Artinya, secara hukum, siapapun yang berusia cukup, berstatus WNI, sehat jasmani-rohani, dan minimal SMA bisa mencalonkan diri. Gelar sarjana, apalagi pascasarjana, bukan syarat mutlak.
Mengapa syaratnya rendah? Karena prinsip demokrasi menekankan keterwakilan. DPR dianggap lembaga rakyat, sehingga aksesnya tidak boleh hanya dimiliki kalangan intelektual berpendidikan tinggi.
Namun di sinilah tarik-menarik muncul. Publik melihat realitas: syarat minimal SMA memang menjamin akses luas, tetapi apakah itu cukup menjamin kualitas legislasi? Apalagi di era globalisasi, ketika wakil rakyat dituntut mampu berinteraksi dengan dunia internasional, memahami regulasi kompleks, dan menghadapi isu-isu yang membutuhkan analisis tajam.
Dari sisi pro, syarat S2 + TOEFL 500 bisa menjadi filter agar DPR diisi orang-orang yang tidak hanya populer secara politik, tapi juga mumpuni secara akademis.
Dari sisi kontra, hal ini bisa dianggap diskriminatif. Alasannya, membatasi hak politik warga negara yang belum tentu kualitas kepemimpinannya lebih rendah hanya karena tak bergelar tinggi.
Aspirasi Masyarakat: Antara Satir dan Harapan Serius
Apa sebenarnya maksud rakyat ketika melempar usulan ini? Apakah benar mereka ingin DPR jadi "kelas pascasarjana dengan TOEFL"?
Sebagian besar netizen mengaku serius mendukung. Apalagi karena sebuah kasus penjarahan, salah satu anggota DPR didapati rata-rata nilai ijazahnya sewaktu di SMP hanya 6. Menurut mereka, jika DPR disyaratkan minimal S2, setidaknya anggota dewan sudah terbiasa dengan proses akademis: menulis, meneliti, berpikir sistematis. TOEFL 500 dianggap penting sebagai standar komunikasi global. Bukankah seringkali kita malu melihat wakil rakyat kesulitan berbicara dalam forum internasional?
Namun, ada juga yang melihatnya sebagai bentuk satir. Rakyat bukan benar-benar terobsesi dengan skor TOEFL. Mereka hanya ingin menyindir betapa rendahnya kualitas komunikasi DPR terhadap rakyatnya sendiri. Ironi besar: untuk melamar kerja di perusahaan multinasional saja, syaratnya bisa S1 dan TOEFL ratusan. Tapi untuk melamar jadi wakil rakyat, pekerjaan yang menentukan nasib jutaan orang, cukup ijazah SMA.
Jadi, apakah usulan ini utopis? Mungkin. Apakah usulan ini realistis untuk jadi kebijakan? Belum tentu. Tapi yang pasti, usulan ini menyuarakan keresahan nyata. Rakyat ingin DPR yang berpikir lebih jauh, berbicara lebih jelas, dan bekerja lebih serius.
Refleksi: Kualitas yang Sebenarnya Dibutuhkan
Mau S2, mau TOEFL 500, pada akhirnya rakyat tidak hanya butuh wakil yang pintar di atas kertas. Rakyat butuh wakil yang jujur, berpihak, dan berani memperjuangkan kepentingan umum.
Gelar akademik bisa jadi simbol intelektualitas. Skor TOEFL bisa jadi indikator kemampuan bahasa. Tetapi moralitas, integritas, dan keberanian politik tidak bisa diuji lewat ujian tertulis. Itu lahir dari nurani dan keberpihakan.