Bab 7 -- Pasukan Semut Hitam
Mbah Gondo memberinya tugas pertama yang benar-benar menguji nyalinya: menghajar si Cepot, pencopet remaja yang berani melanggar aturan wilayah. Cepot nekat mencuri di terminal tengah, area yang kini dikuasai anak-anak semut hitam---kelompok kecil yang diam-diam dibangun Arya bersama Mamat, Joni, dan Teti. "Kalau lo biarin, lo habis," kata Mbah Gondo, suaranya serak seperti gesekan besi. "Jalanan itu rimba. Yang gak punya taring bakal dimakan."
Arya tahu ia harus memberi contoh, bukan hanya untuk Cepot, tapi untuk setiap mata yang mengintai dari bayang-bayang. Nama yang ia ukir di terminal ini---Arya---harus menjadi peringatan, hukum tak tertulis yang membuat preman berpikir dua kali sebelum melangkah ke wilayahnya.
Di belakang gerbong kontainer yang berkarat, Cepot nongkrong bersama dua temannya, mengisap lem dari kantong plastik sambil tertawa-tawa seperti hyena. Cahaya lampu neon yang rusak berkedip di atas mereka, menciptakan bayang-bayang yang menari liar di dinding. Bau lem dan bensin menyengat, bercampur dengan rintik hujan yang tak henti. Arya datang sendiri, tanpa pisau, tanpa pasukan, hanya dengan asbak baja yang ia genggam erat, logam dingin itu seperti jantungan yang berdenyut di tangannya.
"Cepot," panggil Arya, suaranya pelan namun tajam, seperti silet yang baru diasah.
Cepot menoleh, matanya merah akibat lem, senyum mengejek di wajahnya. "Oh, lo yang katanya bos baru?" katanya, suaranya penuh ejekan. Ia bangkit, tubuhnya lebih tinggi dari Arya, tangannya memegang pisau lipat yang berkilat. Dua temannya tertawa, tapi tawa mereka terhenti saat melihat sorot mata Arya---dingin, kosong, seperti kematian yang berjalan.
Arya tak menjawab. Ia melangkah mendekat, satu langkah, dua langkah, setiap gerakan penuh perhitungan. Teman-teman Cepot merasakan hawa bahaya, naluri mereka lebih cepat dari kata-kata. Mereka kabur, menyelinap ke dalam kegelapan, meninggalkan Cepot sendirian. "Gue gak tau kalo itu wilayah lo, sumpah..." kata Cepot, suaranya mulai gemetar, langkahnya mundur hingga punggungnya menyentuh dinding kontainer.
Terlambat.
Asbak baja itu menghantam pipinya dengan dentuman keras, suara logam bertemu tulang menggema di antara tenda-tenda plastik yang basah. Darah muncrat, beberapa tetes mendarat di jaket Arya, hangat dan lengket. Cepot tersungkur, tangannya memegangi wajahnya, pisau lipatnya jatuh ke lumpur. Tapi Arya tak berhenti. Ia mengayunkan asbak itu lagi, menghantam bahu Cepot, lalu sekali lagi ke perutnya. Setiap pukulan terasa seperti pelepasan---kemarahan atas Si Hitam, atas luka di tulang sikunya, atas dunia yang terus mencoba menghancurkannya. Cepot mengerang di tanah, tubuhnya meringkuk seperti anjing tertabrak, darah bercampur lumpur di wajahnya.
Arya jongkok di depannya, napasnya berat, tangannya masih menggenggam asbak yang kini berlumur darah. "Lo boleh miskin. Boleh lapar. Tapi gak boleh ngelawan aturan," katanya, suaranya rendah namun penuh kuasa. "Jalanan ini ada etikanya." Ia bangkit, meninggalkan Cepot yang mengerang di lumpur, tangisnya samar menyatu dengan rintik hujan. Di kejauhan, beberapa anak jalanan mengintip dari balik karung, mata mereka penuh kagum dan takut.
Arya kembali ke kolong jembatan, tempat api kecil menyala di antara tumpukan kayu basah. Mbah Gondo sudah menunggu, duduk di atas drum oli seperti raja jalanan yang telah kehilangan takhtanya. Asap rokoknya membentuk lingkaran di udara, seperti doa tanpa kata. "Gimana rasanya?" tanyanya, tanpa menoleh.