Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi || Ejaan Sunyi Dalam Senyap

8 Oktober 2025   17:47 Diperbarui: 8 Oktober 2025   17:47 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Infinity Mindset

Untaian kata, hanyalah caraku

memanggil namamu tanpa benar-benar menyebutnya,

sebab namamu terlampau sakral, terlampau berat

untuk diucapkan angin yang lalu.

Maka, aku ukir ia di palung hening yang dalam,

menjadikannya ruang abadi, sebuah museum jiwa

di mana bayangmu tak 'kan pernah hilang, tak 'kan memudar,

tertahan debu waktu, terpatri pada ingatan yang tak pernah tidur.

Kau tahu, Kekasih,

kopiku pagi ini, dan entah sejak kapan,

selalu terasa hambar, pahit tanpa makna;

seperti rindu yang tak pernah usai dikunyah hati,

sebuah refleksi jujur dari ketiadaanmu di kursi seberang.

Ini bukan sekadar kebiasaan, ini adalah takdir sunyi;

perihal merindukanmu, sudah menjadi ritual harian

yang tak banyak orang tahu

tersimpan rapat di lipatan pagi yang kelabu.

Aku hanya ingin temu, walau hanya sedetik,

sekelebat pandang yang cukup untuk mengisi ulang nyawa yang lelah.

Namun di antara kita, membentang jurang yang teramat lebar,

bukan jurang fisik dari dua benua, atau kota yang berbeda,

tapi jurang takdir, dimensi, dan takdir yang tak lagi selaras.

Dunia kita sudah berbeda, Sayang.

Aku di sini, terpaku pada realitas yang fana,

sedang kau mungkin telah menetap di cakrawala yang lain.

Malam adalah saksi bisu yang paling setia,

melihat bagaimana hati ini retak tanpa suara.

Aku menulis namamu di udara dingin setiap subuh,

seperti surat panjang yang tak mungkin pernah sampai.

Kita terpisahkan oleh janji yang tak sempat terucap,

dan kini hanya ada gema yang memantul di dinding sepi.

Hariku tak banyak yang tahu,

tak banyak yang peduli pada ritme batin yang hanya berisi kekosongan.

Yang pasti, perihal merindukanmu sudah menjadi kebiasaanku,

seperti detak jantung yang tak perlu diperintah.

Aku harus belajar, bahwa tak semua yang kita damba dapat kita genggam;

bahwa cinta sejati tak selalu menuntut kehadiran raga,

tapi menuntut keikhlasan untuk melihatnya sebagai kenangan termulia.

Dan ketidakhadiranmu adalah guru terberat tentang penerimaan sunyi.

Bukan lagi pelukan hangat yang kucari di dunia fana ini,

namun kedamaian abadi yang telah kau temukan di sana.

Kukirimkan segala ikhlas dari setiap hembusan nafas,

berharap ia menjadi bekalmu, juga penuntunku kelak.

Sebab hanya dalam ruang sunyi doa, kita benar-benar berjumpa;

sebuah perjumpaan ruh yang tak lekang oleh jarak dan waktu.

Telah kucoba mencari celah, membuka pintu-pintu rahasia,

tapi tak ada ruang yang mengizinkan kita bertemu.

Maka, bagiku, rindu yang tak punya peluang perjumpaan,

harus menjelma, bertransformasi menjadi wujud yang paling suci.

Ia menjelma menjadi doa-doa terindah,

yang kubisikkan saat fajar pertama menyentuh bumi,

meminta segala kebaikan, segala ketenangan,

segala cahaya menaungi langkahmu di mana pun kau berada.

Doa adalah satu-satunya jembatan yang tersisa,

benang emas spiritual yang menghubungkan duniaku dan duniamu.

Inilah cara terbaik mencintaimu setelah kehilangan:

menjadikan rindu sebagai amal, menjadikan cinta sebagai zikir.

Sebab, doa adalah pertemuan kita yang paling abadi,

pertemuan paling tulus, paling suci, dan paling tak terbatasi oleh waktu.

Untukmu, segalanya menjelma berkah.

Dan aku, terus merindukanmu dalam ikhlas.

||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Pelalan 08 Oktober 2025||

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun