Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Amarah Atasan dan Ucapan yang (Tidak) Bisa Dibatalkan

11 November 2021   07:24 Diperbarui: 13 November 2021   11:45 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi teman, atasan toxic di kantor | Sumber: DragonImages via kompas.com

Luapan amarah kerapkali menjadi "alat bantu" untuk mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) di suatu korporasi bisnis. Salah satu tujuannya tentu untuk menertibkan eksekusi pekerjaan agar senantiasa berjalan sesuai rule yang berlaku serta sasaran yang ditetapkan.

Amarah yang meluncur biasanya merupakan tindakan spontan yang "wujud" dan "rupa" tidak terkondisikan sebelumnya. Yang mana "kemasan" dari hal itu bisa jadi berbeda-beda pada masing-masing orang.

Ada yang sebatas mengeluarkan nada tinggi dan membentak kala berbicara sebagai cerminan emosi yang meluap-luap. Ada yang tetap bertutur kata landai namun menyiratkan beragam sindiran. Sampai ada juga yang melontarkan nama-nama dari para penghuni kebun binatang.

Bagaimanapun juga perihal amarah ini akan senantiasa menjadi penghias dari dinamika pekerjaan. Khususnya dalam hubungan orang per orang. Baik itu hubungan antar rekan kerja selevel ataupun yang berbeda level. Terlebih kita semua merupakan makhluk yang memiliki emosi sehingga keberadaan amarah adalah suatu keniscayaan.

Hati-hati dalam Ucapan

Ilustrasi bos yang marah | Sumber gambar : www.wisklik.com
Ilustrasi bos yang marah | Sumber gambar : www.wisklik.com

Meskipun merupakan bagian tak terpisahkan dari kepribadian seseorang, bukan berarti bahwa amarah bisa diumbar begitu saja atau disalurkan dengan semena-mena. Ada batasan-batasan yang mendorong agar situasi menyangkut amarah bisa dikondiskan. Marah tapi tetap terkendali. Marah tapi tetap beretika. Marah tapi tanpa menyakiti hati orang lain.

Hal itu memang tidaklah mudah dilakukan. Sehingga wajarlah kiranya bahwa kita diajarkan untuk tidak marah. Karena amarah yang lepas kendali bahkan bisa membuat seseorang "kehilangan" sosok dirinya sendiri. Yang oleh Daniel Goleman hal itu disebut dengan "pembajakan emosi".

Tentu kita sudah tidak asing dengan pemberitaan yang menyebutkan aksi kriminalitas akibat "dorongan" amarah yang membuncah. Suami/istri yang cemburu bisa berbuat membabi buta pada pasangannya sendiri seiring amarah mereka yang terpancing. Seseorang nekad menyakiti orang lain karena tidak terima atas perlakuan yang menyinggung emosi mereka.

Demikian halnya dengan ucapan atau perkataan kita bisa saja merespon dengan "kejam" dari apa yang dilakukan oleh orang lain yang mana hal itu dianggap kurang sesuai. Seperti hasil kerja anak buah yang dipersoalkan oleh sang atasan.

Memang bukan perkara mudah untuk memilih kata-kata dikala amarah melanda. Sebuah tindakan yang sulit untuk menahan beberapa ucapan dikala emosi tengah meninggi. Ibarat bom waktu yang hendak meledak namun hal itu terkungkung seorang diri. Sehingga efek ledakannya pun hanya mengena pada satu orang saja.

Betapa tidak nyamannya saat seseorang ingin mengutarakan makian kepada orang lain akibat jengkel ataupun marah sementara hal itu harus ditahan-tahan. Dalam hal ini seorang yang "terserang" amarah hanya memiliki dua pilihan yaitu "menikmati" amarah seorang diri atau meluapkannya.

Kata orang, mengekang emosi yang meninggi bisa menjadi "penyakit". Meskipun entah seperti apa bentuknya. Namun hal itu bukan berarti bahwa luapan amarah bisa dilakukan semau kita. 

Penting sekali untuk tetap menyelipkan aspek kecerdasan diantara keberadaan emosi yang mendominasi. Marah namun tetap berkualitas dan memiliki implikasi positif yang menjadikan tujuan dari luapan amarah tersebut benar-benar menemui sasarannya tanpa menimbulkan efek samping yang destruktif.

Kita tidak boleh mengesampingkan kenyataan bahwa setiap kata-kata atau ucapan yang terlontar tidak akan bisa dibatalkan. Ia akan terus terngiang dan terkenang oleh siapapun yang mendengarkannya. 

Terutama tatkala ucapan tersebut memiliki efek emosi yang tinggi. Baik itu emosi mandamaikan seperti pujian ataupun emosi yang menyakitkan seperti amarah.

Seorang atasan terkait dengan peranannya sebagai sosok pemimpin tentu diharapkan memiliki kemampuan lebih untuk mengondisikan hal-hal yang menjadikannya kecewa terhadap kinerja anak buah sehingga membuatnya ingin marah. 

Mereka harus berpikir perihal efek dari tindakan ataupun ucapannya.

Jangan beramsumsi dan berdalih bahwa profesionalisme seharusnya membuat setiap orang rela dengan setiap kemungkinan yang timbul dari imbas profesinya. 

Adakalnya kehidupan pekerjaan itu membaur begitu erat dengan kehidupan pribadi seseorang yang menjadikan lontaran amarah di lingkungan kerja sekalipun bisa turut dianggap sebagai bagian dari masalah pribadinya.

Kita tentu tidak menginginkan ada konflik atau masalah yang timbul diluar urusan pekerjaan yang dipicu oleh pekerjaan.

Salam hangat,
Ash

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun