Mohon tunggu...
tias adhi
tias adhi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FDK UINSA Surabaya

menyukai diskusi agama, sosial, budaya dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesta Demokrasi?

7 Maret 2024   06:34 Diperbarui: 7 Maret 2024   06:34 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada Februari 2014 ini, bangsa Indonesia sudah selesai menunaikan hajatan politik yang disebut Pemilu. Disebut pesta demokrasi, sebuah pesta rakyat untuk memilih calon-calon pemimpin maupun legislator. Berharap dari mereka akan menjadi jembatan rakyat untuk  mendapat dan merasakan kue pembangunan. Sebuah harapan dari cita-cita demokratisasi dalam ruang reformasi.

Enam kali agenda pemilu telah dilaksanakan pasca reformasi 1998. Pemilu menjadi lebih baik, bukan pemilu "sulapan" seperti era Soeharto, yakni Pemilu yang penuh settingan dan narasi kebohongan yang seolah-olah demokratis. Sudah menjadi rahasia umum. Pasca lengsernya diktator Presiden Soeharto, kekuasaan dikembalikan kepada rakyat sebagai buah dari reformasi. Termasuk agenda Pemilu berlangsung melalui mekanisme partisipasi rakyat untuk menentukan pilihan. Artinya bahwa hal tersebut menuju ikhwal ideal dalam penciptaan atmosfer demokratis sesuai harapan banyak orang.

Setelah enam kali pemilu, masih ada celah kesalahan dan dibutuhkan evaluasi untuk semakin menyempurnakan moral berdemokrasi kita. Sesuai opini Kacung Marijan dalam tulisannya, "ada celah dari permainan yang bisa saja disalahgunakan, agar lebih mudah memenangkan permainan" (14/2/24). Makanya kita temukan sejak jauh-jauh hari kampanye Bawaslu mengenai "stop politik uang, kampanye hitam, dan berita hoax" sebagai ikhtiyar politik dalam mengawal pemilu tahun ini. Ketiganya adalah antisipasi demi menjamin agenda pemilu berjalan kondusif, termasuk apresiasi atas usaha kampanye KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam narasi "Hajar Serangan Fajar".

Faktanya masih menyisakan celah untuk memenangkan posisi politik, bahwa yang kemudian nampak menyolok adalah kecurangan politik uang. Sesuatu yang sudah dianggap tradisi "benar" menurut banyak orang. Kemasannya dibahasakan sebagai "sedekah", mengambil kosa kata agama agar mudah diterima logika spiritual kita. Sesuatu yang kemudian menemukan pembenarannya dalam benak masyarakat kita hari ini. Sesuatu yang kemudian meruntuhkan semua bentuk teori politik demokrasi yang banyak disampaikan oleh sekian banyak pakar.

Jika kemudian yang harus terjadi adalah pola-pola seperti ini, maka konsepsi tradisi dalam diskusi serangan fajar adalah sebagai sesuatu yang kemudian menjadi masuk akal. Dalam semua perihal kontestasi demokrasi, tentunya si-tajir yang kurang kompeten akan mampu membeli hati nurani masyarakat. Sebaliknya kualitas seseorang, produk gagasan dan output program sebagai nilai tawar dan bukan uang, tidak lagi sebagai standar primer bagi cara menemukan wakil rakyat atau pemimpin. Maka melihatnya bahwa buah dari hajatan politik semisal pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat/pemimpin dengan rekam jejak pelaku suap.  

Bagaimana seharusnya kemudian peran Parpol peserta pemilu dalam menyikapi problem seperti di atas?. Jika bicara etika politik tentunya peran parpol harus turut serta menjadi mesin pencegah untuk terjadinya praktek suap. Semisal memberi rambu-rambu etis kepada segenap calonnya untuk menghindar dari perilaku tersebut. Artinya ada mekanisme supervisi yang ketat dan kebijakan larangan. Hal ini jika bicara etika sesuai nilai ideal dalam perspektif teori-teori politik dan hukum. Namun apa daya, kadang sesuatu yang ideal kerap diakali demi kata menang.

Tugas parpol lainnya adalah mendidik konstituen untuk peka dan menolak tindakan suap dari kontestan nakal. Parpol wajib mengajarkan antisipasi kepada masyarakat bahwa serangan fajar adalah buah simalakama dan berefek buruk, semisal bakal terpilihnya wakil rakyat yang akan berlaku korup dalam usaha mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan. Berikut parpol harus membimbing massa untuk menemukan figur terbaik demi capaian kualitas pembangunan. Mustahil jika kemudian pemerintah mengajarkan masyarakat untuk anti pada korupsi, namun pada sisi lain parpol sebagai lembaga negara melakukan pembiaran atas peristiwa suap. Sesuatu ini yang kemudian disebut kontradiksi.    

Agenda Pemilu diartikan sebagai sesuatu yang sakral sebagai hajatan besar bangsa ini. Sakral dalam konteks politik merupakan niat baik menuju pembangunan sosial masyarakat untuk menuju tahapan yang lebih maju. Namun sayangnya nilai-nilai ideal yang sudah dirumuskan pada akhirnya harus dirusak sendiri dengan melakukan pembiaran atas terjadinya perilaku politik uang. Istilah pesta demokrasi menemukan muaranya, ketika masyarakat seolah bergembira ketika menerima serangan fajar dan diarahkan memilih calon tertentu. Mengarahkan adalah kecurangan. Pemilihan yang berangkat dari proses salah, adalah spekulasi bias yang tentunya memiliki konsekwensi tidak baik. Benar jika kemudian, pesta demokrasi sebagai istilah aneh sebagai proses demokrasi yang tidak demokratis.

Saat ini anasir jujur dan adil (jurdil) sebagai slogan lebih menemukan bentuknya. Mulai dari persiapan pemilu, verifikasi parpol, DCS dan DCT caleg, masa kampanye dan sebagainya. Semuanya disaksikan dan diketahui publik sebagai keberhasilan dalam menata alur pemilu. Pengkondisian panitia pemilu, berlangsungnya waktu pencoblosan, hitungan sirekap yang menuai banyak kontroversi, munculnya ketidakpuasan, pengulangan penghitungan atau pencoblosan adalah dinamika obyektif. Termasuk tragedi penggelembungan suara bisa jadi berawal dari kejahatan suap yang kerap mewarnai prosesi pemilu, sehingga menuai protes dan kecaman.

Demokrasi ala orde baru adalah masa lalu. Senyampang dalam usia 25 tahun reformasi, idealnya kita telah hidup dalam situasi yang lebih demokratis. Menyempurnakan apa yang belum sesuai dengan maksud dari kontestasi politik adalah sebuah telaah kritis. Menemukan evaluasinya adalah tugas kaum akademisi untuk diteruskan menjadi modal kolektif dalam membangun demokratisasi. Menemukan revisinya adalah juga tugas dari penggiat politik, untuk menemukan formula terbaik dalam memastikan cita-cita reformasi berjalan kondusif. Harga diri bangsa salah satunya ditentukan kualitas pemilu yang transparan serta berkeadilan. Kita sepakat untuk memastikan pada peristiwa pemilu mendatang, tidak ada lagi kecurangan yang dibungkus tradisi dan agama.

TIAS SATRIO ADHITAMA, M.A.

Akademisi FDK UINSA dan pemerhati sosial

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun