Namanya juga undangan berbuka, kebanyakan jam tiga sore dibuka registrasi peserta. Saya mengatur jam berangkat, satu atau dua jam mundur dari jam pendaftaran (mempertimbangkan lokasi acara).
Acara inti biasanya dimulai (sekira) jam lima, berakhir persis beberapa menit di detik-detik jelang bedug maghrib dikumandangkan.
Kompasianer, berbuka puasa di Hotel bergengsi di tengah Ibukota. Masalah menu berbuka jangan diragukan, nama-nama asing susah dieja berderet rapi di meja saji.Â
Ada meja untuk makanan pembuka, berisi kolak, kurma, bubur sumsum , jajanan pasar dan lain sebagainya. Kemudian meja panjang untuk makanan utama, pilihan menunya banyak membuat saya bingung memilih. Satu lagi meja makanan penutup, biasanya ada puding dan atau buah-buahan.
Lain waktu acara diadakan di Cafe, menu disajikan tak seberagam menu hotel. Tetapi tetap saja menu istimewa disajikan, harga seporsinya bikin mikir berkali lipat kalau hendak membeli.
Bisa Saja Buber Virtual, Asal Jangan Kebablasan
Kalau saya mengingat ulang, dari sekian banyak undangan berbuka biasanya selesai antara jam setengah tujuh atau jam tujuh malam. Kalau dirunut kemudian baru saya sadari, saya telah kehilangan waktu-waktu penuh keutamaan (di bulan Ramadan).
Berbuka puasa di tempat acara, biasanya saya dilenakan dengan aneka makanan lezat. Melaksanakan sholat maghrib mundur jauh, tak jarang waktunya mendekati adzan sholat Isya. Padahal sholat di awal waktu sangat dianjurkan, menunjukkan hal apa yang diprioritaskan.
Kan bisa taraweh sendiri di rumah?
Bisa sih, tapi siapa bisa jamin. Sampai rumah sudah larut, badan lengket dan kecapekan. Kalau sudah tidur, maka tak ada tadarus. Dan kalau keterusan sampai sepuluh hari terakhir Ramadan, maka tak kenal apa itu itikaf.
Dari mendatangi acara buka puasa bersama, ternyata rentetan "kerugian" saya sedemikian panjang dan itu tidak saya sadari (mungkin saking hati sudah keras).