Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

[Nur] #1 'Semanis' Teh Pahit

14 Desember 2015   10:05 Diperbarui: 16 Desember 2015   21:58 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya jauh berbeda dengan beberapa menit sebelumnya. Aku menjadi tergesa-gesa. Sholat Subuh hanya dua rakaat, tertinggal berarti hilang kesempatan berjamaah. Nenek tak bisa berjalan secepat dua atau tiga tahun lalu. Ia semakin lamban sekarang. Ah, mestinya aku tak berlama-lama tadi. Meski tak sampai tiga menit jika berlari, Langgar terasa sangat jauh untuk nenek sekarang ini.

------

Nenek duduk menghadap meja dengan teh pahit kental berteman gula merah di atas lepek kecil. Teh pahit kental yang panas disesapnya, lalu gula merah digigitnya. Kenikmatan pagi yang tiada tara. Ia tak membutuhkan sarapan apa pun kecuali teh pahit kental segelas kaleng hijau loreng dan gula merah.

Setelah teh kental nenek tersaji, aku membersihkan seluruh rumah dan membuat sarapanku sendiri. Terkadang nenek ingin mengerjakan ini atau itu, tapi sekarang aku melarangnya. Aku lebih senang ia duduk manis menikmati teh, daripada membantuku tapi setelahnya ia mengeluhkan pinggang atau dengkulnya yang linu-linu.

“Umurmu berapa, Nur?”

Aku sedih mendengar pertanyaan nenek. Pertanyaan itu sering ia lontarkan, tapi jawabannya tak bisa menghentikannya untuk menanyakan hal itu lagi. Mungkin karena ia sudah gampang lupa, dan tak tahu jika pertanyaan itu menusuk perasaan cucunya.

“Tiga puluh lima, nek,” aku menahan kesedihanku sendiri. Tak apalah, nek. Asal nenek sendiri tak merasa menjadi tua sia-sia karena tak diperhatikan anak cucunya.

“Nasibmu, Ndhuk. Seharusnya kau sedang sibuk membuat sarapan untuk suami dan anak-anakmu sekarang ini,” kata nenek sembari menggigit gula merah untuk ke sekian.

Semangat pagiku setelah wudhu dan Subuh tadi mengendor oleh sebaris kalimat nenek yang menyentuh tempat paling sensitif dalam hatiku, yang semakin sensitif dari waktu ke waktu karena umurku terus melaju, sedang jodoh belum juga datang padaku.

“Apa yang kurang dari dirimu, Nur. Kamu cantik, kamu ini cucu nenek yang paling cantik.”

Mungkin saja aku cantik, nek. Mungkin. Kadang aku melihat sedikit kepantasan pada wajahku untuk dikatakan cantik. Tapi mataku juling, nek. Mata adalah hiasan wajah, jika pun aku memiliki garis wajah cantik, tapi sepasang mataku mengaburkannya. Melihat diriku sendiri dalam cermin pun aku segan, apalagi orang lain, dan orang lain itu, laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun