Mohon tunggu...
Adelia TriEka
Adelia TriEka Mohon Tunggu... Freelancer - Pengelana

Amuk itu adalah Angkara dungu yang gemar memangsa hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ajari Aku Menjadi Dewasa

17 Desember 2019   12:55 Diperbarui: 18 Desember 2019   15:14 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah terbujur kaku bersimbah darah dekat trotoar Jalan Panglima Kusuma. Tubuhnya berceceran tanpa bisa kusatukan kembali serupa saat masih hidup. Dua tangan kusatukan tetapi masih kehilangan bentuk semula, ada bagian yang hilang pada tulang bisep kanan dan Trisep kiri. Begitu juga kaki kanan dan kaki kiri belum benar-benar ditemukan kesempurnaan.

Dari semua bagian tubuh ayah yang hilang itu, ada yang aneh yaitu pada salah satu bagian wajah. Kepala ayah utuh sempurna padahal berada di antara ban mobil truk yang sudah nampak berkarat dimana-mana. Sedangkan mimik wajahnya tersenyum lepas, seolah-olah telah terbebas dari belenggu kerasnya kehidupan.

Kakak hanya menyaksikan semua kejadian dengan puntung rokok, yang ditemukannya diantara salah satu bagian mobil. Supir juga kehilangan bagian tubuh terutama bagian kepala. 

Namun masih baik dari keadaan ayah, dia hanya kehilangan bagian otak saja. Sedangkan yang lainnya masih sempurna seperti sedia kala. Dari pandangan sejarak lima puluh sentimeter, aku melihat adik diam membisu trauma dipinggiran jalan tanpa satupun suara. 

"Borjois, apakah harus aku kumpulkan lagi bagian tubuh ayahmu?" Kata Pak Mardjuki, kepala suku dinas perhubungan komunikasi yang sedang berada di lokasi.

"Ya, jangan kalian bawa ayah sebelum menemukan kesempurnaan."

"Kami tidak bisa melakukan lebih lama lagi, Nak Borjuis!" Kata kepala polisi daerah.

"Sebentar lagi, Pak! Berikan aku waktu beberapa menit lagi."

Pada akhirnya tubuh ayah dibawa polisi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Entahlah, padahal bukankah lebih baik kalau langsung ke rumah dan segera dikuburkan? Namun aku tidak bisa berbuat apapun selain mengikuti prosedur yang harus dijalani. 

Anehnya rumah sakit sedang sepi, padahal biasanya banyak sekali orang-orang datang dan antri di halaman depan rumah sakit.

"Borjois, kemana seluruh keluargamu?"

"Sedang sibuk dengan trauma hari ini, Pak! Sudahlah, ada aku di sini yang akan mengurus ayah."

Setelah beberapa jam menunggu, pada akhirnya jenazah ayah mampu kubawa pulang. Dengan disambut oleh wajah sayu ibu, akhirnya ayah kembali ke rumah kami yang sedikit rusak pada bagian depan, terutama pintu.

Kemudian kakak menghisap kembali rokok yang dia panen saat mencari bagian tubuh ayah tadi. Bayangkan saja saat dia menemukan berbungkus-bungkus rokok dalam mobil, pikiran tiba-tiba hanya fokus untuk mencari rokok dan tentunya lintingan tembakau lain yang lebih mengasyikan dan mahal harganya. Dia serupa menemukan harta Karun yang paling diinginkannya saat ini.

Entahlah, mengapa hari itu aku hanya sibuk memikirkan tubuh ayah saja, tanpa memperhatikan kakak yang sedang mencoba untuk merusak masa depannya, juga adik yang begitu sangat trauma dengan semua kejadian ini. 

Untung saja wajah ibu tidak memunculkan titik-titik air yang akan membuatku repot nantinya. Sebab melihat kesedihan adalah hak paling sakit daripada mendapatkan hinaan.

"Borjois, biar kakakmu saja! Kau sudah nampak keletihan. Bantu saja ibumu." Kata paman sambil memanggil kakak.

"Tidak, Paman! Kakak dan adikku sudah cukup dengan kejadian hari ini. Maka biarkan aku yang menyelesaikannya sampai akhir."

"Borjois, uang pemakaman tidak cukup!" Kata ibu kepadaku.

Melihat lirikan dosen bahasa Inggris yang rumahnya dekat sekolah adikku, kemudian menghampirinya dan mencoba menawarkan tubuhku.

"Harga yang tidak sebanding, Borjois!"

"Tubuhku ini hanya satu dan masih fresh. Jika tidak dijual mahal, maka kemungkinan besar tubuh ini akan koyak oleh belati tanda penyerahan kepada kehidupan. Jika Tuan tidak mau, maka akan kutawarkan kepada kawanmu yang lebih kaya lagi."

Perundingan pada akhirnya berhasil dilakukan dengan banyak bonus untuk kehidupan kami kelak. Bayangkan saja, nantinya ibuku akan memiliki kontrakan dan aku memiliki apartemen, untuk menjadi istri-istrian si dosen. 

Pemakaman pada akhirnya berlangsung dengan baik. Ibu nampak tenang sampai akhir pemakaman. Namun ketika pulang ke rumah dia tidak lagi kuat menahan air matanya. Begitupun adik dan kakak. Sedangkan aku hanya membersihkan rumah untuk acara tahlilan nanti malam.

"Duhai langit! Jangan mendung. Berikan aku cahaya agar aku tidak mengikuti arus derasnya kehidupan."

Teh poci bendera Cina sudah datang bersama banyaknya makanan dari dosen, dengan lirikan paling nakal yang pernah ada.

"Ya Rab, kumpulkanlah  keberanianku untuk membuat hidup ini menjadi lebih sederhana lagi."

Sesayup suara azan magrib memanggil, aku bersujud meminta banyak kebahagiaan untuk seluruh keluargaku.

Bersambung,

Jakarta, 17 Desember 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun