Kompetisi dengan nominasi lain dari Indonesia (misalnya, rendang atau kebaya) bisa memperlambat prioritas. Namun minim diskusi spesifik tentang UNESCO, tapi kebanggaan terhadap pela sebagai simbol toleransi (misalnya, “Haria-Siri-Sori saudara forever”) mendukung narasi global.
Harapan tinggi untuk pengakuan global, seperti “Pela di Expo Osaka, lanjut ke UNESCO!” menunjukkan optimisme.
Butuh Kampanye dan Dukungan Publik
Mari membangun dukungan publik melalui kampanye di media sosial seperti FB, X dan acara budaya untuk memperkuat legitimasi nominasi.
Contoh seperti kampanye “Kebaya Goes to UNESCO” melibatkan komunitas dan acara massal.
Maka, sudah saatnya gelar festival pela di Saparua, libatkan pemuda untuk konten digital (TikTok, YouTube).
Gunakan narasi Louleha sebagai kisah rekonsiliasi pasca-konflik untuk menarik perhatian global.
Misalnya antusiasme pemuda untuk acara budaya (misalnya, “Pela versi milenial”) bisa dimanfaatkan untuk kampanye viral.
Pelestarian Pascapengakuan
Jika diakui, Indonesia wajib melaporkan upaya pelestarian berkala ke UNESCO, seperti pendidikan pela di sekolah, festival tahunan, atau dokumentasi digital. Contohnya seperti Batik mendapat dukungan pelatihan setelah diakui (2009).
Mari libatkan Kampus kampus seperti Unpatti, IAIN Ambon, dan komunitas diaspora untuk program jangka panjang agar dapat menjaga praktik pela di tengah urbanisasi dan minat pemuda yang menurun seiring perkembangan zaman saat ini.