Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Nur] #2 Perawan Si Pelayan

16 Desember 2015   14:11 Diperbarui: 16 Desember 2015   21:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi

Pagi, bagi perempuan-perempuan yang bekerja di toko-toko sepanjang Pecinan seperti beberapa perempuan warga dusun Sampang adalah waktu yang sangat sibuk. Dalam rentang waktu sejak mereka bangun di Subuh buta, sampai tiba waktu bagi mereka untuk berangkat bekerja yang hanya kurang dari tiga jam lamanya, mereka harus menyelesaikan bermacam pekerjaan. Dari mencuci tumpukan pakaian, menyiapkan sarapan sekaligus makan siang, hingga segala urusan anak-anak. Sehari penuh mereka akan meninggalkan rumah, jadi semua pekerjaan di rumah harus selesai ketika mereka berangkat.

Di antara mereka hanya Nur Saidah saja – satu-satunya perawan ‘berumur’ di dusun Sampang – yang waktu paginya barangkali tak sepanik kawan-kawannya yang sudah beranak suami. Meski ketika ia berangkat, rumah harus bersih, makanan untuk nenek harus tersedia di meja, sudah bersarapan sekaligus membawa nasi untuk bekal, tapi ia tak disibukkan dan diributkan dengan segala tetek bengek urusan anak-anak.

“Kamu sih enak, Nur, tak diributkan urusan anak sekolah, anak nangis, pakaian kotor bertumpuk, rumah yang awut-awutan,” kata Danisih dalam perjalanan mereka menyusuri jalan kricak keluar dari dusun mereka.

Nur Saidah tak serta merta menyahut, karena kata-kata Danisih justru menimbulkan pertanyaan dalam hatinya, kenapa Danisih iri padanya. Apa ia senang dengan keadaan seperti aku? Pikirnya. Kalau saja kamu tahu betapa sepi dan sunyinya hidupku. Betapa aku merindukan kehidupan yang sempurna seperti kehidupanmu. Ada anak-anak, ada suami. Ada cinta.

“Hidupmu lengkap, Yu Dani. Hidupku sepi dan ngelangut,” kata Nur. “Aku membayangkan punya pagi seperti kalian yang meriah dan menyenangkan.”

Danisih kecele dan merasa bersalah pada Nur. Ia hanya ingin mengeluhkan waktu paginya yang menguras energi, menguras kesabaran, mengaduk-aduk emosi sedemikian kalut dan melelahkan. Tapi rupa-rupanya keluhan itu sepertinya justru menyentuh perasaan paling peka dalam diri Nur.

“Maaf, Nur.”

“Tak apa, Yu. Hidup ini sawang sinawang. Yu Dani melihat pagi hariku santai, tapi aku melihat malam hari Yu Dani semarak,” kata-kata Nur membuat efek mulut terkatup secara spontan pada Danisih.

Sedikitnya Danisih merasa malu ketika kemudian ada setitik kesadaran tentang perasaan kurang bersyukur. Pagi hari memang repot, dan sungguh repot baginya. Sarapan harus siap pada jam enam karena anak-anak berangkat sekolah pagi dan suaminya berangkat ke proyek sebagai tukang batu di waktu yang sama. Rumah harus bersih dan pakaian kotor harus tercuci dan terjemur ketika ia berangkat. Belum lagi keributan anak-anak yang menjadi persoalan lain lagi pada pagi hari. Tapi benar kata Nur, itulah kesemarakan, yang mana Nur tak memilikinya. Apa aku juga pasti akan merasa begitu jika nasibku sama seperti Nur, sudah lewat usia tapi belum seorang laki-laki ingin meminangnya? Ngelangut Danisih memikirkannya.

Berbicara dengan Nur memang selalu memberi nuansa berbeda pada diri Danisih. Selalu membuatnya berpikir lagi dan lagi. Nur kalau berbicara sedikit, terkesan merendah dan berhati-hati. Berbeda jika ia berbicara dengan yang lain. Keluhan tentang pagi akan mendapat tandingan yang kadang jauh lebih seru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun