"Berat," jawab Arya, suaranya pelan, tangannya masih gemetar memegang asbak baja.
Mbah Gondo tersenyum tipis, matanya menatap bara api yang menyala lambat. "Karena lo masih manusia. Tapi dunia ini bakal coba matiin sisa kemanusiaan lo. Jangan biarin."
Arya duduk di sampingnya, menatap api yang menari-nari. Di dadanya, ia merasakan candu itu lagi---rasa kuasa yang mengalir seperti darah, membuatnya ingin lebih, ingin menguasai lebih banyak. Tapi kata-kata Mbah Gondo menggema di kepalanya, seperti ayat Bang Jaka yang kini selalu ia bawa: hukum jalanan bukan soal benar atau salah, tapi soal dampak. "Lo mukul dia bukan karena benci," lanjut Mbah Gondo, "tapi karena semua anak lain ngeliat. Lo itu pesan. Lo itu peringatan. Lo itu hukum yang gak tertulis."
Arya diam, tapi di hatinya, ia mulai memahami. Dunia ini tidak butuh pahlawan yang mulia. Dunia ini butuh seseorang yang bisa membuat takut, agar yang lemah bisa merasa aman, meski hanya sejenak. Ia mengeluarkan asbak baja dari saku, menatap noda darah yang mengering di permukaannya. Dengan ujung pisau kater, ia mengukir goresan kecil di sisi asbak---goresan pertama dari puluhan luka yang kelak akan menjadi sejarahnya di jalanan.
Malam itu, pasar belakang berbisik lebih keras. Kabar tentang Arya yang menghajar Cepot menyebar seperti api di antara anak-anak jalanan dan pedagang. "Bocah peluru," begitu mereka menyebutnya, nama yang lahir dari selongsong kosong yang selalu ia bawa. Pedagang mulai menyisihkan roti atau pisang untuknya, bukan karena kasihan, tapi karena takut. Anak-anak kolong jembatan mulai mendekati Mamat, Joni, dan Teti, ingin bergabung dengan anak-anak semut hitam, kelompok kecil yang kini menjadi bayang-bayang menakutkan di terminal.
Di bawah langit yang masih menangis hujan, Arya duduk di atap terminal, tempat favoritnya untuk melihat kota dari kejauhan. Lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang yang tak pernah ia capai, namun kini ia tahu: bintang-bintang itu bukan tujuannya. Tujuannya adalah lorong-lorong gelap di bawah, tempat hukum tak tertulis berlaku, tempat ia harus terus bergerak, terus bertahan. Asbak baja di tangannya terasa lebih berat, goresan di permukaannya seperti janji---janji bahwa ia akan terus mengukir namanya, bukan hanya di logam, tapi di hati dunia bawah yang liar ini.
Tapi di kejauhan, dari balik gerbong kontainer dan tenda-tenda plastik, sepasang mata mengintainya. Bukan mata preman biasa, bukan pula satpam atau pedagang. Mata itu milik seseorang yang lebih tua, lebih licik, dan jauh lebih berbahaya---seseorang yang tahu bahwa kehadiran Arya adalah ancaman bagi kekuasaan lama di terminal. Dan Arya, dengan insting yang telah diasah oleh Mbah Gondo, merasakan tatapan itu, seperti angin dingin yang membelai tengkuknya. Ia tahu, perangnya baru dimulai.
-------
Langit pagi itu mendung, seolah menahan tangis yang belum tumpah, menyelimuti terminal dalam bayang-bayang kelabu. Suara klakson angkot, teriakan kernet yang memaki penumpang, dan bau solar yang menyengat menciptakan simfoni liar yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup di dunia bawah. Di bawah kolong jembatan, Arya duduk di atas drum bekas yang berkarat, matanya tajam mengamati kerumunan yang mulai memadati terminal. Tangannya memutar-mutar batu kecil yang ia temukan di selokan, bukan karena gugup, tapi karena ia sedang menghitung---menimbang langkah, merencanakan perang. Di sekitarnya, anak-anak jalanan lalu-lalang, sebagian mengamen dengan kaleng susu berkarat, sebagian mengintai peluang mencopet dari tas penumpang yang lengah. Tapi lima anak berdiri melingkar di hadapannya, tubuh mereka kurus, kulit legam terbakar matahari, namun mata mereka menyala seperti puntung rokok di kegelapan.
Mereka bukan siapa-siapa, hanya sampah yang dibuang oleh dunia. Tapi hari itu, Arya memberi mereka nama, identitas, tujuan: Pasukan Semut Hitam.
Â