Versi Bahasa Indonesia
Disclaimer:
Cerita ini adalah karya fiksi penggemar (fanfiction) yang terinspirasi dari karakter dan konsep dalam Marvel Cinematic Universe (MCU), milik Marvel Studios dan Disney. Kisah ini berlatar waktu setelah peristiwa di film Doctor Strange: Multiverse of Madness dan Deadpool & Wolverine, serta serial TV WandaVision, She-Hulk: Attorney At Law, dan Daredevil: Born Again.
Saya tidak memiliki hak atas karakter seperti Jennifer Walters/She-Hulk, Wong, America Chavez, Wanda Maximoff/Scarlet Witch, Doctor Bong, Bruce Banner/Hulk, Matt Murdock/Daredevil, Foggy Nelson, Karen Page, Nikki Ramos, Mallory Brooke, Deadpool maupun elemen TVA dan multijagat. Semua karakter orisinal (Agent Praxis, Judge Vignya, Gurges Gigas, dan saya sang penulis) merupakan ciptaan saya sendiri. Karya ini dibuat murni untuk hiburan pribadi dan komunitas, tanpa tujuan komersial. Untuk kolaborasi, silakan hubungi: [adityanperdana@gmail.com]
*****
Suara tarikan dan hembusan napas berat She-Hulk terdengar di antara deretan rak tua di perpustakaan TVA. Ekspresi wajahnya serius menatap lurus sang lawan, Doctor Bong. Dalam hitungan detik, She-Hulk bergerak menyerang, berlari dan melompat ke arah Bong. Kepalan tangan hijaunya sudah siap mendarat telak di wajah si kepala lonceng.
Doctor Bong, ekspresi tenang tak bergeming, hanya memperhatikan gerakan She-Hulk dengan seksama. Tangan kanannya perlahan diangkat mendekati kepala loncengnya. Ketika waktunya tepat, Doctor Bong memecah udara dengan dentingan keras helm loncengnya, seperti gong maut yang mengguncang jiwa.
Sekejap, cahaya menyilaukan menyambar wajah She-Hulk, membuyarkan fokus dan penglihatannya. “Inilah hidupmu seharusnya…”, suara dingin Bong bergema, sebelum dunia di sekitarnya berputar liar. She-Hulk terseret masuk ke dalam pusaran gelap bak ditelan lubang hitam. “ADA APA INIIIIII…?!!”, teriakan She-Hulk yang perlahan menghilang.
Seketika, She-Hulk, dalam wujud Jen, mendapati dirinya berada di kursi pengemudi mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Di sampingnya, Bruce Banner duduk dengan raut wajah tersenyum, seolah sedang mendengarkan ocehan Jen. Tangan kanan Bruce, yang terbakar akibat menggunakan Infinity Gauntlet (lihat Avengers: Endgame), masih menggunakan arm sling berwarna biru gelap.
Momen ini adalah sesaat sebelum kecelakaan yang menimpa Jen dan Bruce. Jen membanting setir untuk menghindar dari pesawat luar angkasa yang tiba-tiba muncul menghalangi laju kendaraan. Akibatnya, mobil terpelanting keluar jalan dan jatuh ke bawah tebing. Bruce terluka dan berdarah di bagian kepala.
Jen berusaha menyelamatkan sang sepupu dengan menyeretnya keluar dari mobil. Namun, saat melakukan hal itu, darah Bruce tak sengaja terjatuh ke lengan Jen, mengubahnya menjadi She-Hulk. Inilah kisah asal muasal wanita hijau raksasa yang telah mengubah hidup seorang Jen untuk selamanya.
Tapi…kali ini semua berbeda. Kemunculan tiba-tiba pesawat luar angkasa tersebut tidak membuat Jen langsung membanting setir. Sebaliknya, dia berhasil menginjak rem dengan sigap, lalu melaju mundur ke belakang sejauh mungkin. Anehnya, pesawat tersebut tidak mengejar mereka. Tidak ada kecelakaan. Tidak ada DNA Hulk yang tercecer.
Sejak saat itu, hidupnya mengalir normal sebagai seorang pengacara di firma kecil. Setiap pagi, dia menatap cermin, tersenyum tipis, untuk menjalani hari-harinya yang jauh dari kekacauan superhero. Suatu hari, ekspresinya bergetar sejenak, seperti…ada suara ‘dong’ yang jauh. Atau mungkin dia hanya mengalami migrain ringan. Hidup ini terasa damai…terasa…damai.
Hari berganti hari. Di kantor firma hukumnya, Jen kedatangan seorang pengacara tunanetra dari New York, Matthew “Matt” Murdock. Bukan! Matt bukan Daredevil, si Iblis Hell’s Kitchen, yang mengenakan kostum merah-emas. Dia hanya seorang pengacara cerdas dengan senyum hangat. Kali ini…semua berbeda.
Percikan cinta muncul perlahan, yang dimulai dari menghabiskan waktu bersama sambil minum kopi. Bulan berganti bulan, mereka secara rutin bertemu dan…terjadilah hal itu. Lamaran di bawah lampu senja. Jen tanpa sadar meneteskan air mata bahagia. Hidupnya pun kini lengkap.
Pernikahan mereka cukup sederhana. Bertempat di gereja yang dipenuhi wangi bunga. Tamu-tamu yang hadir pun hanya keluarga dan para sahabat. Foggy Nelson, yang seharusnya sudah tewas (lihat Daredevil: Born Again Season 1), terlihat begitu bahagia, dan bersorak sebagai best man. Sedangkan, Karen Page berdiri di sisinya sambil tersenyum lembut, ikut bahagia untuk Matt.
Tahun berganti tahun, Jen melahirkan seorang anak perempuan cantik. Kini, tangisan sang bayi menggantikan keheningan malam. Suatu ketika, Jen yang sedang duduk santai di dapur, kembali mendengar suara ‘dong’. Kali ini, lebih keras, membuat Jen terdiam sejenak di dapur dengan alis berkerut. Dia melanjutkan hari, teralihkan dengan kebahagiaan yang terasa…asing. Atau mungkin karena Jen baru pertama kali menjalaninya saja.
Suatu sore, Jen berdiri di ruang tamu sambil breaking the fourth wall, seperti kebiasaannya. “Kalian nonton, kan?” katanya ke arah “kamera”. Berbeda kali ini…Matt mendekat, bingung. “Kamu sedang apa, Jen?”, nada khawatirnya menusuk. Dari sudut matanya, Jen melihat dirinya sendiri, seperti orang gila yang berbicara sendiri.
Tanpa sadar, dia terduduk di ranjang rumah sakit yang dikelilingi dinding-dinding putih membosankan dan bau obat menyengat. Keluarga dan para sahabat menjenguknya, tapi…Tapi entah kenapa Jen merasa asing dengan mereka. “Kenapa aku ada di rumah sakit? Apa yang terjadi sebenarnya?”, tanya Jen, kebingungan.
‘Dong’, suaranya benar-benar jelas sekarang, mengguncang kepalanya dengan lebih kuat. Jen merintih dan berusaha teriak minta tolong kepada mereka, termasuk Matt sang suami. Tetapi mulutnya hanya bergerak tanpa makna, dan orang-orang hanya keheranan melihatnya. Jen berdiri dari kasurnya, tersungkur ke lantai sambil memegang kepalanya. Suara ‘dong’ tidak hanya jelas, tapi terdengar berkali-kali, membuat Jen marah dan frustrasi.
Dengan tangan gemetar, Jen memukul keras lemari di dalam kamar rawatnya sambil berteriak melepaskan amarah. Sekali pukul, dua kali pukul, dan seterusnya. Kayu pun retak, hancur berkeping-keping, dan serpihan beterbangan. Matanya melebar dan jantungan berdegup kencang. Dia bingung darimana kekuatan ini muncul. Tak peduli, Jen melanjutkan pukulan terkerasnya yang menghancurkan lemari dan tembok yang menahannya.
Suara teriakan terdengar dari kejauhan, beberapa kali. “Jen!!!!....Jen!!!! Hentikaaaaan!!!!”. Suaranya semakin jelas, dan Bam! Di perpustakaan TVA, realitas bengkok. She-Hulk meraung, tinjunya menghantam Deadpool dengan kekuatan mengerikan. Darah muncrat dari hidungnya, tulang tangan patah dengan bunyi “krek” yang mengerikan. She-Hulk tanpa ragu menarik putus kaki kanan Deapool.
Suasana di perpustakaan TVA benar-benar kacau. Rak-rak roboh, buku-buku terbang, debu menyelimuti udara, dan agen-agen TVA berlarian. Ini bukan She-Hulk yang ceria. Ini adalah monster yang dilahirkan dari keputusasaan. Amarah membakar matanya yang hijau. Ketakutan bercampur adrenalin memenuhi ruangan. Suara retakan kayu bercampur jeritan.
Wong bergerak cepat, tangannya memanggil dimensi cermin untuk terbuka. Wong, dengan bantuan dari America, berhasil menarik She-Hulk masuk ke dalamnya sebelum kehancuran bertambah parah. “Wong, Jen kenapa sih? Dari pertama lawan Bong, dia bertingkah aneh dan sekarang ini?”, tanya America.
Wong dengan ragu menjawab, “Entahlah, tapi saya duga Jen sedang tidak ada di realita ini. Pikirannya...”. Masih bingung, America bertanya, “Maksudnya?”. “Bong sudah membawa pikiran Jen ke dimensi lain, berada di balik tirai realita yang berbeda. Ini bukan hanya ilusi atau manipulasi pikiran biasa”, jelas Wong. “Bong mungkin berada di dimensi itu. Kalau saja kita bisa menemukannya…”, kata Wong sambil melirik ke America.
“Apa? Kamu pikir aku bisa pergi ke dimensi itu dengan tinjuku?”, America memastikan maksud tatapan Wong. Sang Sorcerer Supreme hanya mengangguk sambil tetap berusaha menghindari dari serangan She-Hulk. “Cepat, America!”, desak Wong.
America melangkah maju, tegas menggenggam tinjunya. “Kalau benar Bong beneran ada di dimensi lain, aku akan menemukannya!” gumamnya. Dengan satu pukulan keras, cahaya meledak dari tinjunya. Portal pun terbuka, menembus lapisan realitas.
America belum bisa menemukan Doctor Bong. “Wong, aku ga lihat dia di mana-mana?”, teriak America. Tiba-tiba, terdengar suara ‘dong’ yang lembut tapi cukup jelas. Wong dan America mendengarkan dengan seksama. “Kamu dengar itu?”, tanya Wong ke America yang hanya mengangguk.
“Fokus pada suara itu. Bong pasti di sana”, Wong memberikan arahan. Sekali lagi, America memusatkan tinju dan pikirannya pada suara ‘dong’ tersebut. Sementara itu, She-Hulk berhasil lepas dari ikatan tali sihir Wong dan menghantamnya hingga terpental.
America membuka portal dimensi dan terlihat siluet di balik kabut. America masuk ke dalam portal, mengejar siluet tersebut. Di belakangnya, She-Hulk menyusul dengan wajah beringas. Sebelum akhirnya She-Hulk menghajar America, kepalan tinju gadis bintang ini sukses meluluhlantakkan helm lonceng Doctor Bong. Retakannya menyebar dan Bong roboh dengan erangan pelan. She-Hulk menghentikan pukulannya. “America?”, ucapnya dengan wajah terkejut.
She-Hulk terduduk di lantai cermin dengan napas terengah-engah. Air mata mengalir di pipinya yang hijau memudar. “Aku… bersyukur ketemu kalian lagi,” bisiknya, suara parau penuh kelegaan. Realita berlapis runtuh, meninggalkan Bong terkapar dan kalah. She-Hulk dan tim menatapnya dengan penuh curiga pada Praxis. Tapi bukti lenyap bersama ilusi.
Hanya satu hari menjelang sidang, She-Hulk dan tim memilih mundur ke Earth-616 untuk menyusun strategi. Deadpool terpaksa kembali ke semestanya, karena terluka parah. “Jen? Tadi aku cuma ngalah loh ya. Kali ini, aku harus skip dulu, deh. Semoga sukses, pecundang!”, Deadpool mengoceh dengan gaya khasnya. Colossus datang membopongnya pulang.
Agent Praxis, di ruang kerja nyamannya, memantau perkembangan upaya sia-sianya untuk menggagalkan She-Hulk dan tim. Ekspresinya kesal bukan main, tidak hanya karena kegagalan tersebut, melainkan juga karena mereka sudah mengetahui rahasia Wanda-838 sebagai Anchor Being. Hanya tersisa momen sidang keesokan harinya. Momen penentuan.
Pada malam hari itu, setiap orang yang akan terlibat dalam sidang lanjutan Wanda tidak bisa tidur tenang. She-Hulk bersama Wong dan America terlihat berdiskusi panjang untuk mempersiapkan senjata pamungkas. Agent Praxis diam-diam melihat foto mendiang anak dan istrinya yang menjadi korban serangan Gurges Gigas.
Di sisi lain, Judge Vignya sedang mempelajari dokumen-dokumen sidang. Namun, sesekali pandangannya teralihkan oleh berkas dokumen berlabel Redacted di atas meja kerjanya. Dia menyentuhnya seakan dokumen itu punya arti penting atau dekat baginya. Lalu, memasang kembali fokusnya.
Detik berlalu. Menit berlalu. Jam berlalu. Tiba waktunya. Hari sidang. Hari penentuan.
Di hari sidang, udara terasa berat. Agent Praxis yang biasanya teguh, kini terlihat gugup. Keringat mengalir di dahinya. Di mimbar sidang, Judge Vignya menatap tajam ke arah Praxis. She-Hulk dan Wanda-838 masuk ke dalam ruang sidang dan duduk di kursi terdakwa. Sementara itu, Wong dan America serta si kembar Maximoff duduk di kursi hadirin.
Sidang berlangsung panjang. Kedua pihak melontarkan fakta dan argumen masing-masing yang bisa dibilang hampir sama kuatnya. Kali ini, setiap gesekan sidang selalu dapat diarahkan dengan baik oleh Judge Vignya. Persidangan berlangsung dengan tertib…sejauh ini.
She-Hulk melangkah maju, memaparkan fakta yang tidak bisa dibantah dengan suara mantap. “Yang Mulia, Wanda-838 adalah Anchor Being. Memberinya hukuman penghapusan eksistensi sama saja dengan membunuhnya. Ini akan menghancurkan Earth-838, cepat atau lambat”.
“Selain itu, video ‘bukti’ Agent Praxis mengenai Wanda di persidangan sebelumnya? Itu palsu! Kami bisa membuktikannya”. She-Hulk memanggil seseorang dari kursi hadirin. “Daisy Johnson akan menjelaskan aspek teknisnya, Yang Mulia”.
Daisy, salah satu inhuman leader di SHIELD dan SWORD yang juga ahli TI, pernah meminta Jen/She-Hulk sebagai legal counsel beberapa tahun lalu. Sekarang, giliran Daisy yang membalas budi She-Hulk.
Daisy memasang video original yang dibandingkan dengan video hasil editan, sambil menjelaskan letak perbedaan dan bagaimana hal tersebut dapat dilakukan. “Saya bahkan bisa melacak siapa yang melakukan perubahan tersebut”. Voila! Pelakunya adalah Agent Praxis!.
Pernyataan dan bukti dari She-Hulk dan Daisy menguncang ruang sidang, terutama Agent Praxis. Sekilas, bayangan Gurges Gigas melintas di pikiran Praxis. Pusaran maut, keluarga yang tercabut. Wajahnya pucat, suaranya gemetar, berbisik sendiri, “Aku…tidak boleh mengulang kesalahan yang sama”.
Judge Vignya menertibkan ruang sidang dan meminta para agen TVA untuk mengecek kebenarannya. Dan…terbukti!!. Judge Vignya, dengan wajah kecewa dan marah, mengungkapkan, “Praxis, bukan begini cara untuk menyelamatkan multisemesta. TVA…”.
Kalap, Agent Praxis memotong perkataan sang hakim, “Yang Mulia, Anda sudah tahu kalau di luar sana ada mahkluk kosmik bernama Gurges Gigas. Bahkan, TVA saja tidak tahu keberadaannya. Dia bisa menjadi siapa saja. Saya tahu. Saya pernah mengalaminya. Satu semesta musnah karenanya. Tidak boleh berulang lagi!”.
She-Hulk meminta penjelasan, “Gurges Gigas? Siapa dia?”. Agent Praxis menoleh ke arah She-Hulk dan hanya bilang, “Mimpi burukmu. Mimpi buruk semua orang. Kita harus hentikan Wanda!” Agent Praxis semakin tidak terkendali.
Judge Vignya memanggil para Minutemen, lalu berkata, “Kamu sudah jadi kaki tangan Gurges tanpa sadar, Praxis! Yang kamu lakukan, ini justru bisa menghancurkan semesta! Kamu sudah mencoreng nama TVA. Tangkap dia!”.
Praxis tersentak, matanya kosong, tak melawan saat Minutemen menyeretnya ke luar ruang sidang. Seolah tersadar bahwa tindakannya justru tidak berbeda dari Gurges Gigas. “Wanda bukan Gurges Gigas”, tegas Judge Vignya.
Tak lama kemudian, Judge Vignya menyampaikan hasil persidangan yang menyatakan bahwa Wanda-838 tidak bersalah. Wanda-838 pun berdiri, senyum tipis menghias wajahnya yang lelah. She-Hulk memeluknya. Wong, America, dan si kembar Maximoff menyusul mereka.
Setelah semua berakhir, She-Hulk, Wong, dan America kembali ke Earth-616. Tapi tidak sebelum mereka mengantarkan kepulangan Wanda dan anak-anaknya ke Earth-838. Di kantor kecilnya, She-Hulk, yang kembali ke wujud Jen, memeluk Nikki dan Mallory erat.
Air mata mengalir, tapi senyumnya tulus, penuh rasa syukur. Dalam hati, dia berbisik, “Jadi ini yang kamu maksud dengan makna hidup, K.E.V.?” Dia tersenyum lembut, merasa utuh di antara sahabatnya. Wong dan America berpamitan tidak lama kemudian. Mereka kembali ke Kamar-Taj.
*****
Di sel penjara TVA, cahaya redup berkedip, udara terasa dingin menyengat. Agent Praxis duduk meringkuk dengan tatapan kosong. Tiba-tiba, sudut sel bergetar. Sosok gelap dengan aura merah-oranye-biru muncul. Matanya membelalak, “Tidak…”.
Sebelum dia sempat berteriak, sebuah blip menusuk keheningan, seperti suara kosmos yang terputus. Sel itu kosong dan menyisakan hanya denting rantai yang bergema pelan, meninggalkan rasa ngeri yang merayap di tulang punggung. Seolah dunia memutar halaman baru tanpa jejaknya.
Agent Praxis tidak...akan kembali ke Marvel Universe.
(Tamat)
-----
English Version
Disclaimer:
This story is a work of fanfiction inspired by characters and concepts from the Marvel Cinematic Universe (MCU), owned by Marvel Studios and Disney. It is set after the events of Doctor Strange in the Multiverse of Madness and Deadpool & Wolverine, as well as the TV series WandaVision, She-Hulk: Attorney at Law, and Daredevil: Born Again.
I do not own characters such as Jennifer Walters/She-Hulk, Wong, America Chavez, Wanda Maximoff/Scarlet Witch, Doctor Bong, Bruce Banner/Hulk, Matt Murdock/Daredevil, Daisy Johnson/Quake, Foggy Nelson, Karen Page, Nikki Ramos, Mallory Brooke, Deadpool, Colossus or elements of the TVA and multiverse. All original characters (Agent Praxis, Judge Vignya, Gurges Gigas, and myself as the writer) are my own creations. This work is made purely for personal entertainment and the community, with no commercial intent. For collaboration, please contact: [adityanperdana@gmail.com]
*****
The heavy breaths of She-Hulk echoed through the ancient racks of the TVA library. Her expression stern as she locked eyes with her opponent, Doctor Bong. In a split second, she charged, leaping toward him with a powerful stride. Her green fist was poised to land a crushing blow on the bell-headed villain’s face.
Doctor Bong remained eerily calm. His gaze steady as he observed her every move. Slowly, he raised his right hand toward his bell helmet. At the perfect moment, he shattered the air with a deafening clang, a deathly gong that shook the soul.
A blinding light struck She-Hulk’s face, shattering her focus and vision. “This is the life you should have…” Bong’s cold voice reverberated before the world around her spun wildly. She was dragged into a dark vortex, as if swallowed by a black hole. “WHAT’S HAPPENING?!?!” her scream faded into the void.
Suddenly, She-Hulk, now in her human form as Jen, found herself in the driver’s seat of a moving car. Beside her, Bruce Banner sat with a faint smile, seemingly listening to her chatter. His right arm, scarred from wielding the Infinity Gauntlet (see Avengers: Endgame), was still wrapped in a dark blue sling.
This was the moment just before the accident that changed her life. Jen swerved the wheel to avoid a spaceship that materialized out of nowhere and blocking their path. The car veered off the road, then tumbling down a cliff. Bruce was injured, blood trickling from his head.
Jen struggled to save her cousin, dragging him from the wreckage. In the process, Bruce’s blood accidentally spilled onto her arm, transforming her into She-Hulk, the origin story of the green giantess that forever altered Jen’s destiny.
But this time, everything was different. The sudden appearance of the spaceship didn’t force Jen to swerve instinctively. Instead, she slammed the brakes with precision, then reversed as far as possible. Strangely, the spaceship didn’t pursue them. No crash occurred. No Hulk DNA scattered.
From that day, her life flowed normally as a lawyer at a small firm. Each morning, she gazed into the mirror, offering a thin smile as she faced a day free from superhero chaos. One day, her expression flickered. A distant “dong” echoed in her mind, or maybe it was just a mild migraine. This life felt peaceful… so peaceful.
Days turned to weeks. At her law firm, Jen met a blind lawyer from New York, Matthew “Matt” Murdock. No! Not the Daredevil, the Devil of Hell’s Kitchen, in his red-and-gold suit. This time, he was just a clever lawyer with a warm smile. Everything was different.
Sparks of love ignited slowly, starting from coffee breaks chatters, and culminating in a proposal under the evening’s glow. Jen shed tears of joy, her life now complete.
Their wedding was modest. It was held in a church filled with the scent of flowers. Guests were limited to family and close friends. Foggy Nelson, who should have been dead (see Daredevil: Born Again Season 1), beamed with happiness as best man. While Karen Page stood beside him, smiling softly, sharing in Matt’s joy.
Years passed, and Jen gave birth to a beautiful baby girl. The infant’s cries now filled the silent nights. One evening, as Jen sat quietly in the kitchen, the “dong” returned, louder this time, freezing her in place with a furrowed brow. She brushed it off, distracted by a happiness that felt… alien. Or perhaps it was just her first time experiencing a domestic life.
One afternoon, Jen stood in the living room, breaking the fourth wall as was her habit. “You’re watching, right?” she said toward the “camera.” But this time, Matt approached, puzzled. “What are you doing, Jen?” His worried tone cut through her. From the corner of her eye, she saw herself, like a madwoman talking to no one.
Unbeknownst to her, she found herself slumped on a hospital bed, surrounded by dull white walls and the sharp smell of antiseptic. Family and friends visited, yet… she felt estranged from them. “Why am I in a hospital? What’s really happening?” she muttered, confused.
The “dong” grew clearer, shaking her mind with greater force. She groaned, trying to scream for help from them, including Matt, her husband. But her mouth moved meaninglessly, and the onlookers only stared in bewilderment. Jen stumbled off the bed, collapsing to the floor, clutching her head. The “dong” wasn’t just clear. It repeated, fueling her rage and frustration.
With trembling hands, she slammed her fist into a cabinet in the hospital room, unleashing her anger with a scream. Once, twice, and more. The wood splintered, shattering into pieces, debris flying. Her eyes widened and her heart pounding. Where did this strength come from? Ignoring it, she delivered a final, devastating blow, reducing the cabinet and the wall behind it to rubble.
Screams echoed from afar, growing louder. “Jen!!!!... Jen!!!! Stop!!!!” The voice sharpened, and—Bam! In the TVA library, reality warped. She-Hulk roared, her fist crashing into Deadpool with terrifying force. Blood sprayed from his nose and his arm bone snapping with a sickening “crack.” Without hesitation, she tore off his right leg.
Chaos engulfed the TVA library. Shelves toppled, books soared, dust clouded the air, and TVA agents scattered in panic. This wasn’t the cheerful She-Hulk. This was a monster born of despair. Her green eyes blazing with fury. Fear mingled with adrenaline, the sound of splintering wood blending with cries.
Wong moved swiftly, his hands conjuring a mirror dimension to open. With America’s help, they dragged She-Hulk inside before the destruction worsened. “Wong, what’s wrong with Jen? She’s been acting strange since the fight with Bong, and now this?” America asked.
Wong hesitated. “I don’t know, but I suspect Jen isn’t in this reality—her mind is elsewhere.” Confused, America pressed, “What do you mean?”. “Bong has pulled Jen’s mind into another dimension, behind a different reality’s veil. This isn’t just an illusion or typical mind trick,” Wong explained. “Bong might be there. If only we could find him…” he glanced at America.
“What? You think I can punch my way into that dimension?” America confirmed, catching his intent. Wong nodded, dodging She-Hulk’s attacks. “Quick, America!”
America stepped forward, gripping her fist with resolve. “If Bong’s really in another dimension, I’ll find him!” she muttered. With a powerful strike, light exploded from her fist, ripping open a portal through reality’s layers.
America couldn’t spot Doctor Bong. “Wong, I don’t see him anywhere!” she shouted. Suddenly, a soft but distinct “dong” rang out. Wong and America listened intently. “Did you hear that?” Wong asked, and America nodded.
“Focus on that sound. Bong must be there,” Wong directed. Once more, America channeled her fist and mind toward the “dong.” Meanwhile, She-Hulk broke free from Wong’s magical binds, hurling him back with a blow.
America opened a dimensional portal, revealing a silhouette amid the mist. She charged in, with She-Hulk’s ferocious face following. Before She-Hulk could strike, America’s fist shattered Doctor Bong’s bell helmet. Cracks spread, and he collapsed with a faint groan. She-Hulk froze mid-attack. “America?” she gasped, shocked.
She-Hulk sank to the mirror dimension’s floor, breathing heavily. Tears streamed down her fading green cheeks. “I… I’m grateful to see you all again,” she whispered, her voice raw with relief. The layered reality crumbled, leaving Bong defeated. The team stared, suspicion lingering on Praxis, though evidence vanished with the illusion.
With only a day until the trial, She-Hulk and her team retreated to Earth-616 to strategize. Deadpool, gravely injured, had to return to his universe. “Jen? I let you win this time, okay? I’m skipping out. Good luck, losers!” he rambled in his signature style as Colossus carried him away.
In his comfortable office, Agent Praxis monitored his failed attempts to thwart She-Hulk’s team. His expression was sour, not just from the defeat, but because they’d uncovered Wanda-838’s secret as an Anchor Being. Only the trial remained. The decisive moment.
That night, everyone involved in Wanda’s upcoming trial struggled to sleep. She-Hulk, Wong, and America held a lengthy discussion, preparing their ultimate strategy. Praxis silently gazed at a photo of his late wife and child, victims of Gurges Gigas’s attack.
Meanwhile, Judge Vignya studied trial documents. Her gaze was occasionally drifting to a redacted file on her desk. She touched it, as if it held personal significance, then refocused.
Seconds ticked by. Minutes passed. Hours slipped away. The trial day arrived. The day of reckoning.
The courtroom air grew heavy. Agent Praxis, usually composed, now sweated profusely, nerves betraying him. Judge Vignya’s sharp gaze fixed on him. She-Hulk and Wanda-838 entered, taking their seats as defendants. While Wong, America, and the Maximoff twins sat among the audience.
The trial dragged on. Both sides presented facts and arguments of nearly equal strength, deftly guided by Judge Vignya’s firm hand. The proceedings remained orderly… so far.
She-Hulk stepped forward, delivering an undeniable truth with a steady voice. “Your Honor, Wanda-838 is an Anchor Being. Executing her would be virtually the same as to murder her, dooming Earth-838, sooner or later.”
“Moreover, the ‘evidence’ video from Agent Praxis’s previous hearing? It’s fake! We can prove it.” She-Hulk called someone from the audience. “Daisy Johnson will explain the technical details, Your Honor.”
Daisy, an Inhuman leader from SHIELD and SWORD, a tech expert who once hired Jen/She-Hulk as legal counsel years ago, now returned the favor.
Daisy displayed the original video alongside the edited version, highlighting differences and explaining the manipulation. “I can even trace who altered it.” Voila! The culprit was Agent Praxis!
She-Hulk and Daisy’s revelations rocked the courtroom, especially Praxis. A fleeting vision of Gurges Gigas flashed in his mind. A deadly vortex, his family torn away. His face paled, his voice trembling as he muttered, “I… I can’t repeat the same mistake.”
Judge Vignya restored order, ordering TVA agents to verify the claims. And… it was true! With a disappointed and angry expression, she declared, “Praxis, this isn’t how you save the multiverse, TVA…”
Frantic, Praxis interrupted, “Your Honor, you know there’s a cosmic entity out there called Gurges Gigas! Even TVA doesn’t know where it is. It could be anyone. I’ve seen it. One universe was destroyed because of it. It can’t happen again!”
She-Hulk demanded clarification, “Gurges Gigas? Who is that?” Praxis turned to her, whispering, “Your nightmare. Everyone’s nightmare. We must stop Wanda!” His outburst grew uncontrollable.
Judge Vignya summoned the Minutemen, stating, “You’ve become Gurges’s pawn without realizing it, Praxis! Your actions could destroy the multiverse! You’ve tarnished TVA’s name. Seize him!”
Praxis froze, his eyes vacant, offering no resistance as the Minutemen dragged him out. As if realizing his actions mirrored Gurges Gigas’s. “Wanda isn’t Gurges Gigas,” Vignya asserted firmly.
Soon after, Judge Vignya announced the verdict: Wanda-838 was innocent. Wanda rose, a weary smile gracing her face. She-Hulk embraced her, followed by Wong, America, and the Maximoff twins.
Afterward, She-Hulk, Wong, and America returned to Earth-616, but not before escorting Wanda and her children back to Earth-838. In her small office, She-Hulk, back as Jen, hugged Nikki and Mallory tightly.
Tears flowed, but her smile was genuine, brimming with gratitude. In her heart, she whispered, “So this is what you meant by the meaning of life, K.E.V.?” She smiled softly, feeling whole among her friends. Wong and America soon bid farewell, returning to Kamar-Taj.
*****
In the dim, flickering cell of TVA’s prison, the air turned icy. Agent Praxis sat curled up, his gaze empty. Suddenly, the corner of the cell trembled. A dark figure with red-orange-blue aura emerged. His eyes widened, “No…”
Before he could scream, a “blip” pierced the silence, like a cosmic tear. The cell stood empty, only the faint clink of chains echoing, leaving a chilling dread creeping down the spine. As if the world had turned a new page without his trace.
Agent Praxis Will...Not Return to the Marvel Universe...
(End)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI