Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

[Nur] #1 'Semanis' Teh Pahit

14 Desember 2015   10:05 Diperbarui: 16 Desember 2015   21:58 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi

Pagi memberitahukan kedatangannya dengan caranya sendiri. Ia datang dengan senyap, lembut, dan karenanya ayam dan burung-burung --yang mampu menangkap dan merasakan kelembutan meski dalam kesenyapannya-– menyambutnya dengan suka cita. Pagi datang dengan membelaikan kelembutan, makhluk yang mampu menangkap dan merasakannya kemudian menyuarakan kedatangannya. Ayam dengan kokoknya, burung dengan cicitnya, nenek dengan geliat dan menguapnya, lalu kereket bunyi dipan kayu yang kembali ke posisi seperti sebelum nenek membebaninya dengan berat tak seberapa. Srek, srek, srek, bunyi sandal jepit nenek menyaruk lantai tanah, lalu, kricik-kricik air dari kiwan, tempat nenek mengambil wudhu.

“Bangun, Nur, Subuh.”

Lengkap sudah. Begitu pagi datang dengan caranya di duniaku, pada dusun kecil di mana di salah satu rumahnya yang lusuh aku ada tinggal bersama nenek. Aku menggeliat dan kantukku mencoba ‘menawar’ agar sedikit lagi diberi waktu. Ketika kesadaran mulai muncul bahwa pagi telah benar-benar datang, kantukku menanyakan, kenapa malam begitu tergesa-gesa? Ah, malam seharusnya damai dan tenang.

“Nur?”

“Yaaa...?”

“Ayo, ke Langgar,”

“Sebentar, nek...”

“Nur?”

“Ya...?”

“Sudah hampir Iqamah,”

Kantukku mendekapku dengan pelukan hangat dan nikmat pejam yang sangat. Mimpi melambai-lambaikan tangannya lagi, menawarkan banyak hal yang syahdu dan menyenangkan.

“Nur?”

“Yaaa...?"

“Ayo,”

Aku bangkit dengan kantuk yang masih menggayut dan mimpi yang membayangi. Dingin pagi seketika menyergap dari semua pori kulitku yang terbuka. Rasanya ingin menarik selimutku lagi.

“Sudah hampir Iqamah,” kata nenek lagi, “itu, suara theklek Mbah Kaji Sono sudah terdengar,”

“Ya, nek.”

Dingin udara nyaris tak tertahankan, masih harus ditambah dinginnya air yang mengucur dari selang kecil ke gentong di kiwan untuk wudhu. Hal yang membuatku menahan diri lagi di depan gentong berisi air itu. Kericik yang jatuh dari selang kecil yang mengacung di atas gentong seperti memperdengarkan ancaman menggigitnya dingin bila air itu menyiram kulitku, biar itu kulit jari telunjuk.

“Nur?”

Apa boleh buat. Semakin ditahan, nenek akan terus memanggilku. Air benar-benar seperti tusukan seribu jarum tajam di permukaan kulit yang wajib dibasuh dalam wudhu. Hampir tak tertahankan. Lalu setelah dingin itu benar-benar meresap ke dalam pori-pori, aliran darahku barangkali normal kembali. Kesadaranku memenuhi tempatnya lagi dan melenyapkan kantuk yang merajuk sejak tadi.

“Asshadualla ilaaha illallaahu wahdahula syarikalahu, waashaduanna Muhammadan ‘abduhu warrasuuluhu, Allahummaj’alni minattawwabiinawaj’alni minalmutathohhiriina waj’alni min ‘ibadikash shaalihiin...”

Rasanya jauh berbeda dengan beberapa menit sebelumnya. Aku menjadi tergesa-gesa. Sholat Subuh hanya dua rakaat, tertinggal berarti hilang kesempatan berjamaah. Nenek tak bisa berjalan secepat dua atau tiga tahun lalu. Ia semakin lamban sekarang. Ah, mestinya aku tak berlama-lama tadi. Meski tak sampai tiga menit jika berlari, Langgar terasa sangat jauh untuk nenek sekarang ini.

------

Nenek duduk menghadap meja dengan teh pahit kental berteman gula merah di atas lepek kecil. Teh pahit kental yang panas disesapnya, lalu gula merah digigitnya. Kenikmatan pagi yang tiada tara. Ia tak membutuhkan sarapan apa pun kecuali teh pahit kental segelas kaleng hijau loreng dan gula merah.

Setelah teh kental nenek tersaji, aku membersihkan seluruh rumah dan membuat sarapanku sendiri. Terkadang nenek ingin mengerjakan ini atau itu, tapi sekarang aku melarangnya. Aku lebih senang ia duduk manis menikmati teh, daripada membantuku tapi setelahnya ia mengeluhkan pinggang atau dengkulnya yang linu-linu.

“Umurmu berapa, Nur?”

Aku sedih mendengar pertanyaan nenek. Pertanyaan itu sering ia lontarkan, tapi jawabannya tak bisa menghentikannya untuk menanyakan hal itu lagi. Mungkin karena ia sudah gampang lupa, dan tak tahu jika pertanyaan itu menusuk perasaan cucunya.

“Tiga puluh lima, nek,” aku menahan kesedihanku sendiri. Tak apalah, nek. Asal nenek sendiri tak merasa menjadi tua sia-sia karena tak diperhatikan anak cucunya.

“Nasibmu, Ndhuk. Seharusnya kau sedang sibuk membuat sarapan untuk suami dan anak-anakmu sekarang ini,” kata nenek sembari menggigit gula merah untuk ke sekian.

Semangat pagiku setelah wudhu dan Subuh tadi mengendor oleh sebaris kalimat nenek yang menyentuh tempat paling sensitif dalam hatiku, yang semakin sensitif dari waktu ke waktu karena umurku terus melaju, sedang jodoh belum juga datang padaku.

“Apa yang kurang dari dirimu, Nur. Kamu cantik, kamu ini cucu nenek yang paling cantik.”

Mungkin saja aku cantik, nek. Mungkin. Kadang aku melihat sedikit kepantasan pada wajahku untuk dikatakan cantik. Tapi mataku juling, nek. Mata adalah hiasan wajah, jika pun aku memiliki garis wajah cantik, tapi sepasang mataku mengaburkannya. Melihat diriku sendiri dalam cermin pun aku segan, apalagi orang lain, dan orang lain itu, laki-laki.

“Hanya sepasang matamu itu saja, Nur. Kalau saja matamu waras seperti anak gadis lain, siapa yang tak suka denganmu. Badanmu bagus, berisi. Kulitmu bersih, dan rambutmu hitam, tebal, lurus, tapi lembut. Kamu juga tak ngorok dan ngiler di waktu tidur. Laki-laki akan senang menjadi suamimu. Kalau saja tak terhalang matamu...,”

Aku diam untuk menekan rasa sedih dalam-dalam, dan mencoba tak mengeluh. Ibarat membendung aliran air, aku menumpukkan apa saja agar air tak mengalir. Untuk beberapa detik aku bisa membendungnya, sampai kemudian aku sadar bahwa aku tak cukup punya banyak hal untuk membendungnya. Maka kesedihan membuat gerakanku mengiris cabai terhenti. Dari mataku air mengalir merambati pipi. Tanpa suara. Tapi tarikan nafasku lalu tersendat air yang juga memenuhi lubang hidungku. Jadilah, tangisan senyapku diketahui nenek.

“Kamu menangis, Nur?”

Aku tak menjawab, karena tak yakin jika suaraku akan terdengar normal seperti sebelum kesedihan membanjiri hatiku.

“Kekuranganmu hanya matamu saja, Nur. Hanya itu. Lelaki tak menganggapmu karena matamu. Tapi aku percaya, Tuhan punya kersa terhadapmu. Mungkin kau perlu berhias,” kata nenek lagi.

Tangis senyapku sedikit mereda, lalu aku mencoba membetulkan suaraku.

“Berhias?” tanyaku. Tapi usai pertanyaan itu, air dari hidung terasa meluncur lagi, sehingga secara spontan aku menariknya kembali dengan tarikan nafas kasar. Tangisku tak terdengar nenek, tapi tak bisa tersembunyi darinya.

“Ya, tapi bukan wajahmu. Bedak pupur bisa membuat segar dan cantik wajahmu, tapi tak bisa membetulkan matamu. Jadi bedak pupur tak cukup untuk berhias bagimu.”

Kata-kata nenek menyudutkan perasaanku. Entah apa maksudnya terus menerus menyebut tentang mataku. Kenapa kau terus menyebut mata pada cucumu yang juling, nek?

“Semalam aku merasa emakmu datang lagi. Ia menuntunmu dan menangis karena wajahmu coreng-moreng arang sehingga teman-temanmu tak mau bermain denganmu. Ia berkata bahwa kamu tak mau membersihkan arang yang mencorengi mukamu. Maka ia memintaku untuk menasihatimu agar mau membersihkan wajahmu. Aku menuruti emakmu, tapi kau keras kepala.”

“Nenek mimpi?”

“Ya, aku terkejut dan bangun. Aku melihatmu tidur pulas dan aku merasa sedih melihatmu setua itu belum juga berjodoh.”

Ngilu rasanya mendengar ucapan nenek. Setua ini tapi belum juga berjodoh. Akankah aku berjodoh?

“Sejak mungkin dua tahun lalu, emakmu beberapa kali datang dalam mimpi dengan cara yang sama, menuntunmu, dan wajahmu penuh coreng moreng. Aku gelisah memikirkannya, baru tadi pagi aku sedikit paham setelah aku berbincang sebentar dengan Mbah Kaji Sono tentang mimpi itu. Dia prihatin juga denganmu, Nur.”

Suara hiruk-pikuk anak-anak yang berangkat sekolah mewarnai pagi yang sudah terang benderang. Bunyi induk ayam momong anak-anaknya yang menciap-ciap menjadi irama peningkahnya. Tapi di dalam rumah lusuh ini sunyi saja. Hanya sesekali pisau yang menghantam telenan dari gerakanku mengiris-iris cabai, bawang merah dan bawang putih.

“Kata Mbah Sono, anak gadis punya kecantikan lahir dan kecantikan batin. Kecantikan lahir adalah cantiknya wajah. Biar semakin cantik, anak gadis berhias dengan bedak pupur. Kecantikan batin adalah akhlak, kesopanan, perkataan halus, kejujuran, dan keimanan. Jika seorang gadis tak cantik wajahnya, ia masih bisa menutupinya dengan kecantikan batinnya. Aku percaya batinmu cantik, tapi mungkin kau kurang berhias untuk batinmu.”

“Apa maksud nenek?”

“Waktu Subuh, Nur. Seharusnya di umur tiga puluh lima, kau tak perlu harus dibangunkan berkali-kali. Sholat malam dan Sholat Subuh adalah bedak pupur yang belum kau gunakan untuk berhias.”

“Aku kan Sholat Subuh, nek?”

“Ya, tapi apakah selama ini kau akan bangun Subuh jika aku tak ada? Berhiaslah karena kamu ingin, bukan karena disuruh.”

Aku berhenti mengiris lagi. Aku ingin melayangkan protes, tapi hati kecilku terlanjur membenarkan ucapan nenek, jadi keinginan itu menguap.

“Memang anak gadis tak bisa lain selain menunggu, dan laki-lakilah yang harus datang. Tapi bukan berarti anak gadis hanya menunggu saja, kau harus bersiap dan berhias, karena kedatangannya adalah sewaktu-waktu.”

“Benarkah akan datang jodoh untukku, nek?”

“Nah, jadi benar kenapa wajahmu coreng moreng. Kamu berputus harapan. Itu sama dengan mencoreng wajahmu sendiri. Sudah kubilang berhiaslah, agar kau pantas berharap. Semoga yang datang adalah laki-laki yang melihat kecantikan batinmu yang kamu hias.”

Oh, kapankah itu akan terjadi. Seorang laki-laki datang, menyunting gadis tua bermata juling ini. Jika benar-benar datang, tentulah itu sebuah keajaiban. Ah, yang ajaib ternyata bukan hanya tentang hal-hal aneh di luar akal, datangnya jodoh adalah keajaiban bagi gadis tua dengan sepasang mata juling sepertiku.

“Berhias ya, Ndhuk. Kata Mbah Kaji Sono, itu juga cara untuk merayu Gusti Allah agar Dia kesengsem dan segera mengirimkan jodoh untukmu. Katanya, Gusti Allah senang dengan yang cantik-cantik.”

Aku tak tahu bagaimana caranya berjanji kepada nenek untuk berhias. Bangun Subuh begitu beratnya. Subuh adalah saat di mana tidur sedang mencapai puncak kenikmatannya. Di umur tiga puluh lima, sebagai seorang gadis, sebagai seorang perempuan, aku masih harus dibangunkan berkali-kali. Karena itukah wajahku coreng moreng? Karena itukah maka belum seorang laki-laki datang?

“Sebelum aku mati, aku ingin melihatmu rabi dan anak-anak,” kata nenek sembari bangkit untuk mengambil kotak sirihnya.

Aku diam, dan, ingin berjanji.

......

Kisah selanjutnya : Perawan Si Pelayan

Kiwan              : Bilik mandi / tempat mencuci di belakang atau samping rumah

Langgar           : Mushola

Iqamah            : Tanda dimulainya sholat berjamaah

Theklek            : Terompah, Bakiak, Sandal dari kayu

Kersa               : Kehendak

Telenan           : Papan kayu persegi untuk mengiris sayuran atau bumbu dapur

Rabi                 : Menikah

Anak-anak       : Melahirkan anak

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun