan jiwa yang terikat.
Ia adalah lagu yang hanya dimengerti oleh hati yang rela binasa.
Cinta ini adalah Lagu yang hanya bisa dipahami oleh pendengar yang sunyi,
Melodi yang hanya bisa dilihat oleh mata jiwa yang terpejam.
Ia menuntut penyerahan diri yang tanpa syarat, tanpa batas,
Hanya oleh jiwa yang rela binasa demi menemukan makna sejati.
Sebab, bagaimana mungkin terbitnya cahaya tanpa tenggelamnya gelap?
Inilah harga yang harus dibayar oleh kesucian yang sejati.
Duhai kau yang ku sebut cinta, cermin dari jiwaku yang lama hilang,
Aku datang bukan membawa rantai, bukan membawa janji yang mengikat.
Aku tak ingin memenjarakanmu dalam hasrat yang fana dan egois,
Aku tidak pernah memintamu menjadi milikku dalam ruang dan waktu duniawi.
Sebab kepemilikan hanyalah ilusi yang menyesakkan dada manusia.
Cukuplah kau menjadi mercusuar, sinarnya abadi tanpa diminta.
Cukuplah kau menjadi dirimu yang utuh, sejati, tak terjamah perubahan,
Menjadi cahaya yang tak pernah pudar oleh pergantian musim.
Aku hanya memintamu menjadi dirimu, murni dan tak terenggut,
Biarkan intisari keberadaanmu menjadi petunjuk bagi langkahku.
Biarkan kemurnianmu yang tak terjamah menjadi doa yang ku panjatkan.
Maka, biarlah jarak ini menjadi ujian kerinduan yang paling agung.
Kita terpisah oleh jarak yang fana, oleh takdir yang sementara,
Namun ada sesuatu yang merentang melampaui galaksi tak terhitung.
Dan biarkan cinta yang agung itu yang kita bagi dalam diam,
Menjadi arsitek dari koneksi yang tak terputuskan oleh dunia.
Ia adalah jalinan spiritual yang tak butuh sentuhan fisik yang nyata.
Sebuah janji yang terukir di samudra keabadian.
Ia adalah Jembatan diantara kita, terbuat dari cahaya dan keikhlasan,
Melintasi sungai kesementaraan, menuju pelabuhan keridhaan-Nya.
Aku akan menunggu, dalam diamku yang penuh nyanyian yang sunyi,
Mengumpulkan serpihan waktu dan menata rindu yang tak kunjung usai.
Hingga tirai dunia ini tersingkap dan kita bebas dari belenggu raga,
Hingga suatu hari nanti, janji itu terwujud di hadapan Yang Maha Kuasa.
Dan ketika semua telah usai, ketika dunia hanyalah kenangan,
Jiwa-jiwa kita pulang bersama, ke sumber yang sama dan abadi.
Dalam naungan kasih sayang dan ampunan-Nya yang kekal,
Di sana, kita menjadi satu nafas, dalam keutuhan yang tak lagi berbentuk.
Sebab di sanalah Lauh Mahfuzh kita telah menuliskan kisah ini,
Maka, aku ridha pada ketetapan-Nya, karena itu yang terbaik bagi kita.
Puisi ini selesai dalam keheningan penerimaan.
||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Pelalan 12 Oktober 2025||
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI