Untaian kata, hanyalah caraku
memanggil namamu tanpa benar-benar menyebutnya,
sebab namamu terlampau sakral, terlampau berat
untuk diucapkan angin yang lalu.
Maka, aku ukir ia di palung hening yang dalam,
menjadikannya ruang abadi, sebuah museum jiwa
di mana bayangmu tak 'kan pernah hilang, tak 'kan memudar,
tertahan debu waktu, terpatri pada ingatan yang tak pernah tidur.
Kau tahu, Kekasih,
kopiku pagi ini, dan entah sejak kapan,
selalu terasa hambar, pahit tanpa makna;
seperti rindu yang tak pernah usai dikunyah hati,
sebuah refleksi jujur dari ketiadaanmu di kursi seberang.
Ini bukan sekadar kebiasaan, ini adalah takdir sunyi;
perihal merindukanmu, sudah menjadi ritual harian
yang tak banyak orang tahu
tersimpan rapat di lipatan pagi yang kelabu.
Aku hanya ingin temu, walau hanya sedetik,
sekelebat pandang yang cukup untuk mengisi ulang nyawa yang lelah.
Namun di antara kita, membentang jurang yang teramat lebar,
bukan jurang fisik dari dua benua, atau kota yang berbeda,
tapi jurang takdir, dimensi, dan takdir yang tak lagi selaras.
Dunia kita sudah berbeda, Sayang.
Aku di sini, terpaku pada realitas yang fana,
sedang kau mungkin telah menetap di cakrawala yang lain.
Malam adalah saksi bisu yang paling setia,
melihat bagaimana hati ini retak tanpa suara.
Aku menulis namamu di udara dingin setiap subuh,
seperti surat panjang yang tak mungkin pernah sampai.
Kita terpisahkan oleh janji yang tak sempat terucap,
dan kini hanya ada gema yang memantul di dinding sepi.
Hariku tak banyak yang tahu,
tak banyak yang peduli pada ritme batin yang hanya berisi kekosongan.
Yang pasti, perihal merindukanmu sudah menjadi kebiasaanku,
seperti detak jantung yang tak perlu diperintah.
Aku harus belajar, bahwa tak semua yang kita damba dapat kita genggam;
bahwa cinta sejati tak selalu menuntut kehadiran raga,
tapi menuntut keikhlasan untuk melihatnya sebagai kenangan termulia.
Dan ketidakhadiranmu adalah guru terberat tentang penerimaan sunyi.
Bukan lagi pelukan hangat yang kucari di dunia fana ini,
namun kedamaian abadi yang telah kau temukan di sana.
Kukirimkan segala ikhlas dari setiap hembusan nafas,
berharap ia menjadi bekalmu, juga penuntunku kelak.
Sebab hanya dalam ruang sunyi doa, kita benar-benar berjumpa;
sebuah perjumpaan ruh yang tak lekang oleh jarak dan waktu.
Telah kucoba mencari celah, membuka pintu-pintu rahasia,
tapi tak ada ruang yang mengizinkan kita bertemu.
Maka, bagiku, rindu yang tak punya peluang perjumpaan,
harus menjelma, bertransformasi menjadi wujud yang paling suci.
Ia menjelma menjadi doa-doa terindah,
yang kubisikkan saat fajar pertama menyentuh bumi,
meminta segala kebaikan, segala ketenangan,
segala cahaya menaungi langkahmu di mana pun kau berada.
Doa adalah satu-satunya jembatan yang tersisa,
benang emas spiritual yang menghubungkan duniaku dan duniamu.
Inilah cara terbaik mencintaimu setelah kehilangan:
menjadikan rindu sebagai amal, menjadikan cinta sebagai zikir.
Sebab, doa adalah pertemuan kita yang paling abadi,
pertemuan paling tulus, paling suci, dan paling tak terbatasi oleh waktu.
Untukmu, segalanya menjelma berkah.
Dan aku, terus merindukanmu dalam ikhlas.
||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Pelalan 08 Oktober 2025||
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI