Suatu pagi
seusai Ekaristi
aku melangkah penuh hati-hati
melintasi lorong-lorong imajinasi
Langit begitu teduhi
bak musik yang ku dengar saat itu
sedang dibalik kesunyian,
mata tak pernah bosan memandang keindahan
wajah seorang laki-laki yang mengenalkan Jubah
bibirnya yang penuh tawa tanpa jeda
menyapa dengan penuh kehangatan
setiap orang yang dijumpainya
Lantas apa yang berbeda?
bukanlah Kita masih basah dengan ayat-ayat sucuci
yang kita lantunkan bersama di dalam Kapela
setelahnya dada mulai penuh dengan kesesakan
memikirkan tentang sebuah perpisahan
Hingga,
kata-kata dalam puisi tak lagi tersusun dengan rapi
yang ada hanya sepi yang melingkar pada diri
melintas pada memori yang entah kapan akan pergi
Cemas terpancar dalam wajah
luka mulai menganga
lalu jiwa mulai meratap kepada senja
yang tak pernah alpa di tatap
Kekasih
Aku ingin mencintaimu
hingga dengan diam-diam
menyelipkan namamu di dalam doa
walau rindu tak pernah tubtaa
pada selembar kertas puisi yang di tulis pada malam tadi
Sebab teduh darimu suatu yang syahdu
meski di balut Jubah yang membawa cemburu itu
^Catatan di Ujung Pena^
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI