Luapan amarah kerapkali menjadi "alat bantu" untuk mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) di suatu korporasi bisnis. Salah satu tujuannya tentu untuk menertibkan eksekusi pekerjaan agar senantiasa berjalan sesuai rule yang berlaku serta sasaran yang ditetapkan.
Amarah yang meluncur biasanya merupakan tindakan spontan yang "wujud" dan "rupa" tidak terkondisikan sebelumnya. Yang mana "kemasan" dari hal itu bisa jadi berbeda-beda pada masing-masing orang.
Ada yang sebatas mengeluarkan nada tinggi dan membentak kala berbicara sebagai cerminan emosi yang meluap-luap. Ada yang tetap bertutur kata landai namun menyiratkan beragam sindiran. Sampai ada juga yang melontarkan nama-nama dari para penghuni kebun binatang.
Bagaimanapun juga perihal amarah ini akan senantiasa menjadi penghias dari dinamika pekerjaan. Khususnya dalam hubungan orang per orang. Baik itu hubungan antar rekan kerja selevel ataupun yang berbeda level. Terlebih kita semua merupakan makhluk yang memiliki emosi sehingga keberadaan amarah adalah suatu keniscayaan.
Hati-hati dalam Ucapan
Meskipun merupakan bagian tak terpisahkan dari kepribadian seseorang, bukan berarti bahwa amarah bisa diumbar begitu saja atau disalurkan dengan semena-mena. Ada batasan-batasan yang mendorong agar situasi menyangkut amarah bisa dikondiskan. Marah tapi tetap terkendali. Marah tapi tetap beretika. Marah tapi tanpa menyakiti hati orang lain.
Hal itu memang tidaklah mudah dilakukan. Sehingga wajarlah kiranya bahwa kita diajarkan untuk tidak marah. Karena amarah yang lepas kendali bahkan bisa membuat seseorang "kehilangan" sosok dirinya sendiri. Yang oleh Daniel Goleman hal itu disebut dengan "pembajakan emosi".
Tentu kita sudah tidak asing dengan pemberitaan yang menyebutkan aksi kriminalitas akibat "dorongan" amarah yang membuncah. Suami/istri yang cemburu bisa berbuat membabi buta pada pasangannya sendiri seiring amarah mereka yang terpancing. Seseorang nekad menyakiti orang lain karena tidak terima atas perlakuan yang menyinggung emosi mereka.
Demikian halnya dengan ucapan atau perkataan kita bisa saja merespon dengan "kejam" dari apa yang dilakukan oleh orang lain yang mana hal itu dianggap kurang sesuai. Seperti hasil kerja anak buah yang dipersoalkan oleh sang atasan.
Memang bukan perkara mudah untuk memilih kata-kata dikala amarah melanda. Sebuah tindakan yang sulit untuk menahan beberapa ucapan dikala emosi tengah meninggi. Ibarat bom waktu yang hendak meledak namun hal itu terkungkung seorang diri. Sehingga efek ledakannya pun hanya mengena pada satu orang saja.