Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Quality Time di Curug Tomo: Menyatu dengan Alam, Menguatkan Kebersamaan Keluarga

14 September 2025   09:14 Diperbarui: 14 September 2025   09:30 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia itu bisa ditemukan di mana saja (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

"Kebahagiaan tidak selalu harus dicari jauh-jauh. Ia bisa ditemukan di jalan kampung yang sepi, di sapaan warga yang ramah, di udara pegunungan yang segar, dan di setiap tawa keluarga kita"

HARI Minggu bagi keluarga kami selalu menjadi akhir pekan yang selalu dinanti-nantikan. Setelah seminggu penuh dengan rutinitas kerja, hadirnya hari ini terasa seperti jeda yang berharga.

Makanya, hari itulah kesempatan kami bisa benar-benar bersama tanpa gangguan pekerjaan kantor. Saya sendiri bekerja lima hari dalam sepekan atau Senin sampai Jumat, sementara istri enam hari hingga Sabtu.

Biasanya, akhir pekan Sabtu saya melakukan rutinitas di rumah seperti merawat kebun, mengontrol kondisi air kolam ikan, memangkas dahan pohon yang mengitari halaman, hingga memotong rumput pekarangan.

Adapun pada hari Minggu kami sekeluarga mengisi hari-hari dengan hal-hal sederhana bersama-sama, seperti jalan pagi di alun-alun, berbelanja sayur di pasar raya Rangkasbitung, berendam di pemandian air panas, atau sekadar duduk menikmati suasana rumah. Sesekali juga, kami memanfaatkan hari itu untuk menengok anak yang kuliah di luar kota, mengunjungi destinasi wisata pantai dan pegunungan, atau sekadar cari kulineran favorit di dekat tempat tinggal kami. Pokoknya, Minggu adalah hari dimana kami meluangkan waktu hanya untuk keluarga.

Nah, akhir pekan beberapa waktu lalu, saya, istri, dan si bungsu memilih liburan kembali ke alam. Kali ini kami ingin menapaki jalur Gunung Aseupan dan menyambangi Curug Tomo, air terjun yang empat tahun lalu memberi pengalaman berharga di masa pandemi.

Saat itu, ketika dunia terasa sempit dan dibatasi aturan, perjalanan singkat ke Curug Tomo seakan jadi hembusan angin segar. Kini kami kembali, bukan sekadar ingin merasakan segarnya air terjun, tetapi juga untuk bernostalgia, mencari kembali hangatnya kebersamaan yang pernah terjalin di sana. Pengalaman seru saat itu juga saya abadikan lewat artikel di Kompasiana dengan judul "Legenda Curug Tomo, Air Terjun di Desa Ramea"

Gunung Aseupan dan Pesona Curug Tomo

Selamat datang di Kawasan Tomo Lewi Bumi di Desa Ramea Kecamatan Mandalawangi ( Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Selamat datang di Kawasan Tomo Lewi Bumi di Desa Ramea Kecamatan Mandalawangi ( Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Curug Tomo merupakan salah satu destinasi wisata yang terletak di Desa Ramea, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Airnya bersumber dari Puncak Gunung Aseupan, gunung setinggi 1.174 mdpl yang sudah lama tidak aktif yang berada dalam Gugusan Pegunungan "Akarsari", kependekan tiga gunung yakni Aseupan, Karang, dan Pulosari.

Meski tidak menjulang tinggi, Aseupan menyimpan pesona khas antara lain udaranya yang sejuk, panorama indah, dan sejumlah curug - air terjun alami - tersembunyi yang menjadi daya tarik tersendiri.  

Oh, ya, perjalanan menuju curug bisa ditempuh dengan mobil hingga Desa Ramea, lalu dilanjutkan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer. Bagi sebagian orang, jalur ini menantang, namun bagi kami justru di situlah letak keindahannya, dimulai dari berjalan bersama, melewati perkampungan, hingga berkesempatan menyapa warga yang ramah sepanjang perjalanan.

Sepanjang jalan, pemandangan khas pedesaan dan pegunungan terbentang luas, hamparan sawah yang menghijau, pohon-pohon besar menaungi jalan, parit kecil dengan air jernih, dan aroma tanah basah yang masih tercium lantaran selepas hujan semalam.

Sesekali kami berpapasan dengan warga setempat, ada yang memanggul kayu bakar, membawa hasil kebun, memandu kerbau, atau sekadar berjalan santai sambil menyapa. Sederhana saja, "Bade ka mana, Pak?" diiringi senyum tulus, membuat langkah kami terasa ringan.

Di sepanjang perjalanan menuju lokasi air terjun nampaknya sekarang jalan kampung sebagian sudah beraspal, sebagian lagi dipasang paving blok, cukup nyaman dilalui meski naik turun.

Si bungsu dan ibunya, sepanjang jalan nampak terlihat begitu riang. Sesekali sang anak berlari di depan sambil menunjuk bukit atau kebun yang menarik perhatian. Ditambah lagi, suara ayam berkokok dari pekarangan rumah, tawa anak-anak desa yang berlari tanpa alas kaki, dan pemandangan petani membajak sawah menambah rasa syukur dalam hati.

Akhirnya kami tiba di Curug Tomo tepatnya di Kampung Cikupa, yang oleh warga setempat lebih akrab disebut "Curug Tomo Leuwi Bumi". Dari jarak yang tak terlalu jauh, suara gemericik air terdengar samar, bertanda bahwa air terjun sebentar lagi menyapa.

Menikmati Air Terjun, Panggung Bahagia Keluarga


Begitu sampai, pemandangan yang terbentang seolah menuntaskan rasa penasaran. Air terjun menjatuhkan diri dari tebing berundak yang tidak terlalu tinggi, menabrak bebatuan, lalu mengalir membentuk kolam alami yang jernih. Udara terasa dingin, lembap, dan segar. Pepohonan rimbun di sekitarnya membuat suasana seolah terputus dari dunia luar.

Si bungsu langsung berlari ke tepian air, menceburkan diri dengan tawa riang. Saya dan istri duduk sejenak di batu besar, mengamati sang anak sambil menarik napas panjang. Ada rasa lega melihat si bungsu begitu bahagia, seakan seluruh perjalanan panjang lunas terbayar hanya dengan melihat tawa itu.

Tak lama kemudian, kami ikut bergabung. Airnya begitu dingin, tapi menyegarkan. Kami bermain ciprat-cipratan, mencoba berdiri di bawah derasnya guyuran air terjun, bahkan sekadar berbaring di bebatuan menikmati langit biru di sela dedaunan. Kamera ponsel beberapa kali kami gunakan, namun lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk benar-benar menikmati suasana.

Dari pantauan di lokasi, rupanya ada yang berbeda dari curug ini. Kali ini suasananya jauh lebih tenang dibandingkan kunjungan empat tahun lalu. Dulu, curug ramai pengunjung, penuh pedagang, dan riuh suara manusia. Kini, hanya ada beberapa keluarga lain. Justru sepinya membuat kami lebih leluasa menikmati alam. Seolah-olah Curug Tomo hanya milik kami.

Bekal dari rumah pun kami buka. Nasi hangat dan lauk sederhana terasa luar biasa nikmat ketika disantap bersama di saung tepi curug. Tidak ada meja, hanya hamparan anyaman bambu dan bebatuan besar yang menjadi alas makan. Tidak ada kursi, hanya rumputan yang menemani. Namun rasa kebersamaan itu menjadikan semuanya lengkap.

Namun demikian, Curug Tomo, bagi saya, tetap sama seperti dulu, surga kecil yang tersembunyi di balik gunung. Bedanya, kali ini kenangan lama berpadu dengan kenangan baru, membentuk cerita yang akan kami bawa pulang dengan penuh rasa syukur.

Curug Tomo Leuwi Bumi surga kecil yang tersembunyi di balik Gunung Aseupan (Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Curug Tomo Leuwi Bumi surga kecil yang tersembunyi di balik Gunung Aseupan (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Saat duduk bersama keluarga di tepi curug ini terlintas dalam pikiran, betapa berharganya saat-saat seperti ini. Ya, ternyata alam bukan hanya tempat melepas lelah, tapi juga guru yang mengajarkan banyak hal tentang arti kehidupan.

Anak belajar mencintai lingkungan, merasakan kesunyian, dan menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana. Kami, sebagai orang tua, belajar menjaga, bersabar, dan lebih menghargai waktu bersama.

Pemandangan warga desa semakin meneguhkan pelajaran itu. Ada bapak tua yang membimbing kerbau, ibu-ibu yang pulang membawa hasil panen, dan anak-anak desa yang bermain bebas di pematang sawah. Hidup mereka sederhana, namun wajah-wajah mereka memancarkan kebahagiaan. Dari mereka saya belajar, kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh rumah megah, pakaian mewah, atau makanan mahal. Kebahagiaan justru lahir dari rasa cukup dan syukur atas apa yang kita miliki.

Quality time bersama keluarga di alam ternyata bukan hanya soal liburan, melainkan juga soal membangun kenangan. Anak mungkin akan lupa detail perjalanannya, tetapi mereka akan selalu mengingat rasa itu, seperti tatkala berlari di jalan desa, mandi di air terjun, makan bekal di batu besar, dan senyum tulus warga desa yang mereka temui. Itulah warisan kenangan yang sang anak akan bawa hingga dewasa. Setiap tetes air yang jatuh seakan menyimpan kisah kasih kami diantara tawa, pelukan, rasa syukur, dan kebersamaan yang tak ternilai.

Bahagia itu bisa ditemukan di mana saja (Foto: Dokumentasi Pribadi)***
Bahagia itu bisa ditemukan di mana saja (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

Walhasil, perjalanan singkat ke Curug Tomo memberi kami pelajaran bahwa kebahagiaan tidak selalu harus dicari jauh-jauh. Ia bisa ditemukan di jalan kampung yang sepi, di sapaan warga yang ramah, di udara pegunungan yang segar, dan di setiap tawa keluarga kita.

Nah, bagi siapa pun yang ingin merasakan pengalaman serupa, Curug Tomo adalah salah satu pilihan yang tepat. Selain itu, Mandalawangi juga menyimpan banyak destinasi wisata alam pegunungan lain yang indah, seperti Turalak Leuwi Bumi atau Curug Goong, yang sama-sama menyimpan pesona alami, Pesona Wisata Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun