Pesta Demokrasi, Cinta, dan Penyesalan
Di tengah gemuruh kehidupan, tiba saatnya pesta demokrasi,
Suara-suara rakyat bergema, menuntut keadilan dan persamaan.
Dalam sunyi suara hati, mereka menari di bilik suara,
Merayakan hak yang suci, memilih masa depan yang bersinar.
Namun di balik layar, terdengar getaran asmara,
Di sudut-sudut kota, cinta merayap di setiap sudut jalan.
Hati-hati yang terbuka, terbelenggu oleh rasa takut,
Namun cinta tetap bersemi, dalam persembahan hati yang tulus.
Saat langit mulai memudar, dan abu menggantikan warna,
Kita duduk dalam khidmat, merenungkan perjalanan hidup yang penuh warna.
Rabu Abu, mengingatkan akan kefanaan dunia,
Memohon ampunan, memohon petunjuk dalam bingkai kesederhanaan.
Bising sorak-sorai menggema di udara,
Bendera berkibar diiringi tarian bendera.
Rakyat berbondong-bondong menuju bilik suara,
Menentukan masa depan bangsa dengan suara.
Janji-janji manis terukir di bibir,
Visi dan misi dibentangkan di atas kertas.
Harapan rakyat terpatri di setiap coblosan,
Menanti pemimpin yang membawa perubahan.
Kasih sayang mewarnai dunia,
Bunga dan cokelat bertukar tangan.
Kata-kata cinta terukir di kartu ucapan,
Romantisme menyelimuti setiap insan.
Namun, di balik tawa dan kebahagiaan,
Tersimpan luka dan kesepian.
Bagi mereka yang tak memiliki kekasih,
Hari Valentine menjadi pengingat kesendirian.
Tanda salib abu menghiasi dahi,
Pengingat akan kefanaan manusia.
Masa Prapaskah dimulai dengan pertobatan,
Menyiapkan diri menyambut kebangkitan.
Puasa dan pantang menjadi komitmen,
Menundukkan hawa nafsu dan dosa.
Refleksi dan doa mengisi hari-hari,
Memperkuat iman dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Perpaduan yang Unik