Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Agung MSG - Trainer Transformatif | Human Development Coach | Penulis Buku * Be A Rich Man (2004) * Retail Risk Management in Detail (2010) * The Prophet’s Natural Curative Secret (2022) 📧 Email: agungmsg@gmail.com 📱 Instagram: @agungmsg 🔖 Tagar: #haiedumain | #inspirasihati

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

DPR, S2, dan TOEFL 500: Aspirasi atau Ilusi?

31 Agustus 2025   21:31 Diperbarui: 31 Agustus 2025   21:29 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
S2 dan TOEFL hanyalah simbol; rakyat menuntut dewan yang berakal sehat dan berhati nurani. |Image: Ilustrator AFM

 "Gelar bisa dipajang di dinding, skor bisa dicetak di kertas, tapi kepercayaan rakyat hanya lahir dari keberpihakan yang tulus."

Suara Jalanan, Suara Linimasa

Tidak berlebihan rasanya, bila sekarang ini kepercayaan publik terhadap DPR berada di titik terendah sepanjang sejarah. Akibatnya di jalanan, rakyat di banyak kota dan kabupaten kembali bersuara. Bukan sekadar unjuk rasa, melainkan ekspresi ketidakpercayaan yang sudah lama menumpuk terhadap sikap, keberpihakan, dan kinerja DPR.

Akhir Agustus 2025, di depan Gedung DPR RI, demonstrasi ricuh pecah. Poster-poster bertuliskan tuntutan bertebaran. Suara toa memekakkan telinga, sementara barisan aparat berjaga kaku.

Di tengah hiruk pikuk itu, muncul suara lain. Bukan dari pengeras suara, melainkan dari lini masa media sosial. Netizen melontarkan usulan yang setengah serius, setengah satir: "Bagaimana kalau syarat masuk DPR minimal S2 dan TOEFL 500?"

Usulan ini bukan datang dari partai politik, bukan pula lembaga resmi. Murni dari publik yang gusar melihat kualitas wakil rakyat yang sering jauh dari harapan. Ide ini cepat menyebar, menjadi bahan diskusi, bahkan perdebatan. Apakah benar gelar akademis tinggi dan skor bahasa Inggris bisa menjamin anggota DPR lebih berkualitas? Ataukah ini sekadar teriakan frustrasi rakyat yang bosan diabaikan?

Latar Belakang: Kekecewaan yang Menumpuk

Sebenarnya, usulan ini bukan lahir di ruang kosong. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap DPR. Lembaga yang secara teori adalah "rumah rakyat", tapi dalam praktik kerap dirasakan sebagai "benteng kekuasaan". Hanya sebagai "petugas partai", karena yang berkuasa sesungguhnya adalah "bos-bos" para ketua partai.

Rakyat melihat, sidang-sidang DPR lebih sering jadi panggung politik daripada ruang solusi. Kebijakan sering terasa jauh dari kebutuhan warga biasa. Transparansi minim, keberpihakan kabur, dan integritas anggota dewan serta empatinya kerap dipertanyakan.

Maka ketika demonstrasi ricuh terjadi akhir Agustus ini, wajar jika publik melontarkan ide yang terdengar ekstrem: anggota DPR harus S2 dan punya TOEFL 500. Ada yang menertawakan, ada pula yang mengangguk setuju.

Bagi sebagian masyarakat, usulan itu bukan soal gengsi gelar atau kemampuan bahasa asing, melainkan simbol harapan. Harapan agar anggota DPR bukan hanya pandai berslogan, tapi juga memiliki kapasitas intelektual dan daya nalar yang mumpuni. Seorang insan pembelajar yang menjadi anggota dewan yang terhormat, empatik, cerdas, dan berwibawa.

Realitas Hukum dan Regulasi

Sekarang, mari kita mundur sejenak ke aspek legal. Saat ini, syarat menjadi anggota DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut, syarat pendidikan calon anggota DPR hanya sebatas lulusan minimal SMA atau sederajat.

Artinya, secara hukum, siapapun yang berusia cukup, berstatus WNI, sehat jasmani-rohani, dan minimal SMA bisa mencalonkan diri. Gelar sarjana, apalagi pascasarjana, bukan syarat mutlak.

Mengapa syaratnya rendah? Karena prinsip demokrasi menekankan keterwakilan. DPR dianggap lembaga rakyat, sehingga aksesnya tidak boleh hanya dimiliki kalangan intelektual berpendidikan tinggi.

Namun di sinilah tarik-menarik muncul. Publik melihat realitas: syarat minimal SMA memang menjamin akses luas, tetapi apakah itu cukup menjamin kualitas legislasi? Apalagi di era globalisasi, ketika wakil rakyat dituntut mampu berinteraksi dengan dunia internasional, memahami regulasi kompleks, dan menghadapi isu-isu yang membutuhkan analisis tajam.

Dari sisi pro, syarat S2 + TOEFL 500 bisa menjadi filter agar DPR diisi orang-orang yang tidak hanya populer secara politik, tapi juga mumpuni secara akademis.

Dari sisi kontra, hal ini bisa dianggap diskriminatif. Alasannya, membatasi hak politik warga negara yang belum tentu kualitas kepemimpinannya lebih rendah hanya karena tak bergelar tinggi.

Aspirasi Masyarakat: Antara Satir dan Harapan Serius

Apa sebenarnya maksud rakyat ketika melempar usulan ini? Apakah benar mereka ingin DPR jadi "kelas pascasarjana dengan TOEFL"?

Sebagian besar netizen mengaku serius mendukung. Apalagi karena sebuah kasus penjarahan, salah satu anggota DPR didapati rata-rata nilai ijazahnya sewaktu di SMP hanya 6. Menurut mereka, jika DPR disyaratkan minimal S2, setidaknya anggota dewan sudah terbiasa dengan proses akademis: menulis, meneliti, berpikir sistematis. TOEFL 500 dianggap penting sebagai standar komunikasi global. Bukankah seringkali kita malu melihat wakil rakyat kesulitan berbicara dalam forum internasional?

Namun, ada juga yang melihatnya sebagai bentuk satir. Rakyat bukan benar-benar terobsesi dengan skor TOEFL. Mereka hanya ingin menyindir betapa rendahnya kualitas komunikasi DPR terhadap rakyatnya sendiri. Ironi besar: untuk melamar kerja di perusahaan multinasional saja, syaratnya bisa S1 dan TOEFL ratusan. Tapi untuk melamar jadi wakil rakyat, pekerjaan yang menentukan nasib jutaan orang, cukup ijazah SMA.

Jadi, apakah usulan ini utopis? Mungkin. Apakah usulan ini realistis untuk jadi kebijakan? Belum tentu. Tapi yang pasti, usulan ini menyuarakan keresahan nyata. Rakyat ingin DPR yang berpikir lebih jauh, berbicara lebih jelas, dan bekerja lebih serius.

Refleksi: Kualitas yang Sebenarnya Dibutuhkan

Mau S2, mau TOEFL 500, pada akhirnya rakyat tidak hanya butuh wakil yang pintar di atas kertas. Rakyat butuh wakil yang jujur, berpihak, dan berani memperjuangkan kepentingan umum.

Gelar akademik bisa jadi simbol intelektualitas. Skor TOEFL bisa jadi indikator kemampuan bahasa. Tetapi moralitas, integritas, dan keberanian politik tidak bisa diuji lewat ujian tertulis. Itu lahir dari nurani dan keberpihakan.

Maka, ketika publik melontarkan usulan ini, jangan buru-buru ditertawakan. Ia adalah suara frustrasi sekaligus alarm keras: kualitas DPR harus dibenahi. Entah melalui reformasi rekrutmen partai, peningkatan pendidikan politik, atau mekanisme seleksi yang lebih ketat, rakyat ingin melihat dewan yang benar-benar menjadi representasi mereka, bukan sekadar bayangan partai.

Lebih dari Sekadar Gelar dan Skor

Usulan agar anggota DPR minimal berpendidikan S2 dan punya TOEFL 500 memang masih sebatas wacana warganet. Tidak ada tokoh politik yang mendukungnya secara resmi. Tidak ada rancangan undang-undang yang membahasnya. Tapi jangan salah: di balik satir itu ada harapan serius.

Rakyat sedang berkata: "Kami ingin DPR yang berkualitas, profesional, dan mampu berdialog dengan zaman."

Mungkin jalan menuju sana bukan sekadar menambah syarat akademis. Tapi tanpa adanya standar kualitas baru, sulit berharap DPR bisa keluar dari lingkaran ketidakpercayaan rakyat.

Pertanyaannya tinggal satu: beranikah DPR mendengar suara rakyat, sebelum suara itu berubah menjadi gelombang yang lebih besar dari sekadar usulan TOEFL dan gelar S2?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun